Health Lifestyle

Aborsi Paksa, Bagaimana Hukum Indonesia Mengaturnya?

Indonesia termasuk negara yang belum memberikan perlindungan cukup bagi mereka yang butuh akses aborsi aman.

Avatar
  • January 10, 2022
  • 6 min read
  • 1361 Views
Aborsi Paksa, Bagaimana Hukum Indonesia Mengaturnya?

Pada Oktober 2021, Kim Seon Ho, pemeran utama Hometown Cha-Cha-Cha diduga memaksa mantan pacarnya untuk aborsi. Salah satu perdebatan yang mengemuka kala itu, apakah tindakan ini termasuk kekerasan seksual atau tidak, mengingat aborsi legal di Korea Selatan.

Dua bulan berselang, publik Indonesia digegerkan oleh kabar mahasiswi NWR, yang meninggal karena bunuh diri. NWR memutuskan untuk mengakhiri hidupnya akibat tekanan psikologis setelah kedua kalinya ia dipaksa melakukan aborsi oleh Bripda Randy Bagus Hari Sasongko, pasangannya saat itu. Bripda Randy pun ditahan dan dijatuhi hukuman internal kepolisian serta pidana umum terkait aborsi.

 

 

Dua ilustrasi kasus di atas membawa kita pada pertanyaan penting: Sebenarnya bagaimana, sih kita mesti memandang kasus aborsi? Sejauh mana aborsi dibolehkan, dan kapan harus kita tolak?

Baca juga: Jalan Panjang Mengupayakan Hak Aborsi Legal bagi Korban Pemerkosaan

Aborsi vs Pemaksaan Aborsi

Dalam konteks Indonesia, pemaksaan aborsi merupakan salah satu dari 15 bentuk kekerasan seksual berdasarkan catatan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan). Sebagian netizen menyangkal hal tersebut dengan dasar aborsi dalam hukum Korea adalah legal. Sejak 11 April 2019, Mahkamah Konstitusi Korea Selatan telah memutuskan untuk mendekriminalisasi aborsi. Keputusan ini secara efektif diberlakukan sejak 1 Januari 2021.

Meski demikian, benarkah pemaksaan aborsi di Korea Selatan tidak dapat diperkarakan secara hukum? Berbeda dengan aborsi, perbuatan memaksa pihak lain untuk melakukan aborsi merupakan tindak kriminal berdasarkan hukum sipil di Korea Selatan. Adapun pemaksaan aborsi yang dilakukan oleh aktor Kim Yong Gun terhadap pasangannya merupakan salah satu kasus yang diketahui khalayak dan diperkarakan secara hukum.

Lalu bagaimana dengan di Indonesia?

Hukum di Indonesia menetapkan aborsi sebagai tindakan ilegal atau dilarang. Hal ini tercantum dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 346, 347, 348, dan 349.

Namun, aborsi diperbolehkan bahkan dijamin penyediaan layanannya apabila terdapat kedaruratan medis yang terdeteksi sejak usia dini kehamilan dan kehamilan merupakan akibat dari perkosaan yang menyebabkan trauma serta dengan syarat yang ketat. Hal ini tercantum dalam Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang kemudian diturunkan ke dalam Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi serta Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 3 Tahun 2016 tentang Pelatihan dan Penyelenggaraan Pelayanan Aborsi atas Indikasi Kedaruratan Medis dan Kehamilan Akibat Perkosaan.

Kendati sudah ada aturan demikian, realitas di lapangan menunjukkan, mereka yang termasuk ke dalam pengecualian tersebut sering kali masih kesulitan mengakses layanan aborsi aman.

Oleh karena itu, mereka tetap harus berhadapan dengan penyedia layanan aborsi ilegal atau melakukan upaya aborsi mandiri, seperti minum jamu-jamuan, obat peluruh kandungan, dan lain sebagainya. Tentu saja, upaya-upaya tersebut tergolong berisiko bahkan dapat mengancam keselamatan perempuan yang menjalaninya.

Lalu bagaimana nasib dan aturan hukum bagi mereka yang dipaksa melakukan aborsi, baik yang termasuk maupun tidak termasuk dalam dua kategori pengecualian tersebut?

Baca juga: Di Indonesia, Aborsi Bukan Sebuah Pilihan

Pemaksaan Aborsi dan Aturan Hukumnya

Pemaksaan aborsi merupakan salah satu bentuk kekerasan seksual yang berhasil diidentifikasikan oleh Komnas Perempuan berdasarkan temuan fakta kejadian dan definisi yang dikembangkan dari peraturan perundang-undangan atau dimunculkan dalam berbagai dokumen internasional.

Pemaksaan aborsi didefinisikan sebagai tindakan pengguguran kandungan yang dilakukan karena adanya tekanan, ancaman, maupun paksaan dari pihak lain. Berdasarkan pengaduan yang diterima Komnas Perempuan dari 2016-2021, terdapat 147 kasus pemaksaan aborsi. 

Seperti kasus kekerasan seksual lainnya, angka ini merupakan fenomena gunung es di mana terdapat lebih banyak kasus yang tidak terungkap dan tidak terdokumentasikan. Pelaku pemaksaan aborsi tersebut antara lain orangtua, suami, ataupun pacar korban. Berdasarkan Justitia Jurnal Hukum (2021), yang menjadi faktor terjadinya aborsi paksa, antara lain: Kekerasan seksual yang mengakibatkan kehamilan tidak direncanakan (KTD); Faktor ekonomi; Strata sosial keluarga; Pendidikan seksual dan kesehatan reproduksi komprehensif yang tidak tercakup dalam kurikulum; serta kerentanan psikologis perempuan yang mengalami KTD.

Terkait hukum, larangan aborsi hanya dikecualikan bagi mereka yang memiliki kondisi kedaruratan medis dan merupakan korban perkosaan. Namun, tidak semua yang mengalami pemaksaan aborsi merupakan korban perkosaan. Kondisi ini memberikan kerentanan khusus bagi korban pemaksaan aborsi untuk dikriminalisasi. Mengenai hal ini, penelitian Diantika Rindam Floranti dari Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surabaya dan tulisannya di Justitia Jurnal Hukum (2021) berupaya menilik lebih dalam aturan hukum di Indonesia terkait perlindungan bagi penyintas aborsi paksa di Indonesia.

Menurut Diantika, aborsi paksa tidak dengan jelas diatur dalam KUHP. Walaupun Pasal 347 dan 348 KUHP membedakan antara menggugurkan kandungan “tanpa” dan “dengan” persetujuan perempuan, kedua pasal tersebut tidak mengatur lebih lanjut mengenai perempuan yang menjadi korban pemaksaan aborsi. Akibatnya, korban pemaksaan aborsi paksa tetap memiliki kerentanan untuk dipidanakan.

Oleh karena, aturan khusus mengenai pemaksaan aborsi menjadi penting dan dibutuhkan. Aturan hukum tersebut sempat diajukan dalam Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS, kini disebut RUU TPKS). Namun, seiring berjalannya proses yang ulet di DPR, pasal yang memuat aturan mengenai pemaksaan aborsi dihapus dari RUU tersebut. Keputusan ini didasari oleh anggapan pemaksaan aborsi sudah diatur dalam KUHP serta RUU KUHP (Pasal 469-471). Padahal, RUU KUHP sendiri dalam hal ini tidak berbeda jauh dengan pasal-pasal yang sudah ada di KUHP, yakni hanya berfokus pada penghukuman bagi pelaku aborsi sehingga tetap beresiko mempidanakan korban pemaksaan aborsi.

Yang Dibutuhkan Korban Pemaksaan Aborsi

Absennya aturan hukum tentang pemaksaan aborsi menempatkan korban kasus tersebut dalam posisi yang rentan dipidanakan atas dasar aturan mengenai pelarangan aborsi di Indonesia. Imbasnya, korban pun semakin sulit untuk mengakses dukungan yang dibutuhkan serta yang menjadi haknya.

Oleh karena itu, aturan yang jelas tentang pemaksaan aborsi sangatlah krusial. Sebagai salah satu bentuk kekerasan seksual, aturan ini dapat dicantumkan dalam RUU TPKS yang tengah dibahas. Dengan begitu, penanganan kasus kekerasan seksual serta pemenuhan hak bagi korban kekerasan seksual, termasuk korban pemaksaan aborsi, dapat lebih komprehensif. 

Selain aturan hukum yang menjamin korban pemaksaan aborsi terbebas dari risiko pemidanaan, sejumlah hal yang juga penting untuk diperhatikan, antara lain: (1) Perlindungan korban dari tindakan yang mencederai lainnya, seperti victim blaming dan penipuan dari pihak yang tidak bertanggung jawab, termasuk ketika menjalani proses hukum; (2) Pendampingan hukum yang memungkinkan korban memperoleh informasi hukum yang memadai terkait kasusnya dan dukungan yang cukup selama proses hukum berlangsung; (3) Penanganan medis yang aman dan bebas dari stigma; (4) Pendampingan psikologis yang memadai sehingga korban dapat berpulih dan kembali berdaya, termasuk untuk menguatkan korban dalam menjalani proses hukumnya; serta (5) Pengetahuan dan perspektif aparat penegak hukum mengenai isu aborsi paksa sehingga dapat mengoptimalkan layanan hukum yang berpihak pada korban. 

Seperti kekerasan seksual pada umumnya, pemaksaan aborsi merupakan kasus yang nyata terjadi tapi kerap sulit diproses secara hukum. Ketiadaan aturan hukum yang khusus dan jelas mengenai pemaksaan aborsi membuat korban rentan dianggap sebagai pelaku aborsi yang pada dasarnya berstatus ilegal di Indonesia.

Korban aborsi paksa yang selayaknya memperoleh perlindungan dan pendampingan, justru lebih berpeluang diperlakukan sebagai pelaku pelanggaran hukum.

Oleh karena itu, aturan hukum berperspektif korban dan yang mengakomodasi kebutuhan korban pemaksaan aborsi penting untuk didukung, salah satunya agar dapat dicantumkan kembali di dalam RUU TPKS. Di sisi lain, implementasinya dan perubahan perspektif di kalangan aparat penegak hukum terkait isu ini pun perlu didorong agar penanganan kasus aborsi paksa dapat lebih efektif.

Opini yang dinyatakan di artikel tidak mewakili pandangan Magdalene.co dan adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis. 


Avatar
About Author

Ayu Regina Yolandasari

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *