6 Film Ghibli yang ‘Underrated’ dan Harus Banget Kamu Tonton
Sebagai studio animasi legendaris, Ghibli menyimpan harta karun tersembunyi. Yuk kenalan dengan 5 film Ghibli yang belum banyak ditonton orang
Sebelum Disney mulai mencitrakan diri woke dan memunculkan tokoh-tokoh perempuan yang lebih berdaya, perusahaan animasi Jepang ternama, Studio Ghibli sudah melakukannya sejak ia berdiri tahun 1985.
Di saat banyak film animasi masih menjadikan tokoh laki-laki sebagai protagonis utama, Studio Ghibli sudah sejak lama memusatkan narasinya pada perempuan, seperti terlihat dalam film-film klasik mereka, termasuk My Neighbor Totoro [HD6] (1996), Princess Mononoke (1997), dan Spirited Away (2004).
Tak hanya itu, karya-karya Studio Ghibli Film terkenal dengan pesan-pesan kuatnya dalam menolak perang dan menjaga lingkungan hidup. Terdengar cukup berat memang, tapi Ghibli punya formula khusus yang bisa membuat pesan-pesan ini lebih membumi, lewat imajinasi tanpa batas, kreativitas visual yang memukau, dan penceritaan yang menawan.
Mereka menciptakan dunia fantasi penuh dengan makhluk-makhluk magis atau perjalanan memori masa lalu yang kemudian diisi oleh narasi konflik antara manusia dan alam atau manusia dengan manusia itu sendiri. Dengan formula ini, pesan yang terkesan berat jadi bisa lebih mudah dipahami dan pada gilirannya karya-karya dari studio Ghibli banyak dicintai. Tak hanya oleh penonton anak-anak tetapi juga penonton dewasa.
Selain tiga film populer yang telah disebut di atas, serta mungkin Kiki’s Delivery Service (1989), Howl’s Moving Castle (2004), dan Ponyo (2008), ada sejumlah film Ghibli yang bisa bilang underrated atau tidak begitu banyak disebut. Padahal film-film ini tidak kalah cemerlangnya dari film-film yang lebih populer. Berikut enam film Ghibli yang menurut saya sayang dilewatkan dan harus banget kamu tonton.
Baca Juga: Kenapa Kita Mudah Terpikat dengan Film Studio Ghibli?
1. Only Yesterday (1991)
Disutradarai dan ditulis oleh Isao Takahata, Only Yesterday berpusat pada Taeko Okajima, perempuan pekerja kantoran yang berusia 27 tahun. Sebuah perjalanan ke desa Yamagata, tempat keluarga kakak iparnya, membawanya ke masa lalu, saat ia masih duduk di sekolah dasar.
Penonton diajak melihat kepingan-kepingan memori Taeoko, baik yang membahagiakan maupun yang menyedihkan. Dan kejadian-kejadian ini begitu dekat dengan keseharian kita, terutama sebagai perempuan Asia.
Ada kisah tentang ketabuan menstruasi, sosok istri yang patuh pada suami yang dominan dan berjarak di rumah, hingga perintah absolut orang tua yang secara tidak sadar menghancurkan mimpi anak perempuannya sendiri.
Plotnya begitu sederhana, tapi cara Takahata menarasikan perjalanan masa lalu Taeko begitu memukau dan realistis hingga kita dapat berempati pada si protagonis. Apalagi kepingan memori ini juga dibarengi oleh momen refleksi Taeko sebagai perempuan dewasa yang dikekang norma sosial, yang membuatnya sulit menavigasi hidup sekaligus mengobati trauma masa kecilnya.
2. Nausicaä of the Valley of the Wind (1984)
Sebuah distopia, Nausicaä of the Valley of the Wind berlatar ribuan tahun setelah runtuhnya masyarakat industri, dan peradaban manusia diperlihatkan dalam ambang kehancuran totalnya.
Sebagian besar permukaan bumi ditutup hutan beracun, dengan udara yang begitu tercemar hingga manusia hanya dapat bertahan hidup selama lima menit tanpa mengenakan topeng. Di hutan tersebut juga tinggal serangga mutan berukuran besar, Ohmu, yang dianggap sebagai ancaman bagi manusia.
Kondisi inilah yang membuat klan yang tersisa di bumi—Valley of the Wind, Pejite, Tolmekia, dan Dorok—bertarung untuk mendapatkan sumber daya yang semakin menipis. Dalam konflik yang berkepanjangan, mereka juga berusaha melawan alam untuk merebut dan membangun kembali peradaban masing-masing.
Apa yang dilakukan para petinggi klan dan orang dewasa ini berlawanan dengan apa yang Nausicaä, putri klan Valley of the Wind, percayai. Ia percaya konflik antarmanusia bukanlah solusi. Demikian pula dengan melawan alam yang sebenarnya juga hancur karena ulah manusia. Sebaliknya, ia percaya agar manusia dapat bertahan hidup, mereka perlu menemukan cara untuk hidup selaras dengan alam dan makhluk hidup lainnya seperti Ohmu.
Baca Juga: Liar dan Imajinatif: 6 Anime Ghibli yang Wajib Ditonton
3. Whisper of the Heart (1995)
Ditulis oleh Hayao Miyazaki, Whisper of the Heart mengisahkan tentang gadis remaja bernama Shizuku yang tinggal di Tokyo. Memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, ia seorang pembaca rakus yang melahap segala macam buku dan ingin jadi penulis ketika dia besar nanti.
Sampai suatu hari, Shizuku menyadari bahwa hampir semua buku yang ia pinjam di perpustakaan sudah dipinjam oleh Seiji Amazawa. Hal ini membuatnya penasaran dan ia pun mulai bersahabat dengan Seiji, yang ternyata pembuat biola berbakat. Ia kemudian pergi ke Italia untuk magang dengan master pembuat biola. Merasa tidak sebanding dengan Seiji, Shizuku pun bertekad untuk mengembangkan bakatnya sendiri dalam menulis.
Dalam menulis ia menggunakan patung kucing, Baron Humbert von Gikkingen yang dimiliki kakak Seiji sebagai inspirasi. Di sinilah petualangan hidup Shizuku dimulai. Petualangan yang menggarisbawahi awal perjalanan perempuan muda dalam mencari jalan hidup dan jati dirinya yang tersandung rasa khawatir akan masa depan yang tidak pasti.
4. The Tale of the Princess Kaguya (2013)
Buat kamu yang tertarik dengan sastra Jepang, film ini bisa jadi pilihanmu. The Tale of the Princess Kaguya diadaptasi dari cerita sastra klasik Jepang, Taketori Monogatari yang ditulis sekitar Abad 9 atau 10 selama periode Heian (794 – 1185).
Film ini bercerita tentang seorang pemotong bambu bernama Sanuki no Miyatsuko yang menemukan bayi perempuan mini di dalam pohon bambu. Miyatsuko dan istrinya yang kebetulan tak memiliki anak pun memutuskan membesarkan bayi perempuan tersebut seperti anak mereka sendiri dan menamainya Hime atau putri. Setelah mengangkat Hime sebagai anaknya, Miyatsuko kerap kali menemukan emas dan kain halus di hutan bambu dengan cara yang sama seperti dia menemukan putrinya itu.
Dia menganggap ini adalah bukti royalti ilahi dan mulai berencana untuk menjadikan Hime, seorang putri bangsawan sungguhan. Miyatsuko memindahkan keluarganya ke ibu kota, memaksa Hime meninggalkan teman-teman sepermainannya dan desa yang ia cintai. Sayangnya, kepindahannya ini tak membuatnya bahagia.
Di bawah didikan keras pengajar etiket Lady Sagami, Hime, yang diganti nama menjadi Kaguya, menjalani hari-harinya belajar menjadi perempuan bangsawan sesungguhnya. Ia dikekang habis-habisan, dididik untuk menjadi sosok submisif, lemah lembut, dan cenderung dibungkam.
Kaguya, yang pada dasarnya perempuan cerdas, mandiri, dan aktif, merasa tertekan. Namun ia sering memanfaatkan beberapa celah yang ada untuk menemukan kebahagiaan di tengah kungkungan kehidupan bangsawan.
Baca Juga: Film-film Hayao Miyazaki dan Representasi Kepemimpinan Perempuan
5. When Marnie was There (2014)
Ini film yang menguras air mata, namun sekaligus membuat hati hangat. When Marnie was There adalah film Ghibli yang diadaptasi dari novel tahun 1967 yang ditulis oleh sastrawan Inggris Joan G. Robinson dengan judul yang sama.
Secara garis besar film ini mengisahkan hidup remaja perempuan pengidap asma, Anna Sasaki. Penyakit yang dideritanya itu membuatnya terisolasi dan kesulitan bergaul. Sang ibu kemudian menitipkan Anna tinggal sementara bersama kerabatnya di kota tepi pantai, yang cocok untuk terapi paru-paru Anna.
Suatu hari, saat Anna sedang mencari tempat untuk menggambar, ia bertemu Marnie, gadis berambut pirang panjang dengan mata biru sama seperti dirinya. Mereka berdua kemudian menghabiskan banyak waktu dan petualangan bersama. Namun, Anna kemudian menyadari bagaimana Marnie tak pernah mau kehadirannya diketahui orang lain dan tak ada yang boleh tahu persahabatannya dengan Anna. Hal ini menimbulkan konflik di antara kedua remaja tersebut.
Misteri siapa Marnie ini kemudian terkuak, dan berakhir pada suatu momen yang membuat Anna berefleksi terhadap dirinya sendiri dan bagaimana ia melihat dunia serta memperlakukan orang terdekatnya.
6. Porco Rosso (1992)
Film karya Hayao Miyazaki ini memiliki narasi yang cenderung lebih berat karena berlatar pasca-Perang Dunia I. Porco Rosso mengikuti perjalanan seorang tentara bekas pilot yang kini menjadi pemburu bayaran alias bounty hunter dan dikutuk berkepala babi. Sosoknya begitu populer, dan oleh warga lokal ia dianggap pahlawan karena aksi heroiknya melawan para perompak udara.
Namun, para perompak udara tidak tahan dengan aksi heroiknya ini dan memutuskan menyewa Donald Curtiss, seorang pilot Amerika dengan impian menjadi bintang Hollywood, untuk menjatuhkan Porco. Persaingan antara Curtiss dan Porco menjadi [HD7] tulang punggung cerita Porco Rosso. Namun selama kurang lebih 94 [HD8] penayangannya, penonton tidak disuguhkan dengan adu tembak atau aksi mendebarkan lainnya.
Justru sebaliknya, film ini dibuat justru untuk menonjolkan interaksi manusia yang intim lewat berbagai pertemuan Porco dengan para tokoh-tokoh lain. Penonton dibiarkan memahami karakter Porco secara lebih humanis. Nyatanya, ia hanyalah seseorang yang tidak pernah bisa memaafkan dirinya sendiri atas kegagalannya dalam menyelamatkan rekan pilotnya selama perang berlangsung.
Ia memutuskan untuk bersikap keras pada dirinya sendiri dan tak mau membuka dirinya pada orang lain yang coba membantunya. Sehingga, wajahnya yang dikutuk jadi babi hanyalah cerminan dari bagaimana dunia harus melihatnya.