‘Help is On The Way’ Potret Harapan Buruh Migran Indonesia di Taiwan
Sebuah film dokumenter memotret perjalanan buruh migran Indonesia ke Taiwan untuk meningkatkan taraf hidup dan pendidikan.
Tiga calon buruh migran tengah menjalani wawancara. Satu di antaranya adalah Sukmawati Fauziah. Di tengah proses wawancara, air mata perempuan berusia 26 tahun itu bergulir. Ia teringat pengalaman bekerjanya sebagai buruh migran di Malaysia dulu. Selama dua tahun tujuh bulan ia menjadi pekerja rumah tangga (PRT), ia dilarang majikannya untuk mengontak keluarga di Indonesia.
“Beberapa bulan saya nangis terus, pengen pulang. Tapi mau enggak mau, harus tuntas kontrak (kerja di Malaysia),” kisah Sukma kepada kawannya, Meri, yang mau menjadi buruh migran untuk pertama kali.
“Ya, beda orangnya (majikan), harus kuat mental. Pernah jam dua pagi, (anak majikan) main dan suaranya bising. Gimana mau tidur? Jam setengah empat bangun, kalau setengah lima bangun dimarahin, diomel-omelin,” ujarnya, seperti didokumentasikan dalam Help is On The Way garapan sutradara Ismail Fahmi Lubis.
Sukma juga bercerita bahwa saat bekerja di Malaysia, ia dilarang salat oleh majikannya lantaran anak majikan takut melihatnya mengenakan mukena.
Kendati demikian, Sukma tidak patah arang. Ia kembali menjajaki persiapan menjadi buruh migran, kali ini ke Taiwan. Tujuannya satu: Menyenangkan orang tuanya, syukur-syukur bisa mendanai mereka umrah.
Lain Sukma, lain lagi cerita Meri. Perempuan 21 tahun ini mendaftar menjadi PRT migran atas keinginan orang tuanya. Kendati Meri sudah dilamar kekasihnya, orang tuanya lebih ingin Meri bekerja dulu agar dapat membantu orang tua lebih dahulu. Ayahnya berharap Meri dapat membantunya membelikan kambing untuk diternak dan mendanai perbaikan rumah mereka.
Di berbagai negara tujuan buruh migran yang menjadi PRT, penghasilan yang mereka terima memang bisa mencapai enam kali lipat dari gaji di Indonesia. Namun hal itu didapatkan dengan jerih payah dan pengorbanan yang tidak sedikit pula.
“Kalau di tengah jalan proses gagal, mbak mesti ganti semua biaya yang sudah kita keluarkan. Kurang lebih 21 jutaan. Mbaknya siap?” ujar pewawancara, yang dijawab “siap” dengan mantap oleh para calon buruh migran tadi.
Baca juga: Perlindungan Hukum Bagi PRT Migran Masih Semrawut
Biaya yang dimaksud oleh pewawancara meliputi pelatihan bahasa yang dipakai di negara tujuan, pelatihan keterampilan PRT, kebutuhan selama mereka menginap di asrama lima hari dalam seminggu, serta keperluan-keperluan lain yang terkait penempatan kerja calon buruh migran.
Dari Indramayu menuju Taiwan
Help is On The Way menggambarkan kehidupan calon-calon buruh migran di Indramayu, Jawa Barat, pada masa persiapan di asrama sampai akhirnya mendapat panggilan kerja di Taiwan.
Latar tempat Indramayu dipilih Ismail karena pada saat syuting Tarling is Darling—dokumenter seputar dangdut di sana, ia banyak berinteraksi dengan para buruh migran yang hendak berangkat atau sudah pulang dari luar negeri. Indramayu juga dikenal sebagai kota yang paling banyak mengirim buruh migran ke mancanegara.
Selain itu, film ini juga memotret cerita-cerita buruh migran yang sudah bekerja di Taiwan seperti Muji, 40, dan Tari, 35.
Syuting film di Taiwan terselenggara berkat kerja sama Two Islands Digital, rumah produksi Indonesia, dengan PTS Taiwan, lembaga penyiaran publik di sana. Mulanya, Ismail tengah mempromosikan Tarling is Darling (2017) yang lantas memenangkan penghargaan di Taiwan International Documentary Festival 2018. Setelah mengobrol dengan banyak produser di sana, salah satunya tertarik untuk membuat film yang melibatkan kerja sama dua negara dan mengangkat tema kehidupan buruh migran yang akan datang dan sudah ada di Taiwan.
“Mereka mau tahu seperti apa kehidupan buruh migran di Indonesia, bagaimana keluarga mereka, anaknya, dan sebagainya. Bagi pihak produser Taiwan, pilihan buruh migran untuk datang ke negara mereka justru sangat dihargai. Pasalnya, ada orang rela meninggalkan keluarganya untuk ngurus keluarga mereka,” jelas Ismail kepada Magdalene.
Proses pembuatan film memakan waktu setahun, karena Ismail harus pulang pergi Indramayu dan Taiwan serta mengikuti proses pelatihan dan perekrutan calon buruh migran sebelum akhirnya dipanggil kerja di Taiwan.
Kisah Meri dan Sukma ia pilih setelah melakukan seleksi terhadap sekitar 80 orang calon buruh migran di satu asrama.
“Saya pilih Meri untuk menggambarkan karakter perempuan Indonesia di kampung, yang masih tidak boleh berkata tidak kepada orang tua. Tidak punya keberanian untuk membantah. Harus ada karakter Meri karena masih banyak juga yang seperti itu,” ujarnya.
Problematika buruh migran tujuan Taiwan
Persoalan bahasa mengemuka ketika kisah Muji bergulir. Walaupun di negara pengirim buruh migran sudah ada pelatihan bahasa dan beberapa buruh migran juga pernah bekerja di luar negeri, kemampuan bahasa mereka ternyata tidak selalu seperti yang diharapkan majikan barunya. Catherine, atasan Muji misalnya, bercerita bahwa meskipun Muji pernah bekerja di Singapura, kemampuan bahasa Inggris dan Mandarinnya masih minim. Rupanya ini karena sehari-hari, Muji berinteraksi dengan mantan majikannya yang orang Melayu.
Masalah kemampuan bahasa ini sering ditemukan juga dalam konteks buruh migran lain. Dalam laporan Human Rights Working Group (HRWG) seputar pengalaman buruh migran di Jepang misalnya, pelatihan bahasa Jepang di Indonesia masih kurang merata standarnya. Di beberapa lembaga pelatihan kerja bahkan ditemukan pengajar bahasa yang bukan ahlinya, melainkan hanya buruh migran yang sudah kembali ke Indonesia. Pada praktiknya pun, menurut pengalaman salah satu buruh migran yang pernah bekerja di kapal di Jepang, bahasa Jepang yang mereka sempat pelajari di Indonesia berbeda dengan yang sehari-hari dipakai berinteraksi di lokasi kerjanya.
Baca juga: ‘Sekali Berstatus PRT Migran Selamanya PRT Migran’
Dalam film ini, Muji juga bercerita soal suaminya di Indonesia yang malah mempunyai pacar lagi hingga akhirnya mereka bercerai. Pernah suatu kali, suami Muji meminta uang dari gajinya, tetapi saat Muji berkisah kepada Catherine soal perselingkuhan suaminya tersebut, Catherine melarangnya memenuhi permintaan sang suami.
“Kalau ada apa-apa ya ke kita. Tapi ya gitu balasannya, habis manis sepah dibuang,” kata Muji, sambil tertawa getir.
“Dia bilang enggak mau lagi sama aku karena aku anaknya orang miskin. Emang aku anaknya orang miskin. Kalau istrinya (yang baru) kan orang kaya, pegawai negeri,” sambung Muji.
Sementara, Tari mengisahkan hidupnya yang jauh berubah begitu menjadi pengasuh lansia di Taiwan. Baru ketika bekerja di sana ia bisa melanjutkan kuliah jurusan Komunikasi.
“Almarhum Ayah bilang, kamu akan diingat orang karena ilmumu, bukan karena hartamu. Kalian ini anaknya orang biasa. Tapi jadilah orang yang jauh lebih pintar daripada kami, orang tuamu yang cuma bisa tambal ban, ibumu malah enggak bisa baca tulis sama sekali,” ujarnya.
Kurangnya informasi mengenai kapan calon buruh migran akan diberangkatkan menjadi sorotan lain dalam Help is On The Way. Hanya dalam beberapa hari sebelum berangkat Sukma menerima informasi dirinya telah diterima kerja dan siap diterbangkan ke Taiwan.
Sementara itu, Meri harus menunggu lebih lama, entah sampai kapan ia mendapat penempatan kerja. Sudah tiga kali ia mengikuti wawancara dengan agensi dari Taiwan, tetapi semuanya berujung nihil. Pernah suatu kali ia diwawancara dan tidak paham salah satu pertanyaan dalam bahasa Mandarin yang diajukan. Selepasnya, pewawancaranya hanya mengatakan akan mengontak dirinya lagi nanti, tidak memberi kepastian kapan akan mengontak lagi atau apakah ia diterima atau langsung ditolak berdasarkan hasil wawancara tadi, apalagi soal alasan ia tidak dihubungi kembali atau diterima.
Sudut pandang berbeda
Berbeda dari banyak berita nelangsa yang masuk di media seputar kemalangan buruh migran, Help is On The Way justru lebih banyak memotret harapan, mulai dari asrama calon buruh migran sampai di Taiwan. Hal yang sama juga terlihat dari sosok-sosok orang tua Sukma dan Meri. Tidak hanya harapan akan penghasilan anaknya yang mampu memperbaiki hidup mereka, harapan bahwa anaknya tetap sehat dan hidup layak pun tertangkap oleh kamera.
Perlakuan majikan Muji kontras dengan perlakuan majikan buruh migran lain yang sarat kekerasan. Ia bak keluarga sendiri bagi Catherine karena ibunya, yang dirawat oleh Muji, menerima dengan baik kehadiran dan pelayanan Muji. Sementara dari kisah Tari, kita dapat menangkap bahwa peningkatan kualitas hidup tidak sekadar soal gaji yang diterima, tetapi juga pendidikan yang bisa diserap selagi bekerja sebagai buruh migran.
“Kalau saya bikin problemnya itu-itu lagi (kekerasan terhadap buruh migran dan kisah menyedihkan mereka), berarti film saya tidak menarik dan saya tidak jujur. Pasti ada kasus di setiap konteks pengalaman hidup buruh migran. Namun karena kasus itu di-blow up media terus, kita selalu vonis mereka begitu,” ujar Ismail.
“Kita harus jujur juga ada yang menampilkan sisi kebaikannya. Kalau saya bikin film yang itu-itu aja, terlalu sempit cara berpikir orang-orang nanti. Saya juga mau pake ‘baju’ yang beda dengan film lain biar menarik orang nonton film saya. Saya menyukai cerita-cerita yang orang belum tahu, bahkan saya baru tahu juga saat itu.”