Issues

Jinan: Kisah Ketaatan Istri dan Anak Perempuan

Ajaran agama bahwa laki-laki adalah kepala keluarga yang menguasai istri dan anak membuat banyak perempuan tak berdaya.

Avatar
  • February 2, 2021
  • 5 min read
  • 849 Views
Jinan: Kisah Ketaatan Istri dan Anak Perempuan

Konon cinta pertama anak perempuan adalah ayahnya, dan mereka mendambakan suami dengan karakter yang mirip dengan sang ayah. Konsep itu sama sekali tidak diyakini “Jinan”, perempuan muda yang menjadi salah satu responden untuk sebuah penelitian saya.

Saat kami berbincang pada Agustus 2020 di sebuah kedai di kawasan Dago, Bandung, raut wajah perempuan berusia 21 tahun itu langsung berubah jengkel ketika pembicaraan menyinggung sang ayah.

 

 

“Teman-teman aku kalau lagi cerita, katanya pengen dapet suami kayak ayah mereka. Teu harayang teuing (enggak mau banget) aku, mah,” ujarnya seraya merapikan jilbabnya. Tak lama kisah keluarganya meluncur dari bibirnya, soal ketaatan istri pada suami, dan izin suami agar istri bisa bekerja.

Istri Dilarang Suami Bekerja

Ia menceritakan bagaimana ibunya telah bekerja sebelum menikah di sebuah penerbit kampus ternama di Bandung. Sebelum memutuskan menikah dengan ayah Jinan, keduanya menyepakati bahwa sang ibu akan terus bekerja dan meniti karier. Sayangnya, setelah menikah, sang ayah melanggar kesepakatan itu dengan alasan bahwa Jinan dan adik laki-lakinya masih kecil.

Sekitar tahun 2008, saat Jinan masuk SD, ayahnya mengalami pemutusan hubungan kerja dari PT. Industri Pesawat Terbang Nurtanio (PTN). Indonesia ketika itu mengalami imbas dari krisis ekonomi global, dan PTN memberhentikan banyak pekerja agar tidak jatuh dalam krisis yang lebih parah.

Untuk menambah pemasukan keuangan rumah tangga, ibu Jinan berinisiatif untuk berjualan minuman di dekat rumahnya, namun ayahnya melarang. Padahal menurut Jinan, tempat berjualan tersebut sering dilewati banyak orang sehingga peluang pembelinya cukup banyak. Alasan sang ayah, dia gengsi dan malu jika ibu Jinan bekerja, karena “seharusnya yang mencari nafkah itu laki-laki bukan perempuan.”

Baca juga: Menikah: Menghidupkan atau Mematikan Diri Perempuan?

Ayah Jinan juga tidak mengizinkan ibunya mengikuti kelas profesi rias pengantin, lagi-lagi dengan alasan bahwa anak-anak masih kecil. Padahal sang ibu mengikuti kelas itu agar punya keterampilan yang dapat menghasilkan uang demi menambah pemasukan keluarga.

Ibu Jinan tidak berbuat apa-apa selain mematuhi permintaan suaminya. Ia terpaksa meminta bantuan kepada nenek Jinan untuk membiayai administrasi kelas profesi tersebut. Ayahnya baru mengizinkan ibunya bekerja merias pengantin saat Jinan dan adiknya sudah cukup besar. Syaratnya, ibunya harus menyelesaikan kewajiban mengurus rumah tangga, dan anak-anak harus membantu menyelesaikan pekerjaan itu.

Konsep Laki-laki sebagai Pencari Nafkah Masih Mengakar

Dengan apa yang terjadi pada keluarganya, Jinan masih mengamini konsep laki-laki sebagai pencari nafkah. Ia menuturkan bahwa mencari nafkah adalah kewajiban suami. Akibatnya, jikaeorang suami tidak mengizinkan istrinya bekerja, istri harus patuh. Setidaknya itulah yang Jinan pahami dari ajaran agama yang selama ini ia serap.

Jinan memahami potongan ayat, arrijalu qawwaamuuna ‘alannisaa, bahwa laki-laki adalah pemimpin atas perempuan. Dengan begitu, ayahnya adalah pemimpin bagi Jinan dan ibunya. Setuju atau tidak, Jinan dan ibunya harus patuh pada setiap permintaan ayahnya.

Baca juga: Ahli: Ketaatan Mutlak pada Suami Salah Satu Faktor Perempuan Terlibat Terorisme

Namun, bukan hanya itu yang mendasari pandangan Jinan. Tahun 2017, setelah masuk perguruan tinggi di sebuah Universitas Islam Negeri, Jinan mengikuti organisasi mahasiswa di Masjid Salman Bandung. Ia juga mengikuti kajian-kajian keagamaan daring dari ustaz-ustaz populer, salah satunya ustaz Adi Hidayat. Ia masih ingat satu ceramah yang disampaikan oleh ustaz Adi Hidayat, bahwa perempuan tidak punya kewajiban bekerja, sehingga tempat terbaik bagi perempuan adalah di rumah.

Pada saat yang sama Jinan bimbang atas pemahaman agamanya. Diatu sisi, Jinan tidak setuju keputusan ayahnya yang melarang ibunya bekerja. Sementara di sisi yang lain, Jinan juga sepakat bahwa seorang istri sebaiknya patuh kepada suami, termasuk bila suami melarangnya bekerja.

Ketika Jinan SMA, ayahnya memulai usaha jualan makanan empal gentong di sebuah pusat perbelanjaan di Bandung. Penghasilan dari jualan empal gentong hanya bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga. Ibu Jinan sesekali membantu ayahnya berjualan, begitu juga Jinan dan adiknya. Ibunya sesekali bercerita kepada Jinan bahwa ia tidak bahagia karena ayahnya tidak cukup memenuhi apa yang ibunya butuhkan. Jinan pun merasakan hal yang sama. 

Izin Ayah untuk Anak Perempuan

Selain melarang ibunya bekerja, ayah Jinan juga dirasa terlalu keras mendidik anak-anaknya. Jinan kehilangan kebebasan untuk menentukan setiap pilihan dan keputusannya. Peluang Jinan untuk bernegosiasi hilang, apalagi keberanian untuk melawan setiap keputusan ayahnya. Sepanjang hidupnya, Jinan sudah belajar untuk menahan diri mengutarakan keinginan dan pendapatnya yang berbeda dengan ayahnya.

Baca juga: Apa Hukum Perempuan Bekerja di dalam Islam?

“Aku pingin kuliah S2, tapi kalau dilihat dari segi ekonomi mungkin harus kerja dulu. Kalau misalkan Ayah enggak ngijinin kerja, ya sudah mungkin bantu orang tua jualan, atau enggak ya ngapain aja gitu, yang menurut aku lebih bermanfaat,” ujarnya lirih.

Betapa Jinan dan ibunya kehilangan kuasa atas diri sendiri. Rumah dan keluarga yang semestinya menjadi ruang aman dan nyaman, tempat mereka bisa mencurahkan semua yang mereka inginkan hilang oleh sikap egois dan gengsi ayahnya. Sikap ini memaksa mereka membenamkan setiap keinginan yang bertentangan dengan keinginan sang ayah. Sebagai kepala keluarga, ayahnya menggenggam otoritas penuh untuk membatalkan setiap keputusan yang akan diambil Jinan dan ibunya.

Dalam keterbatasan ekonomi keluarganya, Jinan hanya mampu menerima dan menjalankan setiap kegiatannya lewat izin sang ayah, baik sekolah maupun membantu ayahnya berjualan. Itu satu-satunya cara Jinan dan ibunya bisa tetap bertahan hidup, meskipun dalam kondisi tak berdaya.

Tulisan ini diolah dari catatan  penelitian yang dilakukan pada tahun 2020 oleh Rumah KitaB, lembaga riset untuk kebijakan yang memperjuangkan hak-hak kaum termarginalkan seperti perempuan, orang dengan disabilitas, serta kelompok minoritas suku, ras, dan agama yang mengalami diskriminasi akibat pandangan sosial keagamaan yang bias gender. Penulis mendapatkan pelatihan penulisan kreatif dari Rumah KitaB atas dukungan We Lead.



#waveforequality


Avatar
About Author

Sityi Maesarotul Qoriah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *