Issues Opini Politics & Society

Aborsi untuk Korban Perkosaan: ‘Boro-boro Dilindungi, Kami Malah Dikriminalisasi’

Penyediaan akses layanan aborsi aman dan pemulihan buat korban perkosaan masih menjadi tugas pemerintah yang belum selesai.

Avatar
  • August 1, 2023
  • 6 min read
  • 1322 Views
Aborsi untuk Korban Perkosaan: ‘Boro-boro Dilindungi, Kami Malah Dikriminalisasi’

*Peringatan pemicu: Gambaran kasus pemerkosaan.

Di 2018 lalu, kita dikejutkan dengan persidangan WA, anak perempuan korban perkosaan di Jambi. Alih-alih mendapat perlindungan dari negara, ia justru dipidana penjara enam bulan lamanya. Ini tak sebanding dengan trauma berat yang ia rasakan pasca-diperkosa sembilan kali oleh kakak kandungnya. Bahkan, diancam dengan pengusiran dan pengucilan keluarga.

 

 

WA tak sendirian. Ada sederet korban perkosaan yang juga mengalami “penindasan” serupa. Saat mereka memutuskan untuk melakukan aborsi, akses layanan aman belum tersedia. Alhasil, beberapa memilih menenggak obat atau pergi ke dukun, sehingga membahayakan kondisi kesehatannya.

“Aku tidak mau bayi ini karena mengingatkanku pada kejadian itu dan pelakunya. Aku tidak bisa hidup dengan ini, tapi aku juga bingung,” kira-kira begitulah jeritan hati para korban perkosaan yang di(ter)paksa hidup selamanya menanggung trauma.

Dari ilustrasi kasus di atas tergambar betapa keputusan aborsi tidaklah mudah, bahkan untuk para korban perkosaan sekalipun. Kompleksitas itu menimbulkan kebingungan dan dilema, seperti pernyataan salah seorang korban di atas. Pada beberapa kasus, aborsi meninggalkan efek traumatik mendalam, bahkan depresi. Rasa bersalah menghilangkan nyawa janin dalam kandungan tentu begitu kuat mendera. 

Sementara itu, keberadaan UU Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), yang diharapkan mendorong pemenuhan hak kesehatan reproduksi buat korban perkosaan, juga belum optimal. UU ini sendiri telah menambahkan pasal pengecualian, sebagaimana UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Itu bahkan telah memperpanjang batas usia kehamilan yang dibolehkan untuk aborsi, dari 40 hari menjadi 14 minggu. Namun demikian, penerapan pasal ini masih harus diuji.

Di sisi lain, kasus korban perkosaan yang dikriminalisasi saat mengakses layanan aborsi aman seperti di Jambi dan Jombang menunjukkan urgensi penyediaan layanan aborsi aman. Tak cuma harus lebih komprehensif, tapi juga perlu menekankan pada kebutuhan korban, alih-alih alasan hukum semata. 

Pada saat yang sama, cara pandang masyarakat juga harus diubah saat berhadapan dengan perempuan yang melakukan aborsi, terlebih perempuan korban perkosaan. Kita harus mulai memperhatikan kebutuhan korban tanpa mengedepankan moralitas dan hal-hal yang dianggap tabu. Pemahaman yang baik sejak awal akan memperkuat proses pemulihan dan reintegrasi sosial korban yang akan kembali ke keluarganya. 

Baca juga: 4 Alasan Kenapa Aborsi Aman dan Legal Diperlukan

Mempertanyakan Komitmen Pemerintah

Rekomendasi Umum Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) Nomor 24 tentang Perempuan dan Kesehatan mengatur prinsip aksesibilitas, ketersediaan, kelayakan, dan kepastian atas kualitas layanan medis.

Secara jelas dalam Pasal 12 butir (d) menyatakan: “Negara-negara pihak harus melaporkan pemahaman mereka terkait kebijakan dan langkah-langkah perawatan kesehatan menangani hak-hak kesehatan perempuan dari perspektif kebutuhan dan kepentingan perempuan dan menangani ciri-ciri dan faktor-faktor khusus yang berbeda bagi perempuan dibandingkan dengan laki-laki, seperti: (d) kurangnya rasa hormat terhadap kerahasiaan pasien yang akan memengaruhi baik laki-laki maupun perempuan. Hal itu dapat menghalangi perempuan untuk mencari nasihat dan pengobatan dan dengan demikian berdampak buruk pada kesehatan dan kesejahteraan mereka. Oleh karena itu, perempuan akan terhambat dalam mencari perawatan medis untuk penyakit pada saluran kelamin, untuk kontrasepsi atau untuk aborsi tidak aman dalam kasus di mana mereka mengalami kekerasan seksual atau fisik.”

Sementara Pasal 35 Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 menyebutkan, layanan aborsi harus dilakukan dengan aman, bermutu, dan bertanggung jawab. Untuk penyelenggaraannya pun harus dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan yang ditetapkan Menteri Kesehatan. Fasilitas yang dimaksud adalah Puskesmas, Klinik Pratama, Klinik Utama, atau yang setara, dan rumah sakit. Namun praktik di lapangan hingga kini, tidak ada fasilitas kesehatan yang ditegaskan sebagai pengampu layanan sesuai dengan peraturan yang dimaksud. Tampaknya masih terdapat stagnasi penyelenggaraan sistem kesehatan untuk aborsi aman. 

Stagnasi tersebut setelah saya identifikasi, ada beberapa hal. Di antaranya, belum adanya pelatihan tenaga kesehatan dan sertifikasi tenaga kesehatan; belum tersedia daftar fasilitas kesehatan terkait layanan aborsi aman; di proses penyidikan belum ada jaminan korban perkosaan untuk mendapatkan layanan kontrasepsi darurat dan opsi aborsi aman; dan tidak tersedia standar operasional penanganan (SOP) khusus atau format dokumen untuk melakukan rujukan guna memperoleh layanan tersebut. 

Baca juga: Di Indonesia, Aborsi Bukan Sebuah Pilihan

Layanan Konseling Minim, Data Korban Nihil 

Selain itu, pada kasus korban mengalami kehamilan yang tidak diinginkan, pusat layanan sering kali tidak menyediakan konseling yang memungkinkan korban untuk mengambil pilihan meneruskan atau menghentikan kehamilan.

Problem ketersediaan konselor atau psikolog klinis yang dapat membantu korban sebenarnya juga perlu dicarikan jalan keluarnya. Terlebih UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) juga memandatkan korban kekerasan seksual mendapatkan pemulihan psikologis. Karenalah itu jumlah psikolog klinis/konselor harus ditambahkan. 

Keorganisasian lembaga layananan juga penting untuk dievaluasi. Ini mengingat pasca-pembentukan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan & Anak (UPTD PPA), lembaga yang sudah terbentuk sebelumnya, Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) ternyata tidak otomatis dilibatkan dalam kepengurusan UPTD. Bahkan ada yang dibubarkan di saat bersamaan. Ini agak ironis karena keberadaan P2TP2A sangat membantu korban perkosaan di level komunitas.

Lebih lanjut, persyaratan pembentukan UPTD yang salah satunya adalah ketersediaan psikolog klinis, juga penting ditinjau ulang. Sebab, bukan rahasia umum, belum semua wilayah memilikinya. Pada akhirnya, stagnasi penyediaan layanan ini pada akhirnya menyumbang pada kelambanan layanan bagi korban perkosaan di tingkat komunitas. 

Problem lain adalah adalah nyaris tidak tersedianya data terkait aborsi dengan berbagai ragam penyebabnya, tidak hanya terkait perkosaan. Data ini terutama yang disediakan dari pemerintah. Akibatnya tidak tersedia informasi mengenai intervensi lebih jauh untuk pemulihan korban, termasuk melalui aborsi aman.  

Pada konteks penguatan kapasitas, berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 3 Tahun 2016 tentang Pelatihan dan Penyelenggaraan Pelayanan Aborsi atas Indikasi Kedaruratan Medis dan Kehamilan akibat Perkosaan, Kementerian Kesehatan telah menyusun panduan aborsi aman untuk perempuan korban perkosaan. Namun hingga saat ini panduan tersebut belum tersedia.  

Di sisi lain, tenaga kesehatan dan aparat penegak hukum juga terus bergulat dengan semangat ‘tidak boleh mematikan kehidupan’ apapun latar belakangnya. Hal ini mengingat, mereka juga tidak bisa melepaskan diri dari ikatan moral agama dan nilai yang dianutnya. 

Baca juga: Hak Aborsi yang Kontroversial Hukum

Dalam kasus kehamilan akibat perkosaan, meskipun peraturan perundang-undangan tidak menetapkan persyaratan khusus, dalam praktiknya petugas kesehatan masih meminta persetujuan hakim untuk melegalkan aborsi. Proses legalisasi ini dapat memakan waktu lebih lama dari usia kehamilan yang diperbolehkan aborsi sesuai UU. 

Mengacu pada UU Kesehatan dan peraturan pelaksananya maka pertama, seharusnya pemerintah dapat menyediakan atau menunjuk layanan kesehatan penyedia layanan aborsi aman untuk korban perkosaan.

Apabila korban, karena berbagai hal, meneruskan kehamilannya, maka urgen buat pemerintah untuk memenuhi kebutuhan korban atas perawatan selama kehamilan, kelahiran, bahkan hingga proses adopsi apabila diperlukan. Apabila kedua hal tersebut tidak dapat dipenuhi, hal ini menunjukkan pengabaian negara terhadap kebutuhan perempuan korban perkosaan yang mengalami kehamilan tidak diinginkan (KTD). 

Ilustrasi oleh: Karina Tungari



#waveforequality


Avatar
About Author

Theresia Iswarini

Theresia Iswarini adalah Komisioner Komnas Perempuan 2020-2024. Saat ini menjabat sebagai Ketua Subkom Pengembangan Sistem Pemulihan. Menyelesaikan studi master untuk Kesehatan Masyarakat dari Universitas Mahidol, Thailand pada 2004.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *