5 Artikel Pilihan Sepekan: Trauma Warisan hingga Polemik JHT
Redaksi Magdalene merangkum lima berita pilihan untuk pekan ini, mulai dari polemik pencairan JHT hingga ‘generational trauma’.
‘Ketika Kita Diwariskan Trauma dan Bagaimana Mengatasinya
Generational trauma seperti tampak dalam Encanto atau Bad Buddy melibatkan proses orang tua dengan trauma yang belum terselesaikan. Lalu mereka mentransmisikan traumanya kepada anak-anak mereka melalui pola interaksi tertentu. Hal ini kemudian dielaborasi lebih lanjut oleh Melanie English Ph. D, psikolog klinis dalam wawancaranya bersama Health. English bilang, generational trauma hadir tanpa disadari dan tertanam pada hidup seseorang dan masuk ke dalam nilai-nilai serta sikap yang diajarkan orang tua sejak anak masih usia dini hingga mereka dewasa.
Karenanya, keunikan generational trauma ini terletak pada keberadaannya sebagai proses relasional. Alih-alih merupakan trauma dari suatu peristiwa yang dialami secara individual dan berhenti pada diri mereka sendiri, generational trauma merupakan anteseden (hal yang terjadi dulu) dan hasil dari keterikatan traumatis.
Baca selengkapnya di sini.
Ibu Kota Baru, Ketimpangan, dan Narasi ‘Kalimantan Tempat Jin Buang Anak’
Belum lama, pernyataan eks jurnalis Eddy Mulyadi yang menghina Kalimantan sebagai “tempat jin buang anak” serta “sarang kuntilanak dan genderuwo” menuai kontroversi. Narasi yang melukai perasaan masyarakat Kalimantan ini merupakan muncul sebagai akibat dari kebijakan pemerintah yang timpang bertahun-tahun.
Kendati pemerintah saat ini sedang berencana memindahkan pusat pemerintahan ke Kalimantan, narasi itu tetap akan ada selama pendekatan yang digunakan tetap meminggirkan komunitas lokal dan masyarakat adat.
Simak artikelnya di sini.
JHT Baru Boleh Cair saat Usia 56: Lebih Banyak Mudarat buat Pekerja
Saat mengajukan klaim Jaminan Hari Tua (JHT) akhir November kemarin, Yanti (bukan nama sebenarnya), tak tahu kalau Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) sedang menyiapkan aturan baru tentang proses klaim JHT. Waktu itu, Yanti baru saja diminta mengundurkan diri dari perusahaannya dan belum dapat pekerjaan baru. Uang JHT jadi satu-satunya sumber penghidupan yang ia jadikan tumpuan.
Aturan kontroversial yang dimaksud Yanti adalah Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat JHT (Permenaker 2/2022). Aturan baru ini membatasi pencairan dana JHT, yang baru bisa dilakukan ketika pekerja sudah berusia 56 tahun. Sebelumnya, dana JHT bisa dicairkan di umur berapa pun, seperti yang dilakukan Yanti dan Barry, sepanjang peserta mengundurkan diri atau terkena PHK.
Simak artikelnya di sini.
#NoBookShaming: 4 Alasan Novel Teenlit Tidak Perlu Diolok-olok
Popularitas novel teenlit tidak lepas dari kritik, seperti dianggap tidak mempunyai esensi yang setara karya sastra umumnya. Selain itu, memberikan persepsi tentang cerita romansa dan relasi yang tidak realistis bagi remaja. Novel After yang ditulis oleh Anna Todd, misalnya, dikritik dianggap membawa pesan buruk pada pembacanya karena mengizinkan kekerasan emosional dan selingkuh.
Sebelumnya ada juga novel Twilight yang menerima kritik serupa ketika meromantisasi kebiasaan Edward yang suka menguntit dan mengintip Bella saat tidur.
Namun, seperti semua hal di dunia ini yang punya setidaknya dua sisi—atau lebih, teenlit sebetulnya juga bukan genre yang buruk-buruk amat.
Selengkapnya di sini.
LGBT+ History: How Theatre Gave Voice to a Queer Holocaust Survivor
Many Holocaust plays feature Jewish teenagers coming of age in the shadow of the death camps. Yet these works often present sentimentalized, redemptive stories, such as the 1950s production
of The Diary of Anne Frank. They foreground certain narratives to the exclusion of others, such as queer experiences. Speaking testimony, however, can bring such stories back into the present.
How might we use the stage to tell a different story about the Holocaust to young adults? This was the conversation with which we – Anna Hájková, a Holocaust historian, and Erika Hughes, a scholar and director of Holocaust theatre – began our project. We chose to focus on the marginalised topic of the queer coming-of-age experience because it offered a powerful counterpoint to the usual stories of the Holocaust.
Read the article here.