Politics & Society

3 Alasan Kenapa Megawati adalah ‘Pick Me Girl’

Dear Megawati, setop bertingkah seperti ‘pick me girl’: Merasa paling berbeda dibanding perempuan lainnya.

Avatar
  • August 12, 2022
  • 8 min read
  • 1330 Views
3 Alasan Kenapa Megawati adalah ‘Pick Me Girl’

Saya punya beberapa episode favorit dalam Gossip Girl (2007-2012). Salah satunya “The Serena Also Rises”, episode kelima dari musim kedua serial televisi tersebut. Episode itu cukup berkesan karena dialog antara Serena van der Woodsen (Blake Lively) dan Blair Waldorf (Leighton Meester) yang menjengkelkan, tapi cukup ikonik.

Di episode tersebut, Blair bertugas mengatur seating plan untuk fashion show. Kemudian, terjadi cekcok antara ia dan Serena perihal gaun, yang bagi sahabatnya dicap memalukan. Alhasil, Blair mengajak Serena berbincang tentang gaun tersebut.

 

 

“Kamu tahu enggak, selama ini aku sudah berusaha melindungi perasaanmu. Namun, bukan salahku kalau kamu insecure,” ujar Serena. Katanya, ia lelah berusaha menahan diri supaya tidak kelihatan lebih bersinar daripada Blair, sahabatnya.

“Aku cuma capek berusaha menahan diri supaya enggak kelihatan lebih bersinar daripada kamu,” imbuh Serena. “Mulai sekarang, aku mau jadi diriku sendiri. Bagus, kalau kamu bisa mendukungku tanpa merasa terancam atau tersaingi.”

Saya buru-buru mengeklik pause di layar, ketika Serena meninggalkan Blair yang diam di tempat. Rasanya, ada satu tokoh di dunia nyata yang karakter dan ucapannya mirip sekali dengan Serena.

Setelah berpikir keras, ternyata jawabannya adalah seorang ikon perempuan di Indonesia, tak lain tak bukan, Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri.

Tepat sekali, baik Serena maupun Bu Mega sama-sama memancarkan aura pick me girl—perempuan yang mengklaim dirinya berbeda dari perempuan pada umumnya demi mendapatkan perhatian laki-laki. Karakter Serena merasa dirinya jauh lebih baik dibandingkan Blair. Begitu juga dengan Bu Mega, yang belakangan ini makin sering unjuk gigi di depan publik.

Salah satunya ketika menghadiri acara “Kickoff Kolaborasi Penurunan Stunting” yang diselenggarakan Badan Kependudukan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) pada (8/8).

Di acara tersebut, Bu Mega menyinggung pentingnya perempuan bisa memasak dan mengolah makanan sehat untuk keluarganya. Menurutnya, ini salah satu upaya untuk menurunkan angka stunting, karena dengan demikian seorang ibu bisa memenuhi gizi anaknya.

“Ini, kan gerakan ibu-ibu, bukannya gerakan laki-laki. Karena tadi kalau saya lihat MC mengatakan enggak bisa masak, saya ketawa, hanya dengan alasannya bekerja,” ujarnya.

Kemudian, Bu Mega mencontohkan dirinya sewaktu menjabat sebagai wakil presiden (wapres) dan presiden. Katanya, ia tetap memasak untuk keluarganya, terlepas dari kesibukannya sebagai orang nomor satu di Indonesia.

“Jadi ini alasan yang tidak wajar, kalau perempuan tidak bisa memasak,” tambahnya.

Angkat tangan kamu, kalau (lagi-lagi) kecewa dengan pernyataan Bu Mega. Pernyataan seksis itu enggak seharusnya diucapkan, terutama olehnya yang merupakan tokoh perempuan di Indonesia. Alih-alih memberdayakan, Bu Mega malah menyudutkan sesama perempuan.

Walaupun ia pernah memegang kekuasaan tertinggi di negara ini, bukan berarti bisa menyamaratakan semua perempuan yang jelas-jelas latar belakangnya berbeda. Lagipula, memasak termasuk life skill yang bisa dimiliki siapa pun. Jadi, ungkapan Bu Mega termasuk hasil pola pikir budaya patriarki yang masih menekankan fungsi seseorang berdasarkan gendernya.

Saya enggak tahu, apakah Bu Mega menyadari kalau ia melanggengkan beban ganda dan menormalisasi memasak untuk dilakukan semua perempuan.

Namun, komentar Bu Mega soal perempuan wajib bisa memasak hanyalah satu dari berbagai ucapan kontroversialnya, yang memancarkan energi pick me girl vibes. Kalau kamu penasaran, yuk simak beberapa di antaranya yang telah kami rangkumkan.

Baca Juga: Megawati Blunder Diskriminasi Kelas Sosial

1. Pamer Gelar Pendidikan

Masih di acara yang sama, kali ini Bu Mega memamerkan kebolehannya di bidang pendidikan. Ia menyatakan keprihatinannya terhadap angka stunting yang masih tinggi di Indonesia, diikuti menyebutkan banyak gelar yang dimiliki sehingga para ibu seharusnya bangga mengikuti nasihatnya.

“Belum lagi (gelar) doktor honoris saya sembilan, masih nunggu lagi lima. Apa tidak bingung ya?” tuturnya dikutip Kumparan. “Berarti di RI hanya saya satunya lho, yang (gelar) profesornya mau tiga, doktor honoris causa-nya 15.”

Belum berhenti di situ, ia semakin menyanjung dirinya sendiri. Layaknya seperti sedang mengikuti wawancara pekerjaan, Bu Mega menyebutkan jabatan di pemerintahan yang pernah diemban, yakni anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebanyak tiga kali. Lalu merasa terhormat sebagai seseorang yang memiliki intelektual.

Sampai sekarang saya enggak ngerti, kenapa Bu Mega harus ngomong ngalor-ngidul sampai ke gelar pendidikannya. Apakah ia merasa masyarakat perlu memvalidasi kemampuannya? Padahal, yang perlu digarisbawahi adalah cara menekan angka stunting lho. Jangan-jangan itu hanya caranya meyakinkan para ibu, agar mendengarkan dari sosok terpercaya?

Kalau kamu penggemar dan mengikuti perkembangan beritanya, momen itu bukan kali pertama Bu Mega flexing soal gelar pendidikannya. Juni lalu, ketika memimpin Rapat Kerja Nasional (Rakernas) PDIP, ia juga membeberkan hal yang sama. Sebenarnya sah-sah aja, hanya momennya yang enggak pas dan begitu disisipkan.

Enggak apa-apa, mungkin saya yang enggak menangkap, di balik flexing-nya itu Bu Mega mau memotivasi dan memberdayakan perempuan Indonesia untuk sekolah tinggi sepertinya.

Baca Juga: ‘Kamu Enggak Kayak Perempuan Lain’ Itu Bukan Pujian

2. Merasa Paling Baik dalam Segala Hal

Predikat terbaik dalam segala bidang jatuh kepada…Megawati.

Saya cukup senang melihat ada sosok yang begitu peduli dengan kondisi negara, seperti Bu Mega. Bahkan, sangat khawatir dan memikirkan apa jadinya negara ini, kalau suatu saat nanti ia meninggal dunia.

Keprihatinan itu berangkat dari situasi bangsa ini, yang sepengamatannya terlalu berkiblat ke Barat dari sisi budaya seni.

“Masa kita mau ngikutnya ke Barat mulu lho, dari sisi budaya seni, yang namanya Timur itu luar biasa sekali,” ucapnya dilansir CNN Indonesia,  sewaktu menjadi pembicara kunci di Seminar Nasional Forum Rektor Penguat Karakter Bangsa (FRPKB) pada Juni lalu.

Menurutnya, saat ini Indonesia berada di zona nyaman. Entah dalam konteks apa, saya masih belum paham. Tapi, ia sempat menyebut beberapa contoh, seperti orang yang bermukim di Amerika adalah penjahat dari Inggris yang dibuang ke sana. Pun, Suku Aborigin yang sebenarnya penduduk asli Australia, kini posisinya semakin tergeser dengan pendatang.

Mungkin maksud Bu Mega, budaya kita akan semakin terjajah oleh Barat? Saya enggak tahu jawaban pastinya. Yang jelas, terkait kekhawatirannya itu, Bu Mega menuturkan pernah mengungkapkannya kepada Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDIP Hasto Kristiyanto.

“Saya ngobrol sama Sekjen saya, ini nih, kok bangsaku udah terlalu nikmat dengan zona nyaman, lho. Aku udah khawatir. Nanti suatu saat kalau aku udah ndak ada, terus piye yo, gimana yo?” ujarnya.

Saya berpikir berulang kali, apa artinya ia enggak mempercayakan kesejahteraan Indonesia di tangan generasi berikutnya?

Rasanya ketidakpercayaan itu memang dimiliki Bu Mega. Soalnya, ia pernah mempertanyakan keterlibatan milenial untuk negara. Waktu menghadiri peresmian kantor PDIP pada 2020 lalu, ia mengatakan sumbangsih milenial untuk negara enggak lebih dari melakukan demonstrasi.

“Anak muda kita jangan dimanja, dibilang generasi kita adalah generasi milenial,” ungkapnya, mengutip Kompas.com. “Saya mau tanya, hari ini apa sumbangsihnya generasi milenial yang sudah tahu teknologi, membuat kita sudah viral tanpa harus bertatap langsung?” 

Saat itu memang baru dilaksanakan aksi unjuk rasa menolak Undang-Undang Cipta Kerja, yang merusak sejumlah fasilitas publik. Di antaranya halte Transjakarta dan Moda Raya Terpadu (MRT).

Namun, sebelum makin gemas dengan pernyataannya, mungkin lebih baik kita melihat sekilas latar belakang Bu Mega. Ia sudah berkecimpung di dunia politik Indonesia sejak 1987. Saat itu ia bergabung dengan Partai Demokrasi Indonesia (PDI), dan mencalonkan diri sebagai anggota DPR.

Barulah pada 1993, Megawati menjadi ketua de facto dari PDI. Lalu mengikuti pemilihan umum (pemilu) legislatif bersama Abdurrahman Wahid pada 1999-2001, dan dilantik sebagai Presiden ke-5 RI pada 2001. 

Nah wajar dong, kalau Bu Mega punya segudang kekhawatiran untuk kesejahteraan bangsa ini? Wong ia sudah berkontribusi selama 35 tahun, dan melewati berbagai perubahan era.

Tapi, kayaknya Bu Mega sedikit-sedikit perlu belajar mengikhlaskan, kalau masa depan Indonesia ada di tangan generasi muda. Meskipun kelihatannya banyak generasi muda yang enggak terlalu peduli dengan urusan negara, masih ada kok bu, yang mungkin sesuai dengan ekspektasi ibu.

Cuma kalau urusan predikat paling nasionalis, berjasa, dan empowering, Bu Mega enggak perlu khawatir. Selamanya titel itu akan selalu ada di tangan ibu.

Baca Juga: Bagaimana Caranya Menjadi Perempuan?

3. Mengaku Sering Dirundung, tapi Enggak Masalah

“Saya sering di-bully. Banyak orang tidak suka sama saya, enggak apa-apa,” tutur Bu Mega dalam sebuah pidato pada 2020 lalu.

Ia menyadari banyak tutur katanya yang sering bersifat kontroversial. Namun, Bu Mega memilih enggak menggubris, lantaran ia melakukan segala sesuatu demi kemajuan Indonesia.

“Karena saya punya tujuan, semua bagi bangsa dan negara, bahwa negara harus maju. Lebih maju dari negara-negara lain. Apakah bisa atau tidak bisa, saya bilang sangat bisa,” tegasnya, mengutip dari Kompas.com.

Enggak dimungkiri, ucapannya ini merupakan salah satu kalimat yang paling menonjol, yang biasanya dikatakan seorang pick me girl. Umumnya mereka ingin kelihatan berbeda, dan paling kuat kalau dalam kasus Bu Mega. Bahkan, ia sampai rela pasang badan untuk kepentingan negara—sesuatu yang belum tentu generasi Z kayak saya mau melakukannya.

Maka itu, optimisme Bu Mega patut diapresiasi. Di kala banyak orang yang menganggap bangsa kita akan jalan di tempat, ia sebegitu besarnya yakin dan percaya kalau Indonesia akan semakin jadi negara yang lebih baik.

Namun, kalau boleh berpesan, Bu Mega jangan membebankan permasalahan ini sendirian. Saya yakin, pasti enggak mudah jadi tokoh publik perempuan seperti ibu, yang berusaha memberikan contoh bagi masyarakat. Karenanya, kalau Bu Mega merasa enggak baik-baik aja akibat dirundung juga nggak apa-apa lho. Toh enggak selamanya, kita harus selalu kuat sebagai perempuan.



#waveforequality


Avatar
About Author

Aurelia Gracia

Aurelia Gracia adalah seorang reporter yang mudah terlibat dalam parasocial relationship dan suka menghabiskan waktu dengan berjalan kaki di beberapa titik di ibu kota.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *