5 Film Indonesia 2024 dari #MadgeReview: Jeritan Milenial Sampai Konflik Masyarakat Adat
Menonton film-film Indonesia yang hadir dan ramai dibincangkan sepanjang 2024 jadi pengalaman menarik. Ada banyak isu sosial yang coba dikupas sineas kita.
Sebelumnya, kami harus transparan: Tidak semua film Indonesia yang keluar dan tayang selama 2024 ini sempat kami tonton. Keterbatasan waktu, akses menonton, dan kesempatan mewah bisa menyaksikan semua film-film itu jelas bukan milik kami. Jadi, semua film yang kami ulas dan tayang di Magdalene, kadang-kadang cuma karena beberapa faktor penentu: kesempatan penulis atas waktu, akses menonton, dan keteguhan hati menyelesaikan tulisan.
Namun, dalam keterbatasan itu, bukan berarti film-film yang tidak kami ulas tidak kami tonton. Harus diakui, banyak sekali film-film bagus yang kami lewatkan. Banyak dari mereka seharusnya dapat kesempatan paparan lebih besar, tapi lagi-lagi terkendala akses menonton yang masih terbatas.
Beberapa ulasan kami juga tidak cuma fokus pada film-film yang kami anggap bagus diangkat. Beberapa judul yang viral dan mendulang jumlah penonton bombastis, tapi sebetulnya dikenal bukan untuk hal baik juga kami angkut untuk membuka percakapan. Misalnya, dari film Vina, kami mengangkat eksploitasi kekerasan seksual dalam industri film yang kapitalistik.
Dalam daftar ini, kami menyusun lima film dengan berbagai format yang kami anggap punya isu-isu menarik. Bukan cuma film panjang, dalam daftar ini kami juga memasukan film pendek, dokumenter, yang penayangannya tak terbatas di bioskop konvensional tapi juga dapat ditonton dalam layanan streaming. Kebanyakan dari mereka jadi punya kesamaan yang menarik pula: misalnya, membawa isu-isu sosial yang penting, sekaligus ramai diperbincangkan khalayak.
Keramaian perbincangan dan akses menonton juga jadi salah satu pertimbangan. Beberapa judul memang tidak pertama kali rilis tahun ini, tapi ia baru dapat ditonton secara lebih ramai pada tahun ini. Apa saja mereka? Silakan simak:
1. Eksil (Lola Amaria)
Eksil bercerita tentang satu generasi intelektual yang ditelantarkan negara karena dituduh simpatisan Sukarno dan ditempeli label komunis. Cerita-cerita tentang dampak tangan besi diktator Soeharto dan rezim Orde Baru pada satu kelompok dan keturunan mereka, utuh hadir di sana. Lengkap dengan segala lapisan trauma kolektif yang dijabarkan Lola dengan sabar dan dingin.
Kesan mengulang-ulang cerita ini bukan cuma jadi hal paling menarik dari Eksil. Ia sekaligus fakta yang paling bikin bergidik. Bukan cuma nangis sesenggukan karena ikut meratapi nasib tak adil yang diterima para tokoh di dalamnya, saya juga merasa seperti ditampar kembali–keras sekali–untuk ingat bahwa kerja keras negara ini mengubur sejarahnya betul-betul mengerikan.
Eksil sempat ramai dibincangkan karena dianggap jadi panyambung lidah ke telinga generasi muda Indonesia, yang ternyata betulan jauh dari isu genosida orang-orang terafiliasi Partai Komunis 1965. Dalam ulasan ini, kami bukan cuma mempertanyakan keputusan Lola Amaria—sang sutradara—untuk membawa isu ini dari sudut pandang generasi lebih muda, tapi juga mengkritisi kita—khalayak lebih besar sebagai penonton—yang juga punya tanggung jawab dalam mengingat derita dan tangisan para eksil 1965.
Ulasan lengkapnya bisa dibaca di sini.
2. Dua Hati Biru (Gina S. Noer dan Dinna Jasanti)
Jika dalam film pertama berfokus soal Dara (Zara Adisty)—sekarang diganti Aisha Nurra Datau, dan Bima (Angga Yunanda) yang menjalani konsekuensi dari kehamilan tak diinginkan, di sekuelnya ini, Gina dan Dinna fokus pada kompleksnya kehidupan pasangan muda itu sebagai orang tua yang berusaha membesarkan Adam (Farrel Rafisqy).
Sejak film pertama, kita tahu Zara dan Bima punya latar belakang berbeda. Zara dibesarkan di keluarga kelas menengah atas sedangkan Bima tumbuh di keluarga pas-pasan. Zara punya privilese meneruskan pendidikan di Korea Selatan, sementara Bima harus bekerja sejak lulus SMA, sekaligus membesarkan Adam.
Perbedaan latar belakang keluarga inilah yang jadi tantangan terbesar keduanya dalam membesarkan anak. Zara yang belajar di luar negeri sambil bekerja punya cara berbeda dalam menyerap dan memahami ilmu parenting. Begitu pula cara Bima melihat cara mengurus keluarga.
Dua Hati Biru mengingatkan kita bahwa hidup terus berlanjut—bahwa masalah pernikahan dini tidak selesai di film pertamanya. Membangun keluarga baru adalah PR Dara dan Bima, yang ternyata juga membuka percakapan penting buat kita penonton. Di Indonesia, isu pernikahan anak adalah salah satu yang terus diperjuangkan. Lewat film ini, percakapan-percakapan tentang membentuk keluarga sehat dan mempertanyakan peran gender ala patriarki, terus tersuarakan.
Ulasan lengkapnya bisa dibaca di sini.
3. Basri & Salma dalam Komedi yang Terus Berputar
Dalam Basri & Salma dalam Komedi yang Terus Berputar, kita sebetulnya tak punya banyak informasi tentang dua tokoh utamanya: Basri dan Salma.
Nukilan singkat yang biasanya hadir di media kit atau bio singkat di bawah filmnya—jika ditonton lewat layanan streaming, cuma menjelaskan bahwa keduanya bekerja sebagai tukang odong-odong di karnaval. Informasi tambahannya, mereka telah menikah lima tahun dan tidak punya anak.
Tantangan utama dalam film pendek adalah menciptakan karakter kuat, menarik, dan memikat untuk memaksa penonton tetap tinggal, dalam waktu yang amat ringkas. Aturan itu sepertinya amat dipahami Khozy Rizal, sang sutradara. Sehingga di tiap adegan, Khozy bukan cuma mengupas konflik apa yang ingin ia sajikan, tapi juga menjejali kita dengan infromasi-informasi penguat karakter Basri dan Salma. Dan menjawab kenapa mereka berdualah protagonis kita.
Sejak adegan pertama, kita diperlihatkan sepasang suami istri yang menatap ke arah berbeda. Salma, sang istri, duduk, sementara Basri, sang suami berdiri—di depan odong-odong mereka. Film langsung mengenalkan konflik yang dialami keduanya: Ada cara pandang berbeda.
Namun, dalam detik berikutnya, pandangan mereka langsung tertuju pada arah yang sama: Kedatangan gerombolan anak-anak yang menyerbu odong-odong mereka. Bocah-bocah yang sebetulnya adalah sumber rejeki mereka (secara harfiah, karena berperan sebagai konsumen odong-odong itu), justru ditatap dengan penuh keresahan oleh Basri dan Salma.
Basri & Salma dalam Komedi yang Terus Berputar sebetulnya pertama kali rilis pada 2023. Namun, selama setahun lebih ia bersirkulasi dari festival ke festival. Baru pada 2024 ini, ia dapat ditonton penonton lebih ramai lewat Bioskop Online. Kesuksesan Khozy dalam bertutur diganjar Short Film Palme d’Or, Cannes Short Film Special Distinction pada 2024 lalu. Ketangkasannya menelanjangi yang masih heteronormatif, toksik dalam agenda prokreasi, dalam 15 menit saja, tentu perlu jadi perhatian bersama. Karya-karya berikut Khozy, perlu kita pantau bersama.
Ulasan lengkapnya bisa dibaca di sini.
4. Kabut Berduri (Edwin)
Palari Film—rumah produksi yang melahirkan Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas (2021), Ali & Ratu-ratu Queens (2021), Dear David (2022)—hadir dengan isu perbatasan negara Indonesia-Malaysia lewat Kabut Berduri (2024). Kalimantan jadi latar utama film ini. Kita dipandu seorang detektif dari Jakarta bernama Sanja (Putri Marino). Setibanya di tempat kerja barunya, ia disambut kasus pembunuhan dua orang: satu badan, dan satu kepala dengan dua identitas berbeda. Kasus itu yang perlahan ia bongkar, dan membawa Sanja ke petualangan mengenal konflik-konflik yang terjadi di perbatasan.
Terungkap, kematian itu dipicu konflik yang terjadi antara mafia perdagangan orang dan TNI serta preman setempat. Ada irisan masalah lain yang juga terekam dalam proses pengungkapan yang dilakukan Sanja. Seperti konflik masyarakat adat dengan TNI dan Polisi di sana, pembalakan liar, serta pembunuhan berantai yang dilakukan mantan pemandu prajurit mencari Pasukan Rakyat Kalimantan Utara (Paraku).
Dalam film terakhirnya ini, sutradara Edwin kembali menghadirkan sinema. Kabut Berduri bukan cuma cerita yang memikar, karakter yang kokoh, riset mendalam, sinematografi indah, mise en scene yang kuat, tapi juga isu-isu relatable yang ditulis dengan penuh hormat. Lewat film yang diproduksi bersama Netflix ini, Edwin berhasil melempar isu perbatasan, konflik antara masyarakat adat dan negara—sesuatu yang jarang dikupas film nasional secara gamblang.
Ulasan lengkapnya dapat dibaca di sini.
5. Home Sweet Loan (Sabrina Rochelle Kalangie)
Terimpit, tapi tetap punya mimpi. Kalimat itu menggambarkan karakter Kaluna (Yunita Siregar) dalam film drama keluarga, Home Sweet Loan (2024). Film garapan Sabrina Rochelle Kalangie ini menyorot perjuangan Kaluna, milenial yang berambisi punya rumah sendiri.
Ambisi itu lahir karena situasi di rumahnya yang tak ideal: Ada tiga keluarga, tak ada privasi, dan Kaluna ter(di)paksa memprioritaskan kebutuhan anggota keluarga lainnya. Sebagai anak bungsu, Kaluna bahkan dibebankan tanggung jawab untuk mengurus kebutuhan rumah—seperti mengisi token dan mencuci piring setelah makan bersama.
Namun, untuk mewujudkan mimpi, Kaluna perlu berdarah-darah mencari pekerjaan tambahan. Ia rela mengambil side job sebagai model produk bibir, meski nominalnya terhitung “recehan” jika dibandingkan penghasilan bulanan. Dan perkara mempertahankan tabungan itu enggak mudah, karena kakak-kakak Kaluna kerap berharap bantuan finansial.
Lewat karakter Kaluna, Home Sweet Loan mewakili keseharian generasi sandwich di perkotaan, yang berusaha mencari kesejahteraan.
Bisa jadi, film ini adalah yang paling relatable buat kebanyakan orang Indonesia hari ini. Generasi Milenial dan Gen Z adalah statistik penduduk terbanyak. Keresahan mereka yang kesulitan “bernafas” sehari-hari adalah pengalaman kolektif, keresahan bersama. Home Sweet Loan berhasil mempersatukan keresahan itu jadi percakapan penting yang merembet ke sendi-sendi lain dalam kehidupan menyakitkan dalam ekonomi hari ini.Ulasan lengkapnya bisa dibaca di sini.