Pada Senin (31/5), seorang mahasiswi bernama AF datang ke rumah sakit di Ternate, Maluku Utara, dalam keadaan lemas dan pendarahan berat. Setelah diperiksa oleh bidan, terungkap lah bahwa AF telah melakukan prosedur aborsi yang tidak aman secara mandiri, dibantu oleh pacarnya, ML.
Bidan tersebut kemudian mengunjungi kamar kos AF, dan menemukan janin yang dibungkus plastik dan kain di dalam kardus, seperti yang diberitakan media Kumparan. ML saat ini telah ditangkap polisi.
Praktik aborsi tidak aman dan secara diam-diam ini cukup banyak terjadi di Indonesia. Data Family Planing 2020, lembaga di bawah Yayasan PBB, menunjukkan adanya 2,6 juta kehamilan tidak diinginkan (KTD) terjadi di Indonesia pada 2019. Prof. Budi Utomo, MPH, Pakar Kesehatan Masyarakat dari Universitas Indonesia pada 2001 memperkirakan bahwa 2 juta aborsi per tahun terjadi di Indonesia, dengan rasio 43 aborsi untuk 100 kelahiran hidup, atau 30 persen kehamilan. Artinya, setiap tahun 1,5 juta perempuan terancam nyawanya akibat tidak tersedianya akses aborsi aman.
Hukum di Indonesia memang melarang aborsi. Undang-Undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 menyebutkan bahwa aborsi hanya dapat dilakukan pada ibu hamil yang mengalami gangguan kesehatan, janin yang tumbuh kembangnya terganggu, dan penyintas pemerkosaan yang mengalami trauma.
Meskipun begitu, Marcia Soumokil, Direktur Yayasan Inisiatif Perubahan Akses menuju Sehat (IPAS) Indonesia, mengatakan bahwa penyintas yang mengalami kehamilan tidak diinginkan masih sulit mengakses layanan aborsi aman karena terkendala dalam mengakses informasi yang memadai, pelayanan kesehatan bebas stigma, dan dukungan regulasi yang belum komprehensif.
“Aborsi aman adalah hak perempuan untuk menentukan dan membuat keputusan atas tubuhnya. Diharapkan ada implementasi pelayanan optimal tanpa hambatan sesuai hukum untuk perempuan dengan tiga situasi tadi, terutama untuk penyintas” ujar Marcia kepada Magdalene (3/6).
Marcia mengatakan Indonesia perlu menciptakan ruang aborsi aman agar bisa memenuhi tujuan ketiga dari Sustainable Development Goal tentang kesehatan, khususnya reproduksi, pada 2030 nanti. Hasil penilaian dan analisis Safe Abortion System (Ekosistem Aborsi Aman) oleh IPAS menemukan beberapa hambatan yang membuat ruang aborsi aman tidak tersedia di Indonesia.
Berikut adalah hambatan-hambatan tersebut.
Baca juga: Sesuatu yang Sudah Berbentuk, Seharusnya Dibungkus dan Dikubur
-
Stigma Negatif dari Masyarakat dan Tenaga Kesehatan
“Riska”, seorang konsultan analisis gender yang bekerja sama dengan IPAS dan menolak untuk disebut namanya, mengatakan norma sosial dalam masyarakat membawa stigma negatif terhadap aborsi, sehingga melupakan aborsi sebagai hak perempuan. Akibatnya perempuan kerap menjadi pihak yang disalahkan dan dicap sebagai pendosa karena tidak menjaga titipan Tuhan, ujarnya.
“Dukungan sosial sangat rendah untuk perempuan melakukan aborsi aman. Untuk perempuan dengan disabilitas, hambatan jauh lebih tinggi,” kata Riska dalam diskusi daring “Ekosistem Aborsi Aman Berkelanjutan” yang diselenggarakan IPAS (31/5).
Marcia menambahkan bahwa stigma tersebut tidak hanya pada aborsi saja, tapi juga terhadap penyintas kekerasan seksual.
“Akhirnya sering terjadi victim blaming. Ada banyak isu yang harus dibahas untuk mendorong implementasi aborsi aman,” ujarnya.
Riska mengatakan, stigma negatif tersebut bahkan juga berasal dari tenaga kesehatan yang enggan membantu dalam proses aborsi. Padahal, tenaga kesehatan profesional seharusnya menghilangkan perspektif negatif itu dan memberikan layanan aborsi berdasarkan pada kebutuhan, ujarnya.
“Positifnya, tenaga kesehatan yang memiliki perspektif mengenai kekerasan terhadap perempuan dan pemberian hak korban mulai bermunculan di beberapa daerah,” kata Riska.
-
Informasi Layanan Kesehatan yang Belum Memadai
Riska mengatakan pengetahuan perempuan dan masyarakat secara umum tentang aborsi masih belum akurat dan sangat minim. Informasi tentang aborsi lebih mengacu pada “di mana tempat aborsi” yang umumnya melakukan praktik aborsi tidak aman. Selain itu, obat penggugur kandungan tanpa resep dokter sehingga keaslian substansinya tidak terjamin banyak beredar di internet.
“Informasi yang tersedia bukan pada aspek legal, seperti bagaimana melakukan atau proses aborsi aman. Ada informasi tidak akurat yang mengantar pada aborsi tidak aman, seperti minum jamu dan obat-obatan,” ujarnya.
Marcia mengatakan stigma terhadap aborsi dan ancaman pidana terhadap pihak yang memberikan informasi tentang aborsi aman juga memiliki andil dalam kurangnya informasi tentang aborsi.
“Informasi tentang aborsi aman mudah sekali diputar sebagai membantu perempuan melakukan aborsi dan orang-orang takut pada ancaman pidananya,” ujarnya.
Ia menambahkan, agar informasi tentang aborsi bisa tersedia secara menyeluruh dan tidak hanya bisa diakses menggunakan situs berbahasa asing, maka perlu dilakukan banyak diskusi serta membangun informasi dengan media.
Baca juga: Film Remaja ‘Unpregnant’ Bicara Soal Tubuhku Otoritasku
-
Sistem Pembiayaan untuk Aborsi yang Belum Merata
Marcia mengatakan, biaya prosedur pemberhentian kehamilan berdasarkan indikasi medis yang membahayakan ibu dan janin bisa ditanggung oleh asuransi BPJS. Sayangnya, ini tidak berlaku untuk penyintas kekerasan seksual yang ingin melakukan aborsi.
Hal itu didasarkan pada Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan pasal 52 ayat 1 huruf R, yang menyatakan bahwa biaya pelayanan kesehatan akibat tindak pidana, seperti penganiayaan dan kekerasan seksual, tidak ditanggung oleh BPJS.
“Jadi penyintas pemerkosaan tidak bisa ditanggung BPJS. Di sini isunya. Apalagi kalau penyintas sampai hamil dan membutuhkan layanan aborsi aman,” kata Marcia.
“Masih ada isu pembiayaan dan kelihatannya pemerintah harus serius memikirkan bagaimana pelayanan atau pembiayaan bisa terlaksana secara komprehensif,” ia menambahkan.
Riska mengatakan, pembiayaan untuk aborsi seharusnya dapat ditanggung asuransi BPJS tanpa memandang usia kehamilan dan status perkawinan. Sayangnya, jika kehamilan terjadi di luar pernikahan maka hal itu tidak ditanggung, sesuatu yang dipengaruhi oleh dominasi norma sosial, ujarnya.
Baca juga: Jalan Panjang Mengupayakan Hak Aborsi Legal bagi Korban Pemerkosaan
-
Masih Menggunakan Kuret Tajam
Marcia mengatakan prosedur medis untuk aborsi aman harus merujuk pada definisi dari Badan Kesehatan Dunia (WHO), yaitu melalui metode konsumsi obat-obatan yang sesuai anjuran tenaga medis, serta cara bedah vakum atau disedot.
“Sementara itu, di Indonesia masih sering ditemukan praktik aborsi menggunakan metode kuretase atau kuret tajam yang mengeruk isi rahim yang sebenarnya aborsi tidak aman,” ujarnya.
WHO bersama The International Federation of Gynecology and Obstetrics (FIGO) tidak merekomendasikan kuretase atau kuret tajam karena memiliki efek negatif jangka panjang untuk perempuan, seperti menimbulkan luka dan akan kesulitan untuk hamil di masa mendatang.
“Orang sering salah paham bahwa arti aborsi aman adalah aborsi legal. Itu belum tentu karena yang sesuai hukum bisa menjadi tidak aman karena tidak sesuai dengan WHO tadi,” kata Marcia.
-
Belum Ada Hukum yang Komprehensif
Hukum tentang aborsi diatur pada UU Kesehatan Pasal 75, yang menyebutkan bahwa aborsi boleh dilakukan ibu hamil yang mengalami kondisi medis mengancam nyawa dan janinnya, menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi hidup di luar kandungan, dan penyintas yang mengalami trauma.
Selain itu, PP No. 61/2014 tentang Kesehatan Reproduksi mengatur bahwa tindakan aborsi akibat pemerkosaan dapat dilakukan maksimal di usia kehamilan 40 hari sejak hari pertama menstruasi.
Marcia mengatakan penentuan waktu 40 hari tersebut tidak efektif karena penyintas mengalami trauma sebelum tahu tentang kehamilan, harus melakukan pembuktian telah terjadi tindak kekerasan seksual kepada polisi, dan melakukan konseling.
“Perempuan Indonesia secara umum belum memiliki kapasitas pengetahuan yang tepat dalam mengetahui apakah dia hamil atau tidak. Selalu telat mengetahui kehamilan dan tidak cukup sadar ada perubahan pada tubuhnya,” ujar Marcia.
Riska mengatakan PP No.61 Tahun 2014 masih rapuh untuk dijadikan cantolan hukum dan peraturan perundang-undangan merumitkan berbagai macam situasi.
“Aturan 40 hari tersebut sebaiknya ditinjau kembali dan kabar baiknya dalam diskusi RKUHP ada rencana mengubahnya menjadi 14 minggu,” ujarnya.