Kesetaraan dalam Rumah Tangga Tak Cuma Urusan Privat, Tapi Juga Negara
Komitmen untuk menerapkan regulasi yang sudah ada dan inisiatif kebijakan baru dari pemerintah diperlukan untuk mendukung kesetaraan gender dalam rumah tangga.
Pada 22 Desember 1928 atau 92 tahun lalu, isu kesetaraan gender dalam rumah tangga digaungkan oleh para aktivis perempuan, terutama barisan nasionalis dan kiri, dalam Kongres Perempuan Indonesia yang pertama. Persoalan yang mereka angkat beragam, mulai dari kedudukan dalam perkawinan, hak dan kewajiban suami dan istri, pendidikan anak, hingga hak untuk pisah/bercerai. Hal-hal yang melemahkan posisi perempuan dalam perkawinan seperti poligami, perkawinan usia dini, dan perkawinan paksa, turut digugat.
Usai Kongres itu, gerakan perempuan mulai fokus pada isu perkawinan. Salah satu tujuan mereka adalah memperjuangkan Undang-Undang (UU) Perkawinan yang lebih adil. Bahkan, berkat upaya mereka, setelah Kongres ketiga pada tahun 1939, berdiri Badan Perlindungan Perempuan dalam Perkawinan (BPPIP).
Isu kesetaraan dalam rumah tangga makin menguat pada tahun 1950-an. Selain memperjuangkan UU Perkawinan, beberapa organisasi perempuan mulai menggagas konsep keluarga yang demokratis. Misalnya, konsep “keluarga manipolis sejati”, yang digagas oleh Gerwani.
Memang, karena kemelut politik pada pertengahan 1960-an, UU Perkawinan tak kunjung disahkan oleh parlemen hingga pemerintahan Soekarno jatuh.
Tahun 1973, di bawah rezim Orde Baru, aktivis perempuan kembali menyuarakan UU Perkawinan. Hasilnya, pada 22 Desember 1973, bertepatan dengan peringatan Hari Ibu Nasional, DPR mengesahkan UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
Meskipun UU Perkawinan mulai membatasi poligami, UU tersebut masih melegitimasi ketidaksetaraan dalam rumah tangga. Misalnya, Pasal 31 Ayat (3) berbunyi, “Suami adalah kepala rumah tangga dan istri ibu rumah tangga.”
Realitas Rumah Tangga Masa Kini
Hari ini, isu kesetaraan dalam rumah tangga masih berhadapan dengan kenyataan menyakitkan. Rumah tangga belum menjadi tempat yang nyaman dan aman bagi perempuan. Buktinya, kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) masih sangat tinggi.
Baca juga: Resep Pernikahan Bahagia: Peran Gender yang Fleksibel
Merujuk data Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), dari 431.471 kasus kekerasan terhadap perempuan pada tahun 2019, sebanyak 75 persen di antaranya terjadi ranah rumah tangga dan hubungan personal. Kekerasan tersebut meliputi kekerasan fisik, verbal, seksual, penelantaran ekonomi, hingga manipulasi dan eksploitasi untuk tujuan komersial.
Dalam masyarakat yang masih dihegemoni oleh cara pandang yang patriarkal, kasus KDRT itu merupakan fenomena gunung es. Angka yang muncul hanyalah yang terlaporkan. Pada kenyataannya, lebih banyak kasus yang tak terlaporkan.
Dalam masyarakat patriarkal, kekerasan terhadap perempuan dan anak itu sering dibenarkan sebagai cara kepala keluarga (ayah) untuk menertibkan atau mendisiplinkan anggota keluarganya. Selain itu, KDRT juga dianggap urusan privat yang tak boleh dicampuri.
Karena konstruksi budaya yang masih kuat macam itu, kasus marital rape—pemaksaan hubungan seksual kepada pasangan—juga banyak terjadi, tetapi tak terlaporkan.
Pahitnya, KDRT terus meningkat sekalipun Indonesia sudah punya regulasi untuk memeranginya, yaitu UU Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT). Padahal, UU PKDRT ini juga mengkriminalkan marital rape.
Suami Pemegang Otoritas Tertinggi
Ketimpangan relasi menciptakan hubungan yang tidak setara dalam rumah tangga. Suami tampil sebagai pemegang otoritas tertinggi, yang berhak mengambil keputusan, mengontrol, dan menertibkan anggota keluarganya.
Ambil contoh perihal keluar rumah. Sering terjadi, laki-laki tidak perlu meminta izin untuk keluar rumah. Sebaliknya, bagi istri dan anak-anak, ada kewajiban untuk mendapatkan izin suami atau ayah bila ingin keluar rumah.
