Lifestyle

4 Alasan Mengapa Ujaran ‘Suara Suami Suara Tuhan’ Bermasalah

Inilah alasan mengapa pernyataan Atta Halilintar bahwa suara suami adalah suara Tuhan itu bermasalah dan mencerminkan ketidaksetaraan dalam pernikahan.

Avatar
  • April 14, 2021
  • 5 min read
  • 1011 Views
4 Alasan Mengapa Ujaran ‘Suara Suami Suara Tuhan’ Bermasalah

Setelah resepsi pernikahan mewah pada Sabtu (3/4) lalu yang ditayangkan di beberapa stasiun televisi swasta, pasangan selebritas Atta Halilintar dan Aurel Hermansyah kembali menuai kontroversi. Kali ini, penyebabnya adalah pernyataan Atta mengenai kedudukan suami dan istri dalam rumah tangga.

Atta mengatakan, “Izin dan suara suami adalah dari Tuhan. Jadi kalau aku enggak (kasih) izin, kamu harus nurut. Hidup kamu sudah diserahkan kepada laki-laki yang akan bertanggung jawab atas kamu.”

 

 

Pernyataan tersebut direspons oleh berbagai kalangan. Mereka menilai, pernyataan Atta itu bisa melanggengkan ketidaksetaraan gender dan relasi kuasa dalam pernikahan. Di tengah berbagai respons dan kritik terhadap Atta, pertanyaannya, mengapa manusia bisa merasa berhak atas diri dan hidup manusia lain? Mengapa seorang manusia bisa merasa dirinya lebih layak dihormati ketimbang manusia lainnya?

Apalagi, dalam hal ini, Atta bicara dalam konteks pernikahan. Bukankah salah satu hal yang bisa membangun pondasi pernikahan yang baik adalah penghormatan yang setara pada satu sama lain, termasuk diskusi dan kompromi dalam berbagai hal? Kalau dari awal saja, pasangan kita menuntut agar kemauannya selalu dituruti, bukankah itu adalah sinyal kalau hubungan itu akan jadi sangat berbahaya di kemudian hari? Pemikiran-pemikiran inilah yang menjadi bibit dari hubungan toksik, bahkan abusive.

Inilah empat alasan mengapa pernyataan itu bermasalah dan berpotensi melanggengkan berbagai miskonsepsi dan penindasan terhadap perempuan dalam pernikahan.

Baca juga: ‘Fairy-tale Wedding’ Aurel-Atta dan Frekuensi Publik yang Dicuri

  1. Suami bukan Tuhan, istri bukan pengikut

Hubungan, termasuk pernikahan, seharusnya terjalin antara dua orang yang setara membentuk kemitraan, bukan kepemilikan dan dominasi. Saya melihat, pernyataan “suara suami suara tuhan” itu tak ubahnya sebagai narsisisme dan ego besar seorang manusia yang mengatasnamakan Tuhan. Selain merebut otoritas diri perempuan terhadap dirinya sendiri, kalimat itu juga menekankan seolah-olah perempuan akan kehilangan semua hak atas dirinya, dan memberikan semua itu kepada suaminya, setelah menikah.

Ketika masih berstatus tunangan, belum apa-apa, Atta sudah berkata bahwa ia ingin memiliki 15 orang anak dari Aurel. Pernyataan tersebut mengundang respons dari aktivis perempuan Kalis Mardiasih. Kalis mengkritik Atta yang terkesan memandang perempuan sebatas dari fungsi reproduksinya, tanpa mempertimbangkan keselamatan dan kesehatan fisik maupun mental istrinya sebelum, saat, dan setelah hamil dan melahirkan.

Ini bukan persoalan membatasi sebuah keluarga dalam mempunyai anak, karena jumlah anak yang ingin dimiliki tentu jadi urusan mereka masing-masing. Tapi ini adalah persoalan mendasar dari kemanusiaan, di mana ada manusia yang kemerdekaan dirinya direnggut hanya karena status pernikahan dan kehadiran sosok suami, tanpa terlebih dahulu melalui proses diskusi dan kompromi kedua belah pihak.

Apabila seorang laki-laki menempatkan keputusannya berposisi lebih tinggi daripada istrinya, memaksa istrinya untuk mengikuti itu, apalagi sampai menyamai dirinya dengan Tuhan, apakah itu bisa disebut kesetaraan?

Baca juga: Kesetaraan dalam Rumah Tangga Tak Cuma Urusan Privat, Tapi Juga Negara

  1. Cerminan narsisisme tak bertepi

Sebenarnya ini logika sederhana. Kalau seseorang hanya mencintai dan memedulikan dirinya sendiri, berarti ya dia memang mau sendirian, bukan mau berhubungan. Tapi kalau sejak awal dia memiliki niat yang lurus tentang hubungan yang sedang atau akan dia jalani, fokusnya dalam menjalani dan merintisnya tentu turut terbagi pada pertimbangan orang lain yang menjadi pasangannya kelak.

Pernyataan Atta seperti muncul dari seseorang yang memiliki kecintaan berlebihan pada diri sendiri, sampai-sampai menutup telinga dan kepekaan dari nasib dan keinginan pasangannya selama berhubungan dengannya.

Kalau memang niatnya lurus untuk berhubungan, bukankah seharusnya dia ingin agar pasangannya bahagia selama berhubungan dengannya? Tapi bagaimana caranya dia bisa bahagia kalu terus-menerus dilucuti hak dan otoritas dirinya?

“Aku melakukan ini, memutuskan ini, kan buat kebaikanmu.”

Memang kamu siapa? Kok bisa lebih tahu mana yang terbaik buat diriku daripada diriku sendiri?

  1. Ketidaksetaraan hubungan suami istri pengaruhi masa depan anak

Karena Atta memang berniat memiliki anak, seharusnya ia sudah mempertimbangkan bagaimana caranya memandang istrinya dengan tidak setara ini bisa turut memengaruhi cara mereka mengasuh anak, sampai bagaimana dampaknya secara langsung pada anak, karena dia lah yang akan menjadi contoh anaknya kelak.

Biasa melihat ayah yang tidak mengindahkan suara dan posisi ibunya dalam kehidupan keseharian, atau bahkan menyaksikan ibunya sendiri terkungkung dalam aturan-aturan rumah tangga yang dibuat ayahnya secara sepihak, akan menimbulkan pemahaman bahwa laki-laki dan perempuan memang merupakan dua makhluk yang tidak setara dan memiliki pembagian fungsi yang tidak fleksibel.

Anak laki-laki akan meniru ayahnya yang tidak mengindahkan suara perempuan yang menjadi pasangannya. Sementara anak perempuan akan menganggap bahwa patuh dan menyerahkan otoritas diri pada psangannya kelak adalah hal yang wajar, karena itulah yang dilakukan ibunya.

Padahal, United Nations of Children’s Fund (UNICEF) dalam bukunya yang berjudul ‘Achieving Gender Equality in Families: The Roles of Males’ (1995) mengungkap, hubungan ayah dan ibu yang setara dan kooperatif berpotensi membuat iklim keluarga menjadi baik. Hal itu disebabkan karena hubungan yang setara akan melahirkan sepasang suami dan istri yang tidak terbatas atau saling membatasi dalam pembuatan keputusan karier.

Kesempatan dan akses yang sama antara ayah dan ibu ini kemudian berpotensi membuat kondisi finansial keluarga menjadi baik, sehingga berpengaruh positif terhadap masa depan anak. Penelitian ini juga menyoroti bagaimana hubungan antara ayah dan ibu yang setara, di mana keduanya sama-sama mengambil porsi dalam membesarkan anak, akan membuat anak tumbuh menjadi seseorang yang lebih baik.

Baca juga: Magdalene Primer: ‘Marital Rape’ dan ‘Consent’ dalam Pernikahan

  1. Jejak rapor merah Atta sebagai figur publik

Hingga saat ini, Atta Halilintar sudah memiliki 27,2 juta subscribers di YouTube dan 18,3 juta pengikut di Instagram. Sebagai seorang figur publik, Atta memiliki kekuatan untuk mempengaruhi banyak orang, atau setidaknya, dia adalah contoh dari jutaan pengikutnya itu. Bila ada sebagian dari pengikutnya yang masih dalam usia anak-anak atau remaja, yang lalu mendengar perkataan Atta yang berbalut ketidaksetaraan dalam pernikahan, maka para pengikutnya akan memiliki kecenderungan untuk menganggap itu adalah hal yang benar.  

Miris sekali menyaksikan bagaimana kalimat yang penuh penindasan itu keluar dari mulut seorang laki-laki muda seperti Atta, dan bagaimana orang berpengaruh seperti dirinya malah mereproduksi paham dan praktik dari budaya patriarki yang menindas perempuan.

 

 



#waveforequality


Avatar
About Author

Selma Kirana Haryadi

Selma adalah penyuka waktu sendiri yang masih berharap konsepsi tentang normalitas sebagai hasil kedangkalan pemikiran manusia akan hilang dari muka bumi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *