Politics & Society

Magdalene Primer: Kriminalisasi Korban Pemerkosaan

Kriminalisasi korban pemerkosaan masih terjadi karena aparat penegak hukum tidak mempertimbangkan hak dan trauma korban.

Avatar
  • August 8, 2018
  • 5 min read
  • 750 Views
Magdalene Primer: Kriminalisasi Korban Pemerkosaan

Spanduk berukuran besar bertuliskan “Korban Pemerkosaan dipenjara: Solidaritas untuk WA, Remaja Korban Pemerkosaan di Jambi” digelar di pinggir jalan dekat Bundaran Hotel Indonesia, Minggu pagi, 5 Agustus lalu. Orang-orang yang tengah berjalan pagi ikut membubuhkan tanda tangan sebagai bentuk solidaritas bagi korban, dan jumlahnya semakin siang semakin banyak. Ada yang kembali lanjut berjalan pagi namun ada juga yang berhenti lalu  menanyakan tentang kasus WA lebih lanjut pada para aktivis dari Jaringan Muda yang menggelar spanduk tersebut.

Setelah kasus WA mencuat di media, banyak warga yang memberikan dukungan, salah satunya dengan menandatangani petisi daring change.org, agar WA dibebaskan dan mendapatkan haknya sebagai korban pemerkosaan.

 

 

Siapa WA?

WA adalah seorang remaja perempuan berusia 15 tahun yang masih duduk di bangku sekolah menengah pertama. Ia diperkosa oleh abang kandungnya hingga hamil. Dibantu oleh ibu kandungnya, WA kemudian menggugurkan kandungannya. Mayat bayinya ditemukan oleh masyarakat sekitar dan tak lama, WA ditangkap polisi.

Pada 19 Juli 2018, WA divonis hukuman enam bulan penjara oleh Pengadilan Negeri Muara Bulian, Jambi. Tim pengacara WA saat ini tengah mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Jambi agar kasus WA dapat dibebaskan dari hukuman pidana dan mendapatkan haknya sebagai korban, termasuk dalam hal perlindungan dan dukungan konseling.

Posisi Korban Pemerkosaan di Mata Hukum

WA sebelumnya digugat lima tahun penjara dan denda berdasarkan Pasal 77 Undang-Undang No. 35/2014 tentang Perlindungan Anak. Pasal tersebut dikenakan karena WA dianggap melakukan aborsi terhadap anak yang berada dalam kandungannya dengan tata cara yang tidak dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan. Hal ini semakin diperparah dengan pembatasan usia kehamilan yang diizinkan untuk menggugurkan kandungannya.

Dalam Undang-Undang Kesehatan No. 36/2009, korban pemerkosaan diperbolehkan untuk menggugurkan kandungannya dengan batas usia kandungan maksimal kurang dari enam minggu (Pasal 76 Ayat 2). Peraturan Pemerintah No. 61/2014 tentang Kesehatan Reproduksi (Pasal 31 Ayat 2) menyatakan bahwa batas maksimal yang diizinkan untuk usia kandungan adalah 40 hari terhitung dari haid terakhir.

Direktur Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan untuk Keadilan (LBH APIK) Veni Siregar menyatakan keberatannya terhadap undang-undang ini,  karena pelayanan terhadap edukasi seksual belum dipenuhi oleh pemerintah.

“Waktu Ibu Budi Wahyuni dari Komnas Perempuan (Komisi Nasional Anti-Kekerasan Terhadap Perempuan) menjadi saksi ahli bidang kesehatan reproduksi di salah satu kasus yang ditangani oleh LBH APIK, beliau menjelaskan masih sangat dimungkinkan pada zaman ini, ada anak-anak yang tidak mengerti tentang kehamilan karena tidak ada informasi tentang hal itu. Pendidikan kesehatan reproduksi masih menjadi perdebatan dan akibatnya anak-anak mendapatkan informasi yang tidak benar,” ujar Veni dalam konferensi pers yang diadakan oleh Aliansi Keadilan untuk Korban Pemerkosaan 5 Agustus lalu.

Ia juga menjelaskan beberapa hal salah kaprah mengenai fakta salah kaprah tentang kehamilan seperti jika masih menstruasi berarti tidak hamil padahal hal ini hanya bisa diketahui dari tes urine dan USG.

Sikap Aparat dalam menangani Kasus Pemerkosaan

Kriminalisasi korban pemerkosaan terus terjadi karena aparat penegak hukum tidak menempatkan korban pemerkosaan pada posisi yang tidak berdaya, dan tidak meninjau lebih lanjut trauma-trauma yang korban derita setelah terjadinya pemerkosaan. Padahal dalam Peraturan Mahkamah Agung No. 3/2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan dalam Menghadapi Hukum, sudah dijelaskan bagaimana bersikap dalam peradilan menyangkut perempuan. Dalam kasus WA, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) banyak menemukan pelanggaran etik yang dilakukan oleh Pengadilan Negeri Jambi, Muara Bulian.

Peneliti dari ICJR, Maidina Rahmawati mengatakan, sejak awal pemeriksaan kasus hingga persidangan berjalan, seperti tidak ada pendampingan hukum untuk korban dalam masa penyidikan. Pada masa persidangan pun WA baru mendapatkan bantuan pada 9 Juli 2018, atau kali pertama ia disidang. Maidina menambahkan bahwa ada indikasi penyiksaan untuk mendapatkan pengakuan dari korban terkait dengan aborsi yang ia lakukan bersama ibunya.

“Hakim itu dalam memeriksa perkara yang melibatkan korban perempuan yang terindikasi sebagai pelaku, padahal dia korban, seharusnya ia dapat menggali trauma psikologis. Dari sini kita melihat penuntut hukum tidak menggali trauma-trauma yang menunjukkan bahwa ia adalah korban pemerkosaan,” ujarnya.

“Kalau memang akhirnya terbukti bahwa anak ini melakukan aborsi, kita tetap harus melihat secara lebih luas mengapa anak ini melakukan aborsi. Apalagi dalam fakta persidangan si anak juga terkena ancaman pengusiran dari ibunya. Seharusnya hakim dapat menggali hal-hal tersebut untuk menghapuskan hukum pidana bagi si anak korban perkosaan ini.”

Hak-hak Korban yang Harus Dipenuhi

Psikolog dari Yayasan Pulih, Livia Iskandar menambahkan, aparat penegakan hukum perlu mempertimbangkan bahwa banyak korban pemerkosaan di daerah terpencil seperti Jambi tidak pernah terpapar edukasi seksual komprehensif, apalagi layanan kesehatan yang memadai.

“Pada umur 15 tahun itu sistem reproduksi si korban belum matang. Lalu karena kejadian ia bisa saja benci pada diri sendiri, merasa jijik, lalu berduka karena sudah kehilangan hal yang berharga dalam hidupnya,” ujarnya.

Livia mengatakan bahwa faktor psikologis si korban setelah mengalami kejadian keji tersebut harus diperhitungkan dalam proses peradilan, maka dari itu sangat perlu pemeriksaan psikologis komprehensif dan juga saksi ahli dalam bidang psikologi untuk kasus-kasus pemerkosaan seperti ini.

Tidak hanya itu saja, sesuai dengan mandat Undang-Undang No. 31/2014 tentang perlindungan saksi dan korban berhak mendapatkan rehabilitasi psikososial dan psikologis untuk pemulihan jangka panjang dan ini harus terus dipantau, ujar Livia.

Baca soal sunat perempuan, dari tradisi ke medikalisasi.



#waveforequality


Avatar
About Author

Elma Adisya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *