Sulitnya Jadi Ukhti Queer di Indonesia
Apakah menjadi ‘queer’ harus berarti meninggalkan identitas kemusliman, dan begitu pula sebaliknya?
Hidup sebagai seorang muslim queer di Indonesia itu sulit. Apalagi sudah queer, muslim, perempuan lagi. Sulit bagaimana? Memang ada ceritanya ? Itu dia. Dengar ceritanya saja sangat jarang, kan?
Akhir-akhir ini, isu tentang hak komunitas LGBTQ (lesbian, gay, biseksual, transgender, queer) kembali hangat dibicarakan. Mengetahui budaya masyarakat Indonesia yang gemar menghubungkan hampir segala isu dengan agama, pembahasan isu ini juga tidak dapat jauh-jauh dari hal itu.
Pada Februari 2019 lalu, sebuah akun Instagram @alpantuni yang mengunggah komik gay muslim telah memunculkan kontroversi. Berbagai tuduhan dilontarkan tapi intinya adalah bahwa komik tersebut menghina Islam dan juga berbau pornografi. Bahkan Kementerian Komunikasi dan Informatika mengancam Instagram agar memblokir akun tersebut.
Baca juga: Surat Terbuka untuk Ustaz Gaul Pujaan Ukhti dan Akhi
Dalam wawancara langsung dengan Vice, pembuat komik itu mengatakan bahwa konten yang diunggahnya adalah berdasarkan pengalaman pribadi dan dibuat dengan niat untuk menguatkan para gay muslim yang tinggal di negara yang cukup konservatif dan homofobik ini agar tetap percaya pada diri mereka sendiri.
Dari sini, kita sekali lagi melihat bahwa agama telah merambah ke ranah yang sangat privat, hingga ke orientasi seksual seseorang. Masalahnya, kemudian pada titik ini seorang queer menjadi sangat rentan untuk dipersekusi dan bahkan tindakan buruk kepada mereka diamini melalui dalih-dalih agama.
Interseksionalitas yang rumit
Satu hal yang cukup problematik adalah bahwa diskursus tentang komunitas queer masih cukup didominasi oleh narasi kehidupan laki-laki queer. Secara khusus, dalam konteks queer muslim di Indonesia, saya melihat bahwa queer muslimah (ukhti queer) masih bersembunyi di dalam lemari. Sehingga boro-boro mengadvokasikan hak dan membuat komunitas (atau bahkan membuat komik yang bisa viral), perempuan-perempuan ini masih kesulitan untuk menerima dirinya sendiri – apalagi mengenali orang-orang yang memiliki kesamaan orientasi seksual dengan dirinya.
Fakta bahwa otoritas agama mengutuk homoseksualitas dan melabelinya haram membuat para queer ini menganggap diri mereka sebagai pendosa dan pada akhirnya mereka dibuat terpaksa untuk memilih satu yaitu antara keyakinan dan orientasi seksual mereka. “You can’t be queer and muslim at the same time”. Seolah untuk menjadi satu, adalah dengan meninggalkan yang lain. Menjadi queer berarti ia harus meninggalkan identitas kemuslimannya, dan begitu juga sebaliknya.
Satu lagi problematika tentang isu ini yang kurang mendapatkan perhatian adalah bahwa perempuan masih memiliki kemampuan yang minim untuk melela (coming out). Bagi kebanyakan orang, melela bisa jadi sangat mengerikan karena dapat mengancam keamanan dan masa depan mereka. Selama masyarakat Indonesia masih melanggengkan narasi bahwa homoseksualitas adalah penyakit dan hanya bisa disembuhkan melalui ruqyah dan usaha-usaha spiritual lainnya, pilihan untuk melela menjadi bukan pilihan terbaik bagi para ukhti queer (terutama yang tinggal di lingkungan yang konservatif).
Baca juga: 10 Fakta tentang Muslim dan Gay
Terutama bagi perempuan, pilihan ini sepertinya sangat membahayakan. Alasannya, masyarakat memiliki standar ekspektasi tertentu tentang bagaimana idealnya perempuan itu. Apalagi dalam masyarakat yang nilai religiositasnya kuat, mereka memiliki aturan yang lebih ketat.
Konsekuensinya cukup fatal dan riil. Mereka yang menutupi identitas diri mereka menanggung beban psikologis yang cukup berat. Dalam survei daring 2016-2017, Human Rights Campaign Foundation di AS menemukan bahwa 28 persen pemuda LGBTQ, termasuk 40 persen pemuda transgender, mengatakan mereka merasa tertekan sebagian besar atau sepanjang waktu, dibandingkan dengan hanya 12 persen pemuda non-LGBTQ. Ini tidak hanya dialami oleh para pemuda, tetapi juga oleh orang dewasa.
Pada 2015, Survei Nasional Administrasi Penyalahgunaan Zat dan Penyalahgunaan Obat dan Kesehatan Mental (NSDUH) di AS menemukan bahwa satu dari tiga orang dewasa LGBTQ mengalami penyakit mental pada 2015, dibandingkan dengan hanya satu dari lima orang dewasa heteroseksual.
Diskursus patriarkal di Indonesia
Di Indonesia, konstruksi terhadap apa yang disebut feminin masih cukup terkekang pada diskursus yang patriarkal. Bagaimana perempuan di Indonesia itu dipandang? Rachmah Ida, dalam jurnalnya berjudul “The Construction Of Gender Identity In Indonesia:Between Cultural Norms, Economic Implications,And State Formation” berargumen bahwa konstruksi womanhood di Indonesia diadaptasi oleh pemerintah negara melalui nilai-nilai budaya Jawa dan nilai-nilai fundamentalisme Islam.
Baca juga: Alquran Tak Ajarkan Membenci Kelompok LGBT: Akademisi Muslim
Peran dan status perempuan dalam masyarakat didefinisikan dan tercermin sebagai peran mereka dalam keluarga kerajaan, dengan perempuan yang harus loyal kepada suami dan dianggap sebagai istri dan ibu rumah tangga yang ideal untuk anak-anaknya. Belum lagi ditambah dengan standar ideal yang masyarakat lekatkan terhadap perempuan muslim yang baik, yaitu dari penggunaan cara mereka berpakaian dan menggunakan hijab.
Dari diskursus yang ada ini, perempuan queer menjadi tersisihkan karena tidak memenuhi ekspektasi yang dikonstruksi oleh masyarakat itu. Diskursus itu hanya dibuat dalam bayangan bahwa perempuan akan selalu bersuami, memiliki anak, dan kemudian melayani keduanya. Perempuan queer, tidak bisa relate dengan masa depan yang seperti ini.
Yang dibutuhkan, dengan demikian, adalah diskursus baru. Mengingat bahwa subjektivitas, pengalaman, dan keinginan perempuan (atau laki-laki) selalu sudah didasari dan diatur oleh wacana dan praktik diskursif, maka ruang berbagi cerita mengenai pengalaman pribadi seorang perempuan yang harus bergelut dengan identitas seksualitas mereka dan kepercayaannya, adalah hal yang harus kita buka mulai sekarang untuk menyelamatkan hak-hak para ukhti queer ini.
Ilustrasi oleh Sarah Arifin