Safe Space

Penyanyi Dangdut: Tulang Punggung Keluarga, Hadapi Stigma

Banyak penyanyi dangdut adalah tulang punggung keluarga, namun mereka masih menghadapi stigma dan rentan terhadap kekerasan seksual.

Avatar
  • December 8, 2020
  • 5 min read
  • 963 Views
Penyanyi Dangdut: Tulang Punggung Keluarga, Hadapi Stigma

Panggung kontes dangdut, Stardut, yang ditayangkan stasiun televisi Indosiar, semakin meriah karena suara penyanyi dangdut cilik Ayu Riana yang melantunkan lagu “5 Menit Lagi dari Ine Sinthya. Suasana di studio menjadi gegap gempita saat Riana diumumkan sebagai pemenang ajang pencarian bakat itu pada 2008. Confetti  yang berjatuhan menambah suasana haru ketika Riana menangis bahagia lalu berpelukan dengan sang ayah yang menemaninya di atas panggung Stardut.

Setelah acara usai, Riana kembali pulang ke rumahnya di Kabupaten Bandung dan menjalani perannya sebagai tulang punggung keluarga. Penghasilannya dari menyanyi memang diatur oleh sang ibu, tetapi sebagai pencari nafkah utama, Riana telah merenovasi rumah, membiayai sunat keponakannya, dan membeli motor untuk kakaknya.

 

 

Film dokumenter Lima Menit Lagi Ah Ah Ah (2010) yang digarap sutradara Sally Anom Sari dan Sammaria Simanjuntak mengisahkan kehidupan Riana, yang kini dikenal dengan Riana Oces, dua tahun setelah prestasi besar itu. Selama enam bulan sang sutradara memotret Riana melangkah dari panggung ke panggung dan sebagai pelajar SMP berusia 14 tahun.

“Kalau di dangdut ada yang ditonton karena goyangan dan suara. Riana ditonton karena suaranya dan dia juga tidak banyak goyang (di atas panggung),” ujarnya dalam pemutaran film tersebut dan diskusi virtual “Perempuan Bekerja: Ancaman Kekerasan Seksual pada Penyanyi Dangdut Tantangan dan Solusi” yang diselenggarakan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) (10/11).

Baca juga: SDG Talks: Pelecehan Seksual di Konser Musik Bagian dari Masalah Lebih Kritis

Staf Khusus Menteri PPPA Agung Putri Astrid mengatakan, secara ekonomi dangdut banyak berkontribusi untuk masyarakat lapisan kelas bawah. Namun, perhatian pemerintah pada penyanyi dangdut masih rendah, sementara industri dangdut dan penyanyinya sudah berkembang luas di masyarakat.

“Perhatian kurang karena penilaian buruk membuatnya dianggap kurang penting. Padahal dilihat dari Riana yang menjadi tulang punggung keluarga, berarti banyak sekali penyanyi dangdut yang menghidupkan ekonomi masyarakat setempat,” jelasnya.

Pelecehan seksual di uang saweran

Sudah menjadi tradisi dalam panggung dangdut bahwa penyanyinya akan menerima saweran saat menyanyi dan berjoget dengan penonton. Di usia masih belia, Riana sudah tahu cara menghindar agar uang saweran itu tidak datang dengan pelecehan. Untuk memperketat keamanan saat ia tampil, Riana juga mengajak ayah, teman, dan kerabat laki-lakinya. Uang saweran yang ia terima kemudian dibagikan kepada mereka.

“Dengan ikutnya banyak orang (sebagai kru) sawerannya juga harus banyak,” kata Sally.

Baca juga: Ini Konser Kami Juga: Bagaimana Agar Acara Musik Bebas Kekerasan Seksual

Menurut Ullynara Zungga, anggota duo Dewi-Dewi yang melakukan penelitian tentang kekerasan seksual terhadap penyanyi dangdut, penampilan dari musik genre lain juga memiliki saweran, tapi lebih dikenal dengan sebutan tips. Bedanya, pada musik dangdut selalu ada stigma buruk yang tidak terdapat pada penyanyi lain, ujarnya.

“Stigmanya seperti merendahkan, bisa dicolek. Secara keseluruhan lebih rentan mengalami kekerasan dan pelecehan seksual,” kata Ullynara, atau akrab dipanggil Nara.

Selain  di atas panggung, ada juga saweran yang diberi setelah penyanyi dangdut menyelesaikan pertunjukannya. Biasanya disisipi dengan permintaan “waktu tambahan” dari penonton.

Hasil penelitian Nara menunjukkan penyanyi dangdut mengalami pelecehan seksual secara verbal dan fisik. Pelecehan seksual secara fisik terjadi saat penyanyi dangdut menerima saweran di atas panggung lalu pantatnya diremas, dipukul, ditendang, tangan yang bergerak dari bahu ke payudara, bahkan dicium.

Pelecehan secara verbal sering datang dari penonton yang menanyakan, “Kamar hotelnya nomor berapa?”, “Mau dinner tidak?”, atau “Nginep, yuk”. Jika ajakan itu ditolak penyanyi akan dihina dan direndahkan, ujar Nara.

“Trauma dan kesal tentu saja. Mereka melawan dengan cara masing-masing dan terus melakukan negosiasi dengan diri memikirkan strategi apa yang cocok untuk bertahan atau keluar dari kondisi yang membuat mereka bergetar,” katanya.

Pelecehan fisik terjadi saat penyanyi dangdut menerima saweran di atas panggung, lalu pantatnya diremas, dipukul, ditendang, tangan yang bergerak dari bahu ke payudara,  bahkan dicium.

Mencintai pekerjaan

Banyak penyanyi dangdut tidak tinggal diam ketika ada yang memegang tubuh dan melecehkan mereka. Para pedangdut yang diwawancarai Nara menghajar pelaku menggunakan mikrofon, menendang dengan sepatu hak tinggi, hingga berteriak dan menangis dengan mengatakan bahwa tugasnya hanya menyanyi, bukan untuk dilecehkan. Ada beberapa penyelenggara acara yang bertanggung jawab kemudian berkomitmen menjaga keamanan untuk si penyanyi.

“Ada (penyanyi dangdut) yang menganggap (pelecehan seksual) risiko pekerjaan yang harus dihadapi dan menelan perbuatan itu karena takut jasanya tidak digunakan lagi. Mereka terus bertahan menjadi pedangdut karena alasan finansial, butuh hidup dan memenuhi kebutuhan rumah tangga,” ujar Nara.

Alasan lain perempuan penyanyi dangdut terus bertahan adalah karena mereka mencintai pekerjaannya. Ada subjektivitas dalam diri penyanyi dangdut yang menginginkan untuk dicintai masyarakat. Mereka suka menyanyi di atas panggung, ditonton, dan pertunjukannya dinikmati banyak orang.

“Kalau disuruh memilih pekerjaan lain atau menjadi penyanyi dangdut, mereka memilih jadi penyanyi dangdut,” kata Nara.

Payung hukum dan serikat penyanyi dangdut

Direktur Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Jakarta, Siti Mazuma mengatakan, isu penyanyi dangdut jarang menjadi fokus dan perjuangan, dan trauma mereka sebagai penyintas sering kali tidak didengarkan. Banyak dari penyanyi dangdut bahkan pekerja seni lainnya memilih  tidak melaporkan kasusnya, walaupun kerentanan yang mereka alami telah dipahami, ujarnya.

Baca juga: Tari Jaipong: Potret Otoritas Tubuh yang Direnggut

Terkait dengan aturan hukum di Indonesia, ia mengatakan masih belum ada keberpihakan maupun payung hukum khusus menangani perempuan korban kekerasan. Saat ini hukum yang berlaku di Indonesia hanya mengenal pemerkosaan dan pencabulan untuk anak di bawah umur, ujarnya.

“Untuk perempuan yang menjadi korban kita tidak punya payung hukum. Perempuan ketika lapor polisi akan disalahkan, seperti kenapa jadi penyanyi dangdut atau pakai rok mini,” ujarnya.

Reviktimisasi yang dialami penyintas menambah kerentanan mereka yang tidak dilindungi payung hukum. Untuk itu, diskusi ini mendorong urgensi pengesahan Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) sebagai payung hukum perlindungan korban yang komprehensif ditekankan.

“Tidak hanya soal pidana, tapi RUU ini juga mengatur tentang pemulihan, ganti rugi, hak korban, dan rumah aman,” ujar Siti.

Selain menghadirkan payung hukum, Nara merekomendasikan agar dibentuk serikat perempuan pekerja seni, khususnya untuk penyanyi dangdut. Hal ini agar mereka memiliki posisi tawar yang lebih tinggi secara hukum jika berhadapan dengan kasus kekerasan seksual.

“Selain itu, serikat juga diinginkan untuk membangun solidaritas bukan untuk melakukan persaingan tidak sehat antar penyanyi,” ujarnya.



#waveforequality


Avatar
About Author

Tabayyun Pasinringi

Tabayyun Pasinringi adalah penggemar fanfiction dan bermimpi mengadopsi 16 kucing dan merajut baju hangat untuk mereka.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *