Buku Saku Hadirkan Interpretasi Keagamaan yang Rangkul Ragam Seksualitas
Sebuah buku saku berusaha membuka dialog soal agama yang selalu jadi pergumulan dalam komunitas LGBTQ.
Saat tinggal di Kota New York beberapa dekade silam, aktivis hak kelompok LGBT Dede Oetomo menemukan buku saku kecil yang membuatnya berani untuk melela sebagai gay. Buku saku itu menghadirkan sudut pandang baru yang lebih progresif dalam menginterpretasikan teks-teks keagamaan yang kerap kali dijadikan alat untuk menolak homoseksualitas.
Tidak hanya membuatnya berani terbuka, buku tersebut juga mendorong Dede mempelajari teologi keagamaan, mengingat posisi agama yang dianggap penting di Indonesia.
“Sebagai seorang Kristen, saya melihat sangat jarang ada buku tentang Christianity dan homoseksual. Akhirnya saya memutuskan untuk meneliti tentang itu, enggak cuman dari sisi Kristen tapi juga Islam,” ujar Dede, yang juga pendiri organisasi GAYa NUSANTARA.
“Saya bekerja sama dengan berbagai komunitas Muslim. Kami terus membuka dialog agar dapat interpretasi yang tidak melulu penghakiman tapi juga penerimaan,” ujarnya dalam webinar bertema Bringing Progressive Faith Voices Toward Diverse Genders and Sexualities (21/5).
Hasil penelitian GAYa NUSANTARA tersebut kemudian menghasilkan sebuah buklet atau buku saku berjudul Christian-Islam: A Guideline to Understand The Human Body and God (Kristen-Islam: Panduan untuk Memahami Tubuh Manusia dan Tuhan) yang diluncurkan Mei lalu.
Baca juga: Adakah Ruang Bagi LGBT untuk Beragama?
Buku saku tersebut merupakan hasil kerja sama antara GAYa NUSANTARA, dengan Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat serta Serikat Jurnalis Keberagaman (Sejuk). Dengan menggaet beberapa tokoh agama progresif seperti Musdah Mulia, Lies Marcoes, dan Kyai Husein Muhammad, buklet ini berusaha membuka dialog mengenai banyak pertanyaan soal agama yang selama ini selalu jadi pergumulan dalam diri komunitas LGBTQ (lesbian, gay, biseksual, transgender, queer).
Komunitas LGBTQ sering kali terjebak dalam stigma bahwa mereka tak bisa beragama sekaligus menjadi LGBTQ. Dialog keagamaan yang lebih ramah dan merangkul komunitas LGBTQ adalah sesuatu yang langka ada di rumah-rumah ibadah di Indonesia. Minimnya interpretasi teks-teks keagamaan yang lebih inklusif dan menerima keberagaman seksualitas seolah tidak memberikan ruang untuk beragama bagi komunitas LGBTQ, padahal sebagai manusia mereka sama-sama punya hak untuk memenuhi kebutuhan spiritualnya.
Koordinator program Strong in Diversity GAYa NUSANTARA, Sardjono Sigit mengatakan, lewat buku dan berbagai pendekatan, stigma tentang komunitas LGBTQ yang tidak sejalan dengan agama diharapkan bisa direduksi.
“Sebagai seorang muslim dan gay, saya selalu merasakan anxiety karena pergumulan tentang kepercayaan serta identitas seksual saya. Padahal seharusnya agama itu adalah blessing,” ujarnya dalam webinar yang sama.
“Di buklet ini kami ingin menghadirkan interpretasi teks-teks agama Islam dan Kristen yang lebih inklusif dalam melihat ragam ekspresi seksualitas,” ia menambahkan.
Seminar-seminar keagamaan yang menerima keberagaman seksualitas harus lebih sering diadakan agar dialog itu mulai dinormalisasi. Ruang aman untuk mereka mencari keimanannya sendiri harusnya sudah masuk ke tempat ibadah seperti masjid.
Interpretasi teks yang lebih inklusif
Absennya narasi keagamaan arus utama yang lebih ramah LGBTQ turut menjadi alasan Kakay Pamaran, aktivis kesetaraan gender dan pengajar Alkitab asal Filipina, untuk memutuskan menjadi pastor. Pamaran merasa tidak puas dengan interpretasi Alkitab yang seolah terus mengucilkan kelompok LGBTW, padahal relasi dengan Tuhan seharusnya urusan personal.
“Pada 2011, ada tawaran beasiswa seminari yang akhirnya saya ambil karena dua alasan. Pertama, saya lesbian. Kedua, bagi saya iman itu sangat penting, tapi saya harus menyangkal orientasi seksual saya terlebih dahulu karena dalam kepercayaan saya menyebut bahwa itu adalah dosa dan saya akan masuk neraka. Saya pikir cara terbaik untuk merebut kembali iman saya adalah dengan jalan menginterpretasikan teks-teks Alkitab secara progresif,” ujar Pamaran dalam webinar yang sama.
Menurutnya, berbeda dengan Islam yang memerlukan tafsir khusus, di dalam seminari, teks-teks kekristenan bisa dikritik dan didefinisikan ulang dengan interpretasi yang lebih progresif dan kontekstual. Pamaran mengatakan bahwa ia masih terus belajar sampai sekarang untuk mengkritik ayat-ayat problematik di dalam Alkitab agar tidak melulu dijadikan senjata untuk menolak komunitas LGBTQ. Baginya, tidak ada satu orang pun yang berhak mengabsolutkan teks-teks keagamaan menjadi nilai-nilai saklek seperti LGBTQ yang kerap disebut penghuni neraka dan pendosa.
Baca juga: 10 Fakta tentang Muslim dan Gay
“Orang takut pada sesuatu yang mereka enggak paham. Saya harus melihat teks-teks itu dari perspektif saya terlebih dahulu, baru mencari jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang selama ini saya selalu abaikan dalam diri saya. Semuanya perlu jawaban yang eksistensial,” Ujar Pamaran.
Pentingnya memberikan tafsir teks-teks Al-Quran yang lebih berkeadilan terhadap semua kalangan adalah juga pemikiran Profesor Studi Islam Spesialis Gender dan Seksualitas asal Amerika Serikat, amina wadud (yang memilih namanya ditulis dalam huruf kecil). Menurutnya, menafsirkan ulang ayat-ayat problematik menjadi lebih inklusif sudah seharunya terus diperjuangkan, meski banyak tantangannya.
Saat masih menjadi pengajar di salah satu universitas di Amerika 20 tahun lalu, wadud bercerita jika dirinya pernah mendampingi Faisal Alam, seorang gay muslim Amerika keturunan Pakistan yang saat itu hangat diperbincangkan setelah ia melela dan berniat mendirikan komunitas muslim bagi LGBT. Yayasan tersebut kemudian diberi nama Al-Fatiha dan masih terus berjalan hingga sekarang.
Sejak saat itu wadud sadar bahwa jika dirinya ingin menghentikan stigma beragama komunitas LGBT, maka ia sudah seharusnya berani berbicara dan mendukung mereka, meskipun risikonya adalah banyak dilabeli sebagai “muslim palsu” hingga sekarang.
“Nabi Muhammad pernah mengatakan, cari fatwa di dalam hatimu ketika semua orang mengatakan bahwa kita adalah salah. Dengarkan suara kecil dari Tuhan yang ada dalam hatimu.”
“Pengalaman saya saat mendengarkan cerita mereka tentang bagaimana akhirnya berdamai dengan trauma karena terus-terusan dilabeli salah dan melawan agama justru membuat saya merasa punya tempat yang lebih aman. Sebagai perempuan kulit hitam yang kerap kali didiskriminasi, saya menemukan ketenangan setelah berdialog dengan mereka,” ujar perempuan dengan julukan Lady Imam tersebut.
Menurut wadud, seminar-seminar keagamaan yang menerima keberagaman seksualitas seharusnya lebih sering diadakan agar dialog itu tidak lagi ditabukan dan mulai dinormalisasi. Ruang aman untuk mereka mencari keimanannya sendiri harusnya sudah masuk ke tempat ibadah seperti masjid, ujarnya.
“Kalau di negara sekuler seperti Amerika Serikat mungkin masih aman, tapi di negara lain seperti Indonesia belum tentu. Tapi saya bersyukur dengan adanya GAYa NUSANTARA setidaknya sudah mulai ada dialog,” kata wadud.
Strategi menghadapi homofobia
wadud mengatakan, dalam menjalani perjalanan spiritual sebagai seorang queer di tengah lingkungan yang belum sepenuhnya menerima kehadiran komunitas LGBTQ, melawan dengan interpretasi ulang saja tidak cukup. Individu dan kolektif harus punya strategi jangka panjang dan jangka pendek, ujarnya.
Strategi jangka panjang di sini diartikan sebagai proses cukup lama dalam memahami pertanyaan-pertanyaan spiritual seputar LGBTQ yang sering kali diabaikan. Sedangkan strategi jangka pendek digunakan untuk merespons saat ada khotbah-khotbah homofobik di rumah ibadah.
Baca juga: Sulitnya Jadi Ukhti Queer di Indonesia
“Bagaimana berpikir untuk membuat mekanisme yang nyaman untuk merespons hal-hal tidak terduga, tapi di sisi lain ada rencana jangka panjang supaya diskursus tentang ini terus berjalan. Istilahnya best case scenario and worst case scenario,” ujar wadud.
Selain itu, wadud juga menekankan sudah saatnya ada forum global yang bisa menjadi tempat berdialog antaragama dan menginterpretasikan kembali teks-teks problematik terhadap kelompok LGBTQ. Dengan demikian, hegemoni narasi keagamaan yang homofobik bisa secara perlahan diminimalisasi, ujarnya.
“Gerakan ini bisa berjalan kalau lebih banyak orang mau bersuara tentang pengalamannya, jangan mau generasi selanjutnya hanya disuruh calm down. Apalagi untuk komunitas LGBTQ yang masih muda, jangan menunggu para ulama di mesjid memberi ruang terlebih dahulu. Coba beranikan diri untuk melela,” kata wadud.
“Nabi Muhammad pernah berbicara seperti ini: Cari fatwa di dalam hatimu ketika semua orang mengatakan bahwa kita adalah salah. Dengarkan suara kecil dari Tuhan yang ada dalam hatimu. Kalau sudah mendengar dan mengikuti isi hati, suara-suara berisik dari luar tidak lagi berarti.”