Belum lama ini, pro-kontra soal representasi perempuan di dunia kesehatan muncul di Twitter. Perdebatan warganet diawali dengan kritik oleh akun @agussari atas sebuah poster diskusi daring yang diselenggarakan tahun 2020 bertajuk “Nanti Kita Cerita Tentang Nyeri Haid”. Acara tersebut melibatkan spesialis obstetri dan ginekologi (SpOG) yang seluruh pembicaranya laki-laki (all male panel).
Seorang dokter pemilik akun @dayatia mengatakan hal itu terjadi lantaran belum ada SpOG perempuan di klinik yang baru dibuka dan sedang dipromosikan saat itu. Seiring dengan justifikasi @dayatia, sebagian warganet lain mewajarkan hal tersebut dengan alasan selama para pembicara adalah pakar atau berpengalaman lama di bidangnya (kesehatan reproduksi perempuan), meskipun mereka tidak pernah haid, tidak masalah gendernya apa. Ada pula yang menggunakan argumen “apa harus jadi hewan dulu buat jadi dokter hewan? Kena kanker dulu buat jadi ahli onkologi?”.
Argumen lain yang dipakai dalam menafikan bias gender dalam dunia kesehatan adalah bidang dan diskusi yang diadakan saat itu adalah ilmiah dan objektif seperti diungkapkan akun @blogdokter. Sementara, @dayatia yang terlibat dalam “perang pendapat” dengan sebagian warganet seperti didokumentasikan akun @infotwitwor_ 1 Mei lalu, bahkan menyebut sudah ada perempuan-perempuan di dunia kesehatan yang menduduki posisi strategis dan dihormati.
Baca juga: Riset: Perempuan Indonesia Kehilangan 36 Juta Tahun untuk Hidup Sehat
Bias Gender di Dunia Kesehatan Lebih dari Isu All Male Panel
Dokter umum yang berfokus pada isu hak kesehatan seksual dan reproduksi, Putri Widi Saraswati mengatakan, masalahnya bukan hanya sekadar “kenapa yang ngomong obgyn cowok” tapi lebih jauh lagi, yakni mengapa keterlibatan perempuan dan pengalaman perempuan dalam isu kesehatan menstruasi kurang terwakili.
Putri mengatakan ada banyak hambatan yang membuat representasi dan suara perempuan, baik sebagai tenaga kesehatan (nakes) maupun pasien masih kurang diperhatikan.
“Dari perspektif nakes, secara global ada sekitar 70 persen nakes perempuan. Tapi mereka biasanya berada di posisi lebih rendah di manajemen dan dibayar lebih rendah. Itu pola yang ditemukan di mana-mana walau persentasenya beda-beda,” ujar lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran, Bandung ini, kepada Magdalene.
Putri juga menyebutkan, ada segregasi horizontal berupa pembagian pekerjaan berbasis stereotip gender yang berlaku di masyarakat.
“Contoh, perawat kebanyakan perempuan karena pekerjaannya berkaitan dengan nurturing, caring, dan sebagainya yang berhubungan dengan stereotip perempuan. Bidan juga enggak ada yang cowok,” kata Putri.
“Ini jadi menarik, kenapa dokter obgyn kebanyakan cowok di kita, bidan semuanya perempuan? Power in decision making-nya, penghargaannya, citranya [antara obgyn dan bidan] itu beda. Secara sistem sosial ada strata yang dibangun di masyarakat, siapa yang lebih tinggi atau rendah.”
Associate Professor Antropologi dan peneliti senior di Pusat Kajian Gender dan Seksualitas Universitas Indonesia, Irwan Martua Hidayana mengatakan, bias gender di dunia kedokteran juga tidak lepas dari masih dominannya laki-laki di bidang tersebut, terlebih di bidang spesialisasi. Data Kementerian Kesehatan pada 2019 menyebutkan, dokter perempuan yang melanjutkan studi spesialis sebesar 12.324 orang, sementara laki-laki 17.268 orang.
“Yang saya pahami, dunia medis juga sangat hierarkis. Dokter dianggap paling tahu, apalagi kalau dokter itu sudah senior dan laki-laki. Dia dianggap yang punya pengetahuan paling luas. Mungkin enggak semua dokter bersikap seperti itu, tapi kultur pendidikan medis di Indonesia begitu menurut saya,” papar doktor bidang Antropologi Medis dari University of Amsterdam ini.
Menanggapi opini @dayatia yang menyebut berbagai nama perempuan yang dihormati di dunia kedokteran, Irwan melihat pemahaman isu gender semacam itu sempit.
“Dokter-dokter seperti itu menganggap gender itu sekadar laki dan perempuan (jenis kelamin). Jadi, dia menganggap kalau ada perempuan jadi dokter itu persoalan selesai. Dia enggak berpikir ada konstruksi budaya tentang gender yang menimbulkan bias,” jelas Irwan.
Menurut Putri, munculnya segelintir perempuan profesor atau di jabatan tinggi di dunia medis hanyalah titik awal dan tidak menggambarkan kondisi keseluruhan dunia tersebut.
“Segelintir profesor perempuan yang luar biasa di sebuah bidang, itu sesuatu yang bagus. Tapi itu tidak menjelaskan atau membuktikan representasi gender di dunia kedokteran sudah fair,” ucap Putri.
“Tetap bagus saat perempuan bisa jadi profesor di suatu bidang, bisa jadi inspirasi bagi perempuan lain. Tapi PR-nya kan enggak berhenti sampai situ, bukan masalah kuota saja. Ketika ada segelintir perempuan bisa naik ke atas sementara banyak perempuan lainnya yang punya kemampuan mumpuni, ‘kan harus bertanya juga kenapa?”
Ia menekankan pentingnya menyuarakan pengalaman perempuan (dan gender lain) yang menjadi nakes. Dengan demikian, kebijakan didorong untuk mengakomodasi dan menciptakan lingkungan kerja yang lebih positif bagi para nakes perempuan.
Baca juga: Masalah Jantung pada Perempuan Sering Luput dari Perhatian
Benarkah Ilmu Kesehatan Sepenuhnya ‘Objektif’?
Di dunia medis, kerap kali nakes melihat suatu penyakit semata-mata biologis, secara “objektif”, dan masyarakat mempercayai apa pun opini mereka. Padahal ada faktor lainnya seperti bagaimana persepsi seseorang terhadap penyakitnya berdasarkan budaya, gender, dan keyakinannya, serta pengalaman orang itu.
“Mungkin sebagai dokter, dia [SpOG laki-laki] mempelajari proses haid itu seperti apa, nyeri disebabkan oleh apa, makanya dia bilang objektif. Tapi persoalannya, ketika bicara nyeri haid kan bukan sekadar proses fisik. Karena ketika perempuan mengalami haid, pengalamannya kan beda-beda,” kata Irwan.
“Pengalaman perempuan itu kan pengetahuan juga yang penting untuk dipahami dokter. Maka bagi saya, ketika ada SpOG perempuan, dia bisa memberikan pemahaman berbasis pengalaman dia sendiri sebagai perempuan selain sebagai dokter.”
Ia juga menekankan, para dokter sepatutnya melihat fenomena kesehatan atau penyakit bukan sebagai kondisi biologis semata. Bagaimana lingkungan sosial, budaya, dan agama juga berkontribusi terhadap penyakit atau mempengaruhi persepsi seseorang soal penyakit, dan sayangnya sebagian dokter masih kurang menyadari soal itu.
Dalam sejarah, dunia kedokteran yang patriarkal telah mempengaruhi kesehatan perempuan. Sebuah artikel Huffpost berjudul “Female Hysteria: 7 Crazy Things People Used To Believe About The Ladies’ Disease” menunjukkan bagaimana selama ratusan tahun, hidup anggapan keliru tentang histeria perempuan sebagai penyakit berdasarkan opini para dokter yang mayoritas laki-laki dan berbagai cara yang konon efektif mengatasinya.
Baru pada awal 1950-an Asosiasi Psikiatri Amerika mengeluarkan histeria perempuan dari kategori penyakit mental, sementara hal itu baru dihapus dari Diagnostic and Statistical Manual (DSM)—kitab suci dalam psikiatri modern—pada tahun 1980.
Bias gender di dunia kesehatan yang berdampak buruk bagi perempuan dan kaum minoritas bisa juga dilihat dari tulisan Angela Garbes dalam bukunya, Like a Mother: A Feminist Journey through the Sciende and Culture of Pregnancy. Pada satu bagian di bab awal, ia menyinggung bagaimana dokter laki-laki kulit putih mendominasi dan “mendikte” apa saja yang harus perempuan ikuti saat hamil dan melahirkan pada akhir abad 19 sampai awal abad 20.
Masalah Kesehatan Perempuan yang Terpinggirkan
Suara dan pengalaman perempuan yang dikesampingkan berdampak buruk terhadap penanganan masalah kesehatan mereka. Dalam sebuah tulisan di The Conversation tentang penyakit jantung pada perempuan misalnya, dikatakan bahwa gejala yang mereka rasakan berbeda dari laki-laki. Lebih lanjut disebutkan, selama bertahun-tahun lamanya, perempuan tidak diikutkan dalam percobaan klinis terkait penyakit kardiovaskular.
Ahli kardiologi dan gender medicine dari University of Zurich Catherine Gebhard mengafirmasi hal ini dalam video wawancaranya dengan DW. Ia menyatakan, antara pria dan perempuan risetnya sangat tidak seimbang.
“Menurut sebuah studi yang baru kami publikasikan, datanya [tentang penyakit jantung melibatkan] 85 persen pria dan hanya 15 persen perempuan. Konsekuensinya, akibat kurangnya data dan studi klinis, perempuan lebih sering terkena efek sampingan dibanding pria. Pedoman yang bisa kita gunakan sebenarnya berlaku untuk pria, untuk perempuan tidak ada pedoman,” papar Gebhard.
Dalam artikelnya yang terbit 2014 lalu, Anita H. Clayton, MD mengatakan bahwa meski disfungsi seksual (DS) perempuan lebih jamak dibanding laki-laki (43 persen : 31 persen), Food and Drug Administration (FDA) di AS menyetujui 24 jenis perawatan untuk DS laki-laki dan nol bagi DS perempuan. Lebih jauh Clayton menjelaskan, ketika obat untuk DS perempuan dikembangkan dan disetujui, hal itu didasari oleh seksualitas laki-laki alih-alih mempertimbangkan seksualitas dan perspektif perempuan.
Sementara dalam sebuah tulisan di situs PBB, disebutkan bahwa meski jumlah perempuan yang masuk sekolah kedokteran di AS telah naik, kurikulum di sana masih kurang memedulikan masalah kesehatan perempuan. Pengajarnya masih kebanyakan laki-laki kulit putih, materinya dan opsi pengobatan juga masih berbasis riset dari kelompok itu.
Putri menyatakan, ada salah satu riset yang menyebut bahwa nyeri pada perempuan sering diremehkan karena dianggap berhubungan dengan histeria. Akibatnya, keluhan nyeri pada perempuan tidak dikelola dan diterapi dengan baik.
“Balik lagi ke nyeri haid, dianggap normal. Akibatnya banyak perempuan termasuk nakes dianggap kurang tough waktu mengeluh soal nyeri haid. Kadang disuruh minum anti-nyeri aja, atau dibilang ‘Kalau nikah nanti juga hilang nyerinya’. Hal-hal kayak begitu kan bias gender,” ujarnya.
Dorong Wawasan Budaya dan Gender Masuk Kurikulum Pendidikan Kesehatan
Irwan menyatakan, penting bagi tenaga kesehatan untuk memiliki wawasan budaya dan gender dalam menangani pasien.
“Memang ada penyakit tertentu yang lebih banyak diderita perempuan dari laki-laki atau sebaliknya. Lepas dari itu, bagaimana perempuan mengalami sakit dan persepsi dia kan berbeda dari laki-laki, itu menurut saya kenapa wawasan gender jadi penting,” ujar Irwan.
Mengingat pentingnya tenaga kesehatan dan masyarakat secara umum untuk memiliki wawasan budaya dan gender terkait persoalan medis, Irwan menyarankan institusi-institusi pendidikan kesehatan (fakultas kedokteran maupun kesehatan masyarakat) untuk memasukkan kurikulum tentang perspektif gender dan budaya.
“Bias gender ini kan enggak gampang ya, menyelesaikannya karena sudah diinternalisasi sejak kecil. Jadi orang enggak menyadari. Mau enggak mau, caranya lewat kurikulum untuk membongkarnya,” kata Irwan.