Sekarang ini, cara pandang usang tentang pembagian kerja dalam rumah tangga masih hidup: Suami/laki-laki sebagai pencari nafkah, sedangkan istri/perempuan sebagai pengurus rumah tangga. Sebagai pencari nafkah, laki-laki dekat dengan jenis pekerjaan yang dibayar. Sementara perempuan sebagai pekerja domestik, yang mengurus tumah tangga dan merawat keluarga, dianggap sebagai kewajiban dan tidak perlu dibayar (unpaid work).
Padahal, beban kerja mengurus rumah tangga dan merawat keluarga ini tidak ringan. Sayangnya, Indonesia tidak punya data melimpah soal kerja domestik dan perawatan yang tak dibayar ini.
Riset Jurnal Perempuan pada 2018 menyebutkan, ibu rumah tangga (IRT) di Indonesia rata-rata menghabiskan waktu 13,5 jam per hari untuk pekerjaan domestiknya.
Akibat beban pekerjaan tak adil ini, banyak perempuan yang kehilangan kesempatan untuk mengembangkan dirinya, mencari pekerjaan di luar rumah/berbayar, dan tidak memiliki waktu yang cukup untuk beristirahat.
Jangan heran bila tingkat partisipasi kerja angkatan kerja perempuan hanya di kisaran 50 persen, sedangkan laki-laki mencapai 83 persen. Jangan heran bila banyak perempuan yang harus mengundurkan diri dari pekerjaannya setelah menikah dan memiliki anak.
Pahitnya, karena cara pandang usang itu, kalaupun perempuan bekerja di luar rumah, mereka hanya dianggap pencari nafkah tambahan. Akibatnya, mereka kerap mendapatkan gaji lebih rendah.
Tagih Tanggung Jawab Negara
Pada Kongres Perempuan pertama tahun 1928 itu, aktivis perempuan tak sekadar mengumbar keresahan, lalu melahirkan resolusi-resolusi. Tetapi sebetulnya, mereka juga menggagas sebuah mimpi: Indonesia merdeka bisa menegakkan kesetaraan gender, termasuk dalam rumah tangga.
Karena itu, negara perlu ditagih tanggung jawabnya untuk memperjuangkan kesetaraan gender di dalam rumah tangga.
Pertama, negara harus mengakhiri kekerasan terhadap perempuan, termasuk KDRT. Tentu saja, lahirnya UU PKDRT merupakan langkah maju. Namun, jangan berhenti hanya sebagai “macan kertas”.
Baca juga: Laki-laki Lakukan Kerja Domestik Tak Istimewa, Berhenti Merayakannya
Negara harus aktif menyosialisasikan UU ini dan konsekuensi hukumnya. Selain itu, negara perlu mendekatkan advokasi dengan kasus-kasus KDRT di masyarakat. Karena itu, di setiap lingkungan terkecil seperti RT/RW, perlu dibentuk posko pengaduan kasus KDRT.
Kedua, negara harus aktif mempromosikan kesetaraan gender dalam rumah tangga. Ini bisa dimulai dengan memperbaiki UU Perkawinan. Tak ada lagi istilah kepala rumah tangga. Semua urusan rumah tangga harus diputuskan secara demokratis oleh seluruh anggota keluarga.
Tentang kesetaraan dalam rumah tangga, termasuk mendorong laki-laki mulai mengambil peran dalam kerja-kerja domestik, semestinya hal itu diletakkan sebagai bentuk gambaran ideal keluarga versi negara. Jadi, misalnya, ada gambaran bahwa keluarga Pancasilais itu adalah keluarga yang mengakui prinsip kesetaraan.
Ketiga, negara terus menciptakan kesempatan kerja yang sama bagi semua gender. Jangan lagi ada warga negara yang kehilangan haknya untuk bekerja karena faktor gendernya.
Negara perlu memastikan semua regulasi keteganakerjaan menjamin hak perempuan untuk mendapat cuti haid, menjaga kehamilan, dan melahirkan, sehingga tak ada lagi perempuan yang kehilangan pekerjaan karena faktor biologisnya.
Negara juga perlu merumuskan kebijakan yang memungkinkan ibu rumah tangga tetap bisa bekerja, misalnya mewajibkan semua kantor pemerintah dan tempat kerja untuk mengadakan ruang laktasi, daycare gratis, dan cuti melahirkan yang lebih panjang bagi istri dan suaminya (dengan gaji tetap dibayar).
Ilustrasi oleh Karina Tungari.