Lucinta Luna dan Obsesi Kita dengan Selangkangan Orang Lain
Kontroversi seputar Lucinta Luna menunjukkan obsesi kita terhadap selangkangan orang lain.
Namanya Lucinta Luna dan dia menyatakan diri sebagai seorang perempuan. That’s it. Perilakunya seperti apa dan bagaimana dia sering memancing kontroversi, itu soal lain, dan seharusnya tidak berpengaruh kepada identitas diri yang ia hayati. Identitasnya adalah benar dan valid. Itu sikap saya terhadap Lucinta Luna. Jadi berhentilah bertanya kepada saya siapa Lucinta sesungguhnya, apa pendapat saya tentang tingkah lakunya, dan apakah saya kenal Lucinta dan pasangannya, Abash, hanya karena saya juga seorang transgender.
Seiring maraknya pemberitaan mengenai penangkapan Lucinta Luna atas dugaan kepemilikan narkotika, bertebaranlah komentar-komentar yang menurut saya tidak adil bagi transgender. Selain itu, keributan dan kontroversi soal Lucinta Luna ini mengabaikan isu-isu yang krusial terkait transgender.
Melelakan (outing) identitas orang lain
Nama Lucinta Luna mulai tenar pada tahun 2018, setelah ada video viral yang isinya diklaim sebagai rekaman saat penyanyi dangdut itu baru melakukan operasi penyesuaian kelamin. Identitasnya sebagai seorang transgender dibuka oleh orang- orang yang mengaku mengetahui masa lalunya. Hal ini sangat mengganggu saya.
Hanya individu yang bersangkutanlah yang pantas mengungkap identitas dirinya sendiri jika ia menginginkannya, dan “haram” hukumnya membuka identitas gender maupun orientasi seksual orang lain, apa lagi kepada publik secara luas. Membuka diri sebagai LGBT atau tidak merupakan pilihan personal terkait dengan kenyamanan seseorang.
Sebagian transgender bahkan sama sekali tidak mau disebut trans, karena hampir semua dari kami memiliki masa lalu yang tidak mengenakkan dan menyakitkan. Mulai dari selalu diingatkan soal jenis kelamin sejak kecil, penolakan keluarga dan orang terdekat, dipaksa menikah, pengusiran, sampai pengalaman dengan kekerasan. Karenanya, wajar jika banyak transgender yang tidak suka jika diungkit identitasnya, apalagi diingatkan masa lalunya.
Baca juga: Sebuah Refleksi Tentang Lucinta Luna dan Komunitas Trans
Dibukanya identitas Lucinta menunjukkan bahwa orang-orang begitu buas memburu identitas dan masa lalu orang lain. Masyarakat begitu terobsesi dengan apa yang ada di antara selangkangan orang lain, dan begitu puasnya mereka jika sudah membongkar rahasia orang lain dan membaginya ke publik.
Satu hal mengenai identitas transgender, meskipun telah mengganti identitas kependudukan secara legal melalui persidangan, data diri kami tetap tidak dapat dirahasiakan. Data putusan pengadilan masih dapat diakses di laman resmi pengadilan tinggi tersebut. Tidak hanya data pergantian nama dan jenis kelamin, tapi juga data kasus kekerasan terhadap perempuan dan juga kasus yang melibatkan anak. Hal ini membuat orang-orang tidak bertanggung jawab dapat dengan mudah mencari data tersebut dan menggunakannya untuk kepentingan lain.
Kesehatan mental dan tekanan menjadi sempurna
Masih banyak transgender yang mengalami kesulitan dalam mengakses informasi dan edukasi, terutama soal hak-hak mereka, kesehatan mental, dan kelompok dukungan. Tekanan yang dialami transgender, dan LGBT pada umumnya, membuat mereka rentan mengalami depresi. Tidak jarang beberapa dari mereka juga memiliki keinginan menyakiti diri sendiri dan mengakhiri hidup. Masalah ini tidak diskriminatif, dalam arti menimpa transgender apa pun latar belakang sosial dan ekonominya. Menurut penelitian Menguak Stigma dari Federasi Arus Pelangi tahun 2013, 17,3 persen LGBTIQ pernah berusaha bunuh diri dan 16,4 persen lagi mencoba bunuh diri lebih dari satu kali.
Baca juga: Transgender Dambakan Toilet Umum Uniseks
Bagi masyarakat umum sendiri ada stigma bagi penderita gangguan kesehatan mental sehingga mereka takut mengakses bantuan dan pertolongan profesional. Dalam konteks transgender, ketakutan tersebut berlipat ganda. Selain stigma soal gangguan jiwa, identitas transgender sendiri masih dicap sebagai kelainan atau penyakit. Kedua hal itu sering dianggap satu kesatuan sebab akibat, bahwa kamu trans karena kamu sakit jiwa. Atau sebaliknya, kamu sakit jiwa karena kamu memilih “melawan kodrat”.
Tekanan lain yang dihadapi transgender adalah tuntutan menjadi sempurna. Secara fisik, transgender perempuan atau transpuan diharapkan sudah menyerupai perempuan, dalam arti feminin, fitur wajahnya tidak “keras”, dan tidak berotot. Sebaliknya, transpria ditekan agar maskulin dan “macho”.
Geli sekaligus miris sekali membaca komentar orang-orang yang menyayangkan Lucinta yang tidak melela dan tidak mau “jujur” dengan masa lalunya.
“Andai dia jujur dari awal, dia enggak akan di-bully, apalagi dia cantik. Lihat itu Bunda Dorce. Bahkan kita memanggil dia ‘Bunda’,” ujar warganet, merujuk pada seniman Dorce Gamalama.
Apakah benar jika Lucinta sejak awal terbuka dengan identitasnya sebagai trans, maka masyarakat akan lebih menerima? Seniman Dorce Gamalama saja butuh bertahun-tahun untuk diakui oleh masyarakat. Butuh banyak tenaga dan pembuktian bahwa perilakunya sesuai norma masyarakat sehingga ia diakui sebagai perempuan. Menjadi cantik atau tampan tidak menjadi jaminan seorang transgender akan mudah diterima.
Gagal fokus
Masyarakat umum juga menilai Lucinta Luna memperburuk citra transgender. Tapi menurut saya, tidak adil jika kita memberi beban begitu banyak padanya. Pertama, dia bukan aktivis. Kedua, seperti yang telah ditulis oleh Kevin Halim, transgender tidak memiliki kesempatan dan perlakuan yang sama dengan apa yang dimiliki para cisgender.
Baca juga: ‘Passing’ dan Rekonstruksi Patriarki ala Komunitas Trans
Kelakuan Lucinta mungkin nyebelin, tapi tidak perlulah dia dirisak dan perilakunya dikaitkan dengan identitas trans. Perilaku menyebalkan itu universal. Banyak selebritas cisgender yang tidak kalah annoying dan cari panggung, tapi tidak sampai dirisak.
Transgender menghadapi standar ganda. Agar diterima dalam masyarakat dan lingkungan, transgender harus menarik secara fisik, berkelakuan baik, patuh pada norma, berpendidikan atau berprestasi, dari keluarga terpandang, dan tidak bekerja di jalan atau sebagai pekerja seks.
Saya tidak tahu-menahu soal Lucinta yang menggunakan obat-obatan psikotropika. Namun mungkin lebih baik jika kita berfokus pada kesehatan mental dan bagaimana kelompok minoritas lebih rentan mengalami gangguan kesehatan mental.
Lucinta Luna disebut “halu” atau berhalusinasi. Jika “kehaluan” ini kita maknai sebagai mimpi dan harapan yang belum atau tidak akan pernah terpenuhi, maka tidak hanya Lucinta, saya dan teman-teman trans lainnya pasti memilikinya. Sepanjang saya bersama teman-teman trans lainnya, “kehaluan” ini adalah mimpi dan andai-andai yang tidak lepas dari perlakuan masyarakat pada kelompok transgender. Kehaluan ini sering kali efektif mengurangi rasa rindu kami akan penerimaan, serta hidup tenang, aman, dan nyaman di tengah masyarakat.
Seandainya kelompok transgender memiliki kesempatan dan diperlakukan sama dengan para cisgender, mungkin saja kehaluan kami akan sirna, dan berubah menjadi mimpi-mimpi yang kemungkinan besar akan tercapai dan terpenuhi dengan seketika. Seperti halnya saya yang memiliki “kehaluan” penerimaan keluarga serta “kehaluan” dalam mudah mendapat pekerjaan dan tempat tinggal yang layak, tanpa ada pertanyaan-pertanyaan soal identitas gender dan KTP saya.