Issues

Aborsi Legal Kehamilan Tak Diinginkan, Solusi Tekan Angka ‘Stunting’

Indonesia darurat ‘stunting’. Karena itulah, aborsi legal untuk kehamilan tak diinginkan bisa menjadi alternatif solusi.

Avatar
  • April 4, 2023
  • 5 min read
  • 923 Views
Aborsi Legal Kehamilan Tak Diinginkan, Solusi Tekan Angka ‘Stunting’

Mari kita sama-sama menelan pil pahit bahwa Indonesia darurat stunting. Kita menduduki posisi tertinggi kedua di Asia Tenggara menurut catatan Bank Pembangunan Asia (ADB).

Tingginya prevalensi stunting ini relatif ironis mengingat Indonesia kini tengah jor-joran membangun berbagai infrastruktur. Namun, pembangunan manusia seolah terlupakan di balik agenda pembangunan itu.

 

 

Padahal melupakan pembangunan manusia dengan memastikan tumbuh kembang anak, ibarat menggali kuburan sendiri. Maksudnya, di masa depan, ketika generasi manusia tak memadai, pertumbuhan ekonomi pun akan turut terdampak. Terlebih jika kita ingin menjadi negara yang maju.

Catatan Bank Dunia pada 2016 menyebutkan, jika stunting tak segera ditangani, maka negara bisa merugi 2-3 persen dari produk domestik bruto (PDB) per tahun. Andaikan PDB Indonesia mencapai Rp13.000 triliun, potensi kerugian akibat stunting bisa menyentuh angka Rp260 triliun-390 triliun per tahun.

Besarnya dampak stunting ini menjadi pengingat bahwa pemerintah belum cukup serius bekerja. Kerap kali stunting disederhanakan sebagai problem kurang gizi atau melimpahkan tanggung jawab ke ibu. Padahal ada problem sistemik dalam fenomena ini.

Karena itulah, pernyataan Kementerian Kesehatan baru-baru ini bahwa stunting bisa selesai dengan memberikan anak 1 telur ayam dalam sehari, tak sesederhana itu.

Baca jugaHak Aborsi yang Kontroversial Hukum

Stunting dan Problem Kehamilan Tidak Diinginkan

Tanpa bermaksud julid, sepupu saya baru-baru ini menikahkan anaknya yang berusia 15 tahun. Alasannya karena sang anak mengalami kehamilan tak diinginkan (KTD). Dengan alasan tanggung jawab, janin bayi itu dilahirkan. Namun karena ibu belum cukup siap organ reproduksinya, ia meninggal karena pendarahan hebat. Sementara, sang ayah masih terlampau muda untuk mampu membelikan susu atau perlengkapan bayi lainnya. Sudah pasti bisa ditebak, anak itu akhirnya tumbuh tanpa cukup gizi.

Sedih sekali. Ini adalah satu cerita dari sekian banyaknya cerita anak yang tumbuh menyedihkan dari KTD. Stunting sendiri lekat dengan maraknya KTD, yang sebenarnya bisa sangat dicegah dengan aborsi.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) dan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menyebutkan, 43,5 persen kasus stunting di Indonesia terjadi pada anak berumur di bawah tiga tahun (batita) dengan usia ibu 14-15 tahun. Lalu, 22,4 persen stunting dengan rentang usia 16-17 tahun. Terakhir, sebanyak 43,8 persen berasal dari kehamilan tak diinginkan.

Bahkan penelitian yang dilakukan oleh Puskesmas di Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat, sebanyak 3.032 balita dari total 11.878 balita mengalami stunting. Dari angka itu, 60 persen di antaranya dilatarbelakangi oleh KTD.

KTD memang bukan hal sepele. Sejak 2016, Komisi Nasional anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat dispensasi pernikahan akibat KTD terutama pada remaja, telah bertambah drastis menjadi 7 kali lipat pada 2021. Sebagian besar didasari oleh kemiskinan dan minimnya edukasi.

Jika saja sebagian besar pencetus KTD adalah kemiskinan, maka bisa sangat dibayangkan betapa miris kondisi yang akan didapati oleh calon anak yang kelak dilahirkan. Ini akan jadi mata rantai permasalahan stunting yang tidak akan putus.

Belum lagi kita harus mempertimbangkan kesiapan psikologi dan ekonomi orang tua. Pasalnya, stunting bukanlah masalah hanya pada kemampuan orang tua memberikan gizi, tapi juga kasih sayang penuh agar anak dapat berkembang secara sehat.

Baca juga: 4 Alasan Kenapa Aborsi Aman dan Legal Diperlukan

Legalisasi Aborsi Tak Bisa Ditawar

Kita harus sama-sama mengamini, aborsi adalah hak asasi manusia dan menjadi hak kesehatan reproduksi perempuan paling dasar. Dalam banyak kasus, aborsi adalah satu-satunya pilihan yang tersedia bagi perempuan dengan KTD.

Tak cuma perempuan, aborsi juga memastikan hak anak agar mendapatkan perlindungan, kenyamanan, kasih sayang, pendidikan, dan lingkungan sehat pasca-dilahirkan.

Pemerintah sendiri sudah memberikan pemakluman terhadap aborsi, sebagaimana diatur dalam UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Peraturan Pemerintah Nomor 61 tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi. Bahwasanya aborsi, meski dilarang, boleh dilakukan atas beberapa alasan, seperti korban pemerkosaan dan kondisi medis yang tidak memungkinkan melahirkan. Semua itu dapat didukung oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.

Namun pada praktiknya, untuk mendapatkan persetujuan aborsi, perempuan harus melalui proses cukup panjang dan melelahkan. Ibu yang ingin melakukan aborsi haruslah mendapatkan izin berlapis, dari dokter kandungan (atau dokter pendukung lainnya jika aborsi dilakukan karena medis), psikolog, dan pihak berwajib.

Aborsi juga sangat dilarang bagi bayi yang terjadi di luar pernikahan. Bahkan aborsi karena KTD bisa digolongkan sebagai tindak pidana lantaran dianggap pembunuhan. Di Indonesia yang mana orang kebanyakan “mabok agama”, aborsi pun dicap haram untuk dilakukan secara sengaja. Kecuali itu mengancam salah satu nyawa ibu atau bayi dalam kandungan. Namun, beberapa ustaz meyakini aborsi dapat dilaksanakan sebelum nyawa atau penghidupan ditiupkan, yaitu di bawah 120 hari. Selaras dengan dunia kesehatan, memang aborsi akan berisiko jika dilaksanakan di atas usia 3 bulan kehamilan.

Karena kondisi itulah, aborsi ilegal masih menjadi pilihan bagi banyak orang. Padahal di Indonesia sendiri, berdasarkan data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI), tingkat aborsi ilegal mencapai 228 per 100 ribu angka kelahiran hidup. Sebanyak 7 persen di antaranya berujung kematian pada ibu.

Baca juga: Di Indonesia, Aborsi Bukan Sebuah Pilihan

Pemerintah dalam hal ini harusnya bisa memberikan hak reproduksi yang lebih baik guna melindungi perempuan dengan KTD. Biarkan ia mengambil keputusan penting untuk tubuhnya sendiri. Sebab ia lah yang akan menanggung banyak perubahan fisik dan mental akibat kehamilan tersebut. Sebaliknya, sering kali lelaki tak dibebankan tanggung jawab serupa.

Jika serius berbenah, pemerintah wajib memberikan akses aborsi nyaman, aman bagi perempuan dengan KTD. Memilih tak mempertahankan janin sebagai ikhtiar menahan laju stunting pada akhirnya menjadi pilihan masuk akal. Pasalnya, setiap anak yang dilahirkan di dunia semestinya punya orang tua yang siap membesarkan dan merawat dengan penuh.



#waveforequality


Avatar
About Author

Meiditte

Meiditte adalah pembaca kartu ramal Lenormand. Ibu dari dua anak perempuan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *