Di Balik Sosok Pria Agamis Itu Ada Monster Bengis
Penampilan rapi dan tutur kata sopan yang jadi tanda-tanda laki-laki agamis belum tentu jadi indikator dia tidak akan melakukan kekerasan terhadap pasangannya.
Kita tidak jarang melihat berita perceraian selebritas muda Tanah Air. Contohnya yang belum lama ini terjadi adalah perpisahan Larissa Chou dengan suaminya, Alvin Faiz, setelah lima tahun mereka menikah.
Sekitar tahun 2016, kita dikejutkan dengan pernikahan keduanya karena mereka bisa dibilang masih muda ketika memutuskan untuk menikah. Alvin saat itu baru berumur 17 tahun dan Larissa berumur 20 tahun. Seiring dengan hal ini dan sederet pernikahan usia muda pesohor atau influencer, banyak anak muda menyerukan keinginan yang sama: menikah sesegera mungkin. Entah alasannya untuk menghindari dosa akibat seks pranikah atau hal lainnya.
Alasan perceraian Larissa dan Alvin cukup mengejutkan. Alvin yang merupakan anak dari almarhum ustaz Arifin Ilham, yang diyakini memiliki akidah dan keilmuan agama yang mumpuni, ternyata bersikap di luar dugaan. Menurut Larissa, selama menikah Alvin lebih memedulikan dirinya sendiri, tidak pernah membimbingnya dalam bidang agama ataupun lainnya. Bahkan, Alvin disebut masih sering berhubungan dengan perempuan lain.
Banyak orang yang berkomentar, inilah akibatnya menikah di usia yang masih muda: mental belum siap betul hingga rumah tangga mereka kerap diisi konflik. Tapi bagi saya, ada hal yang menarik untuk dibahas selain komentar semacam itu.
Jangan Mudah Percaya Laki-laki Agamis
Dari segi penampilan, Alvin ini tidak pernah terlihat urakan. Dia juga hafal ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis-hadisnya. Latar belakang keluarganya yang merupakan pemuka agama juga menjadikan sosok Alvin sebagai suami idaman masa kini bagi generasi muda kita.
Tapi, jangan mudah percaya pada laki-laki berpenampilan agamis. Saya sudah pernah mengalaminya.
Tahun 2017, saya berkenalan dengannya lewat seorang teman. Usianya empat tahun di atas saya. Laki-laki itu punya pekerjaan yang cukup baik dan datang dari latar keluarga baik-baik walau bukan keluarga ustaz. Saat itu, saya baru putus dari mantan kekasih saya setelah hampir lima tahun berpacaran. Kehadiran dia saat itu membawa angin baru dan harapan bagi saya. Kenapa?
Dari “kulitnya”, dia punya penampilan rapi seperti layaknya pemuda masjid. Rapi, dan tutur kata serta sikapnya sangat sopan. Dia bahkan tidak ragu untuk mengajak saya berkenalan dengan keluarganya. Ia sangat jauh berbeda dengan mantan saya sebelumnya.
Setahun dekat, kami memutuskan untuk berpacaran di tahun 2018. Dan di sinilah pengalaman buruk saya dimulai.
Sejak kami berpacaran, ia jadi mulai sedikit “berani” untuk berbicara kepada saya. Awalnya, setiap ketemu, ia selalu minta berciuman. Awalnya selalu saya iyakan, tapi kelamaan selalu saya tolak, ya karena saya tidak mau saja. Kenapa? Karena ia mulai menggerayangi badan saya dan saya tidak suka.
Dia mulanya menerima saja ketika saya tolak. Tapi setelah sering saya tolak, ia tiba-tiba jadi mendiamkan saya beberapa hari. Kemudian, dia bersikap seperti tidak ada masalah dan kembali menghubungi saya. Terus seperti itu.
Setelahnya, ia mulai berani meminta untuk saling kirim foto bugil. Tentu saya tolak. Lagi-lagi, ia akan marah dan tidak menghubungi saya berhari-hari (silent treatment). Esoknya ia akan meng-update banyak ayat-ayat Al-Qur’an atau hadis-hadis di status WhatsApp-nya. Di waktu lain, ketika kami bertemu, dia akan berbicara tentang agama, agama, dan agama. Ketika saya membahas hal lain, ia akan membelokkan ke hal lain atau bahkan marah kepada saya.
Baca juga: Aku Kapok Mabuk Agama
Kekerasan Seksual dari Laki-laki “Agamis”
Puncaknya pada tahun 2019, ia mulai meminta untuk berhubungan seksual dan saya menolaknya. Saya mulai takut untuk bertemu dengannya. Jadi, setiap ia mengajak bertemu akan berkata tidak. Hingga suatu waktu pada pertengahan tahun 2019, saya sedang pergi ke acara pernikahan teman saya di Bandung. Saat itu, saya memutuskan mampir untuk mengunjungi kedua kakek nenek dia. Ketika di rumah kakek neneknya itulah ia menarik saya ke kamarnya dan memaksa saya untuk berhubungan seksual.
Ia mengunci kamarnya, menahan saya. Ia mempunyai tinggi 183 cm dengan berat sekitar 80 kg. Saya tidak punya kekuatan untuk melawannya. Mau berteriak saja tidak bisa. Saya hanya terus mendorongnya dan berkata tidak mau. Tapi ia terus memaksa saya, mengeluarkan kata-kata kotor yang malah membuat saya semakin jijik. Untungnya, di tengah peristiwa itu, teman saya menelepon dan menawarkan saya menginap di kamar kosnya. Tak pikir dua kali, saya langsung mengiyakan.
Seperti yang telah saya duga, penolakan saya saat itu membuat ia histeris. Ia marah. Seluruh barang di kamarnya ia lempar. Ia mengatakan banyak hal-hal tidak pantas yang ia tujukan pada saya. Saat itu, yang bisa saya lakukan adalah berusaha tenang, memasang wajah sedatar mungkin dan meminta ia untuk mengantarkan saya ke tempat kos teman saya. Saya pun masih heran kenapa masih mau minta tolong padanya waktu itu.
Sepanjang jalan, ia mengendarai mobilnya dengan emosi dan kecepatan tinggi. Masih bagus saya selamat sampai tempat kos teman saya. Setelah menurunkan saya, ia tidak mengucapkan satu patah kata pun dan langsung pergi.
Malam itu, saya tidak bisa bercerita pada teman saya. Menangis pun tidak bisa. Saya hanya merasa jijik dengan badan saya, dengan hidup saya.
Tahu apa yang lebih menjijikkan bagi saya daripada dua hal itu? Esok paginya, ia masih sempat-sempatnya update status di Whatsapp-nya sebuah hadis tentang pentingnya berbuat baik kepada sesama manusia. Brengsek.
Beberapa minggu setelahnya, saya menghubunginya dan mengakhiri hubungan kami. Saya tidak menjelaskan padanya alasan saya ingin putus. Sudah diduga, ia marah dan kecewa. Tapi saya tak peduli.
Baca juga: Hati-Hati, Ukhti, Akhi-akhi Cabul itu Ada!
Tidak Mudah untuk Mulai Bicara
Menceritakan hal ini tidak mudah untuk saya. Bahkan saya butuh hampir enam bulan sampai saya mau cerita kepada teman-teman terdekat saya. Itu pun tidak secara detail.
Tidak mudah bagi saya untuk bisa percaya terhadap orang lain setelah kejadian yang saya alami ini. Jika saya harus memberikan daftar orang yang saya benci, maka ia termasuk di dalamnya.
Beruntungnya, kini saya mempunyai pasangan yang menghormati saya. Sangat. Pasangan saya kini memberikan keluasan pada saya untuk bisa berkarya dan melakukan apa pun yang mau saya lakukan. Jikapun kami mau melakukan sesuatu bersama-sama, tidak ada paksaan dari pihak mana pun karena kami setara.
Kami saling mendukung satu sama lain tanpa menjatuhkan. Dia tidak pernah berpakaian layaknya ustaz atau pemuda masjid. Bahkan, kami masih suka lupa untuk salat karena kami paham, urusan agama adalah urusan personal antara kami dan Tuhan.
Jadi, buat siapa pun kalian yang membaca tulisan ini, jangan sampai kalian tertipu oleh penampilan agamis seseorang. Di balik sikap dan penampilannya yang terkesan sangat agamis, bisa saja ada karakter psikopat atau abusive yang bersembunyi.
Orang macam itu siap memanipulasi kita, dan membuat suatu pernyataan yang justru membuat kalian merasa bersalah seumur hidup kalian, padahal tidak ada satu pun kesalahan yang kalian buat yang memicu pertengkaran.
Ilustrasi oleh Karina Tungari