Kematian Ibu dan Bayi di Papua Tertinggi se-Indonesia: Bagaimana Cara Mengatasinya?
Tingginya angka kematian ibu dan bayi menunjukkan belum optimalnya pembangunan layanan kesehatan dan pemenuhan HAM di Papua.
Angka kematian ibu dan bayi di tanah Papua jauh melebihi rata-rata nasional. Sensus Penduduk 2020 menunjukkan angka kematian ibu (AKI) di Provinsi Papua sebesar 565 per 100.000 kelahiran hidup. Adapun AKI di Provinsi Papua Barat sebesar 343 per 100.000 kelahiran hidup. Angka kematian ibu tersebut jauh melampaui rata-rata nasional sebesar 189 per 100.000 kelahiran hidup.
Angka kematian bayi (AKB) di kedua provinsi ini juga tinggi. AKB di Papua tercatat sebesar 35 per 1.000 kelahiran hidup dan Papua Barat mencatatkan 27 per 1.000 kelahiran hidup. Sementara AKB rata-rata nasional hanya 19 per 1.000 kelahiran hidup.
Tingginya angka kematian ibu dan bayi menunjukkan belum optimalnya pembangunan layanan kesehatan dan pemenuhan hak asasi manusia (HAM) di Papua. Terdapat dua faktor yang menjadi penyebabnya.
Pertama, pemerintah sebagai penyedia layanan kesehatan belum optimal dalam membuat kebijakan dan program kesehatan, membangun infrastruktur, menyalurkan tenaga medis, serta memberikan kualitas pelayanan kesehatan yang memadai di Papua. Kedua, kondisi sosial, budaya, dan ekonomi orang asli Papua (OAP) sebagai pengguna layanan kesehatan turut memengaruhi sulitnya pemanfaatan akses fasilitas kesehatan yang tersedia.
Permasalahan kesehatan di Papua semakin kompleks karena penyebaran penduduk yang tidak merata serta keterbatasan akses informasi masyarakat, termasuk perbedaan pemahaman mengenai literasi kesehatan antara petugas medis dan OAP, yang sering kali menghambat efektivitas pemberian pelayanan.
Tantangan lainnya, wilayah Papua yang luas dan sulit dijangkau. Biaya operasional pelayanan kesehatan pun mahal.
Meski berbagai permasalahan ini sudah lama diidentifikasi, hingga kini OAP masih menghadapi kendala yang sama. Akibatnya, pembangunan kesehatan di Papua terus tertinggal dibanding wilayah lain di Indonesia.
Riset kami, berfokus di Papua Barat, mencoba menggali asal permasalahan ini.
Baca juga: Mengurai Cabang Masalah Tingginya Angka Kematian Ibu di Indonesia
Akses Pelayanan Kesehatan Terbatas
Penelitian kami pada 2019 menemukan bahwa keterbatasan akses layanan kesehatan menjadi penyebab tingginya angka kematian ibu dan bayi di Papua Barat. Untuk menekan kesenjangan fasilitas pelayanan, pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) di wilayah Papua dibangun dengan menggunakan dana alokasi khusus (DAK), dana otonomi khusus, dan dana dekonsentrasi.
Dana otonomi khusus yang digelontorkan untuk Papua mencapai triliunan rupiah. Dana ini diharapkan mampu mengatasi ketertinggalan Papua, terutama di bidang pendidikan dan kesehatan. Namun, kenyataan di lapangan masih jauh dari harapan.
Puskesmas di Papua sering kali dibangun di lokasi yang jauh dari pemukiman penduduk karena memerlukan lahan yang luas. Pembangunan ini sayangnya tidak disertai dengan penyediaan akses jalan dan transportasi umum sehingga menyulitkan OAP untuk memanfaatkan layanan kesehatan tersebut.
Selain itu, banyak puskesmas di Papua belum dilengkapi fasilitas dasar, seperti air bersih, listrik, dan jaringan komunikasi. Tidak sedikit pula puskesmas yang hanya dilayani oleh bidan dan perawat, seperti di Sorong dan Tambrauw, Provinsi Papua Barat. Padahal, peraturan pemerintah mewajibkan puskesmas memiliki dokter, bidan, perawat, serta tenaga kesehatan lain, seperti ahli gizi dan tenaga farmasi.
Di daerah terpencil, ancaman keamanan membuat petugas kesehatan tidak nyaman bekerja dan enggan ditempatkan di wilayah tersebut. Minimnya infrastruktur dan petugas kesehatan berdampak langsung pada kualitas layanan, yang pada akhirnya menyebabkan tingginya angka kematian ibu dan bayi di Papua.
Baca juga: Memaksa Laki-laki Cegah Kematian Ibu dan Bayi Baru Lahir
Ketimpangan Gender dan Tradisi yang Pelik
Di Papua Barat, faktor sosial dan budaya sangat memengaruhi perilaku kesehatan ibu dan anak orang asli Papua.. Salah satu penyebab utama kematian ibu dan anak di kawasan ini adalah ketimpangan gender.
Peran dominan laki-laki membuat banyak perempuan di Papua tidak memiliki kebebasan dalam mengambil keputusan terkait kesehatan keluarga, yang akhirnya berdampak buruk pada kesehatan mereka dan anak-anaknya.
Berikut persoalan yang dihadapi perempuan OAP di Papua Barat berdