Politics & Society

Studi: Perempuan, Anak Perempuan Tak Merasa Aman di Tempat Umum di Jakarta

Perempuan dan anak perempuan tidak merasa aman di tempat umum di Jakarta karena lebih rentan menjadi korban pelecehan dan kekerasan seksual.

Avatar
  • December 5, 2017
  • 5 min read
  • 869 Views
Studi: Perempuan, Anak Perempuan Tak Merasa Aman di Tempat Umum di Jakarta

“Ratih”, seorang perempuan warga Jakarta Timur mengatakan, dia selalu berusaha pulang saat hari masih terang jika sendirian karena banyaknya pelecehan dan kekerasan seksual di daerahnya.
 
“Kemungkinan lebih besar kekerasan itu terjadi ketika hari mulai gelap. Di daerah Bidaracina, jam 9 malam sudah tidak ada orang yang lewat di bantaran sungai dan di jembatan sungai,” ujarnya, seperti dikutip oleh UN Women dalam hasil sebuah penelitian yang dirilis 28 November lalu.
 
Penelitian berjudul “Scoping Study: Audit Keamanan di Tiga Wilayah Jakarta” yang dipaparkan oleh Badan PBB untuk Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan (UN Women) itu dilakukan di tiga wilayah di Jakarta, yakni Jakarta Timur, Jakarta Selatan, dan Jakarta Barat oleh UN Women and Yayasan Pulih .
 
Studi ini menunjukkan bahwa perempuan dan anak perempuan tidak merasa aman di Jakarta karena lebih rentan menjadi korban pelecehan dan kekerasan seksual di tempat umum. Bentuk-bentuk pelecehan seksual yang banyak dihadapi perempuan dan anak perempuan, menurut studi itu, antara lain pelecehan fisik, penguntitan,  memamerkan alat kelamin, dan siulan. Meskipun beberapa responden tidak menganggap siulan dan pelecehan verbal sebagai pelecehan seksual. 
 
Kelompok perempuan yang paling rentan menjadi sasaran kekerasan dan pelecehan seksual adalah mereka yang memiliki disabilitas, lesbian, biseksual dan transgender, pekerja seks, serta perempuan dari etnis minoritas.
 
“Masih ada kekhawatiran dari perempuan dan anak perempuan untuk bergerak dari satu titik di kota ke titik lainnya karena mereka rentan mengalami pelecehan dan kekerasan seksual dalam berbagai bentuk,” kata Iriantoni Almuna, National Programme Officer for Safe City, Gender and HIV di UN Women Indonesia, dalam diskusi pekan lalu.
 
Iriantoni menambahkan, ketika perempuan dan anak perempuan tidak memiliki kesempatan yang sama untuk mengakses ruang publik, maka hal itu akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi di sebuah kota.
 
“Beberapa orang yang kami wawancara, misalnya, mengatakan mereka mendapatkan kesempatan untuk meningkatkan karir dan mendapatkan posisi tertentu baik di sekolah maupun di lapangan pekerjaan. Akan tetapi tawaran tawaran itu mereka tolak karena risiko yang mereka hadapi ketika berada di luar rumah, mengakses ranah publik termasuk transportasi publik terutama ketika malam hari,” tuturnya.
 
Meskipun sebagian besar responden menyatakan bahwa mereka berpeluang menjadi korban kekerasan atau pelecehan seksual kapan pun dalam suatu hari, tetapi mereka merasa lebih tidak aman pada malam hari, terutama setelah pukul 10 malam. Beberapa dari mereka juga bercerita bahwa pagi-pagi buta, ketika orang orang sedang tidur, dianggap sebagai waktu tak aman untuk keluar sendiri.
 
“Saat ini, 54 persen penduduk dunia tinggal di perkotaan. Namun, di kota justru banyak persoalan, termasuk keamanan,” kata Lily Puspasari, Programme Specialist di UN Women Indonesia.
 
Studi ini juga menunjukkan bahwa 2 persen dari lokasi yang diaudit sama sekali tak memiliki penerangan, dan 24 persen memiliki penerangan yang kurang, sehingga mengurangi keamanan.

Kurangnya pencahayaan di fasilitas transportasi publik juga menjadi masalah. Dalam studi ini, seorang responden dari Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) menuturkan bahwa di halte bus rawan terjadi kekerasan dan pelecehan seksual karena kurangnya penerangan dan pengawasan. 
 
Pelecehan dalam transportasi publik
 
Perempuan di Jakarta masih berisiko tinggi untuk mengalami pelecehan dan kekerasan seksual di angkutan umum, termasuk bus Transjakarta. Meskipun demikian, Daud Joseph, Direktur Operasional PT Transjakarta mengungkapkan bahwa jumlah pengaduan pelecehan seksual di Transjakarta telah jauh menurun.
 
Penurunan jumlah pengaduan pelecehan seksual di bus Transjakarta juga dipengaruhi oleh faktor pemasangan CCTV di bus, yang membuat semua orang merasa diawasi.
 
“Kenapa sekarang di Transjakarta ada CCTV, padahal dulunya tidak ada? Itu karena terlalu banyak pelecehan seksual di dalam bus yang dilaporkan. Kemudian mereka (pihak Transjakarta) melakukan pengadaan CCTV. Dalam satu bus bisa ada dua sampai empat CCTV,” ujar Ria Roida Minarta, urban planning specialist di Institute For Transportation and Development Policy (ITDP) dalam diskusi yang sama.
 
Ria juga menekankan pentingnya para pengguna transportasi publik untuk bersuara.
 
“Kalau kita bersuara kemudian didengarkan oleh pemerintah, maka pemerintah akan memberikan fasilitas. Jadi, jangan takut untuk bersuara,” katanya.
 
Namun, bersuara bukanlah hal yang mudah bagi banyak korban pelecehan seksual. Iriantoni menuturkan bahwa perempuan korban sering tidak menindaklanjuti kasusnya adalah karena pertama, menganggap hal itu sebagai aib. Kedua, masih sering ada reviktimisasi atau penyalahan korban.
 
“Sering ketika mereka melaporkan kasus, mereka malah dibilang, ‘Kamu sih pakai bajunya kayak gitu’. Kamu ‘mengundang’ untuk dilecehkan’,” tutur Iriantoni.
 
Menurut hasil studi ini, memang ada norma-norma sosial yang tak menguntungkan perempuan, seperti menyalahkan korban pelecehan dan kekerasan seksual. Beberapa responden yang diwawancarai bahkan merasa bahwa masalahnya terletak pada perempuan sendiri, khususnya dalam cara mereka berpakaian.
 
Mencegah pelecehan seksual bukan hanya menjadi tanggung jawab korban dan perempuan, melainkan tugas semua penumpang.
 
“Perlu ada banyak tindakan penyadaran. Yang harus bertindak bukan hanya perempuan dan korban, tetapi kita bersama. Kami mendorong (orang orang menjadi) active bystander,” kata Iriantoni.
 
Agar para petugas Transjakarta dapat merespons kasus pelecehan dan kekerasan seksual, UN Women dan Kalyanamitra telah memberikan pelatihan kepada petugas layanan Transjakarta termasuk mengenai bagaimana mencegah terjadinya pelecehan seksual dan merespon ketika terjadi insiden itu.
 
“Dari diskusi-diskusi selama pelatihan itu kami bisa menangkap bahwa pada umumnya petugas responsif dan ingin melakukan sesuatu, tetapi sering juga terjadi kasus ketika mereka merespon, mereka diancam oleh pelaku dan diancam untuk dilaporkan balik. Kami menjelaskan bahwa mereka dilindungi undang-undang. Ada undang-undang perlindungan saksi dan korban yang dapat dipakai,” ujar Iriantoni.
 
“Tetapi selain itu, memang dibutuhkan regulasi internal dari Transjakarta yang menjamin keselamatan petugas ketika mereka merespons atau menindaklanjuti kasus kekerasan di lingkungan kerja mereka.” 

 

 



#waveforequality


Avatar
About Author

Wulan Kusuma Wardhani

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *