Issues

Perempuan Pengungsi di Indonesia dalam Belenggu Diskriminasi

Perempuan pengungsi di Indonesia mengalami diskriminasi dan kekerasan fisik, mental, sampai kawin paksa, yang merenggut hak asasi mereka.

Avatar
  • June 30, 2021
  • 4 min read
  • 842 Views
Perempuan Pengungsi di Indonesia dalam Belenggu Diskriminasi

Warsan Weedshan, pengungsi asal Afrika yang sudah tinggal selama hampir lima tahun Indonesia, mengisahkan bagaimana ia dan perempuan pengungsi lainnya di negara ini mengalami diskriminasi dan berbagai pelanggaran hak asasi manusia selama bertahun-tahun, bahkan sampai hari ini. 

“Ada banyak sekali perempuan pengungsi yang mengalami pelecehan seksual, perdagangan manusia, kawin paksa, kekerasan fisik, sampai kekerasan psikis. Hal itu membuat banyak dari kami mengalami masalah kesehatan fisik dan psikis, tapi tidak bisa mengakses layanan kesehatan. Itu karena kami tidak punya jaminan hukum,” kata Weedshan dalam panel “Immobility and Displacement: The Life of Refugees in the Time of Pandemic” dalam Makassar International Writers Festival (25/6). 

 

 

“Padahal, kondisi kesehatan mental perempuan pengungsi tidak baik karena terisolasi dan hidup tanpa kemajuan apapun. Beberapa bulan terakhir, sudah ada beberapa perempuan pengungsi yang bunuh diri,” tambahnya. 

Tergerak untuk memperbaiki nasib para perempuan pengungsi lain, Weedshan pada akhir 2018 mendirikan kolektif pemberdayaan perempuan pengungsi di Indonesia (Sisterhood Women’s Empowerment Center for Women Refugees in Indonesia), yang aktif mengadvokasi hak perempuan pengungsi. 

Baca juga: Peran Penting Perempuan dalam Penyelesaian Konflik dan Terorisme

Perempuan Pengungsi Dambakan Pengembangan Kapasitas

Weedshan juga turut membentuk The Archipelago, sebuah kolektif penulis dan seniman pengungs, karena lewat tulisan, dia bisa menyuarakan banyak hal tentang nasib para perempuan pengungsi seperti dirinya.  

“Menulis adalah cara saya untuk mengekspresikan suara saya dan teman-teman saya. Ketika saya memegang pulpen dan buku, saya merasa bebas untuk mengemukakan pendapat tanpa ada yang melarang atau menghakimi,” ujar Weedshan, yang berbicara dalam bahasa Inggris.

Dalam tulisannya yang berjudul “Education can uplift refugee women in Indonesia”, Warsan menceritakan bagaimana perempuan pengungsi tidak bisa mendapatkan akses pendidikan dan sarana pengembangan diri lainnya. 

Banyak perempuan pengungsi yang berusaha mengembangkan kemampuan mereka dalam bahasa Inggris, bahasa Indonesia, komputer, dan matematika, namun mereka tidak memiliki kesempatan untuk meraih pendidikan tinggi ataupun kursus. Padahal, kalau diberi kesempatan, mereka bisa membantu perempuan pengungsi lain memperbaiki kualitas hidup, ujar Weedshan dalam tulisannya. 

“Perempuan pengungsi tidak bisa bekerja dan berkuliah di sini. Saya sudah mencoba mendaftar ke lebih dari tiga universitas untuk mengambil kuliah S2, tapi semuanya ditolak meskipun saya memiliki gelar sarjana. Kalaupun mendapatkan beasiswa, perempuan pengungsi tetap tidak bisa berkuliah.”

Padahal, menurut Weedshan, pendidikan adalah hal yang sangat penting dimiliki oleh perempuan pengungsi. Pendidikan membuat perempuan menyadari hak-hak yang dia miliki sebagai manusia dan mengurangi kerentanan perempuan pengungsi untuk menjadi korban kekerasan berbasis gender yang selalu menghantui mereka selama ini, ujarnya.

Baca juga: Magdalene Primer: Yang Perlu Diketahui tentang Isu Palestina-Israel

Bias Kolonialisme dalam Narasi Soal Pengungsi

Behrouz Boochani, jurnalis dan aktivis kemanusiaan yang juga pernah menjadi pengungsi, berusaha menyuarakan keadilan bagi pengungsi lewat sebuah film dokumenter berjudul Chauka, Please Tell Us the The Time (2017). 

Dokumenter itu berisi rekaman-rekaman keseharian Boochani dan pengungsi lain selama tinggal di tempat penahanan Australia’s Manus Island detention centre di Papua Nugini. Semua potongan videonya dia ambil langsung menggunakan ponsel secara diam-diam. Judul dokumenter itu sendiri diambil dari nama burung Chauka, satu-satunya penanda waktu bagi para pengungsi di Pulau Manus.

Dokumenter ini tidak banyak menampilkan aksi dan dialog manusia, melainkan banyak menyoroti keadaan di sekitar pengungsian. Menurut Boochani, hal itu sengaja dilakukan untuk menggambarkan betapa sepi dan mencekamnya kehidupan para pengungsi yang terisolasi. 

“Saya juga ingin menyampaikan bahwa bungkam adalah kejahatan yang besar. Tapi, begitulah realitas di kehidupan saat ini. Banyak dari kita yang diam saja ketika melihat pengungsi ditindas, dan tidak berusaha menyuarakan hak mereka. Padahal, orang-orang sudah tahu bahwa ini melanggar hak asasi manusia,” kata Boochani dalam panel yang sama. 

Lewat dokumenter ini, Boochani ingin memperlihatkan realitas kehidupan pengungsi dari perspektif mereka, karena selama ini kebanyakan diskursus mengenai pengungsi  dan kelompok marginal lainnya dipenuhi dengan pernyataan dari orang-orang luar yang tidak mengalami langsung. Hal itu, menurutnya, melahirkan reproduksi-reproduksi pengetahuan yang alih-alih berpihak pada mereka, malah melanggengkan stigma-stigma dari kacamata para penguasa.

Boochani mengatakan, narasi-narasi ini harus diubah perlahan secara bertahap lewat penggambaran yang nyata dan berpihak pada mereka. Para aktivis, jurnalis, penulis, seniman, dan pengungsi itu sendiri harus menantang narasi-narasi yang ada dengan narasi-narasi yang lebih berdaya dan representatif, ia menambahkan.

“Pengungsi sering dipisahkan dari diskursus mengenai pengungsi itu sendiri. Mereka malah dianggap sebagai beban dan kelemahan. Penting untuk membentuk edukasi yang nyata dari perspektif orang-orang yang mengalami langsung, bukan dari sudut pandang orang luar yang malah melanggengkan bias kolonialisme dalam diskusi-diskusi mengenai pengungsi,” ujarnya.

“Pengungsi adalah manusia yang punya kebebasan dan hak terhadap diri dan hidupnya sendiri. Tapi mereka malah menghabiskan waktu dan hidupnya di tempat-tempat tidak layak huni yang lebih mirip penjara ketimbang tempat tinggal.”



#waveforequality


Avatar
About Author

Selma Kirana Haryadi

Selma adalah penyuka waktu sendiri yang masih berharap konsepsi tentang normalitas sebagai hasil kedangkalan pemikiran manusia akan hilang dari muka bumi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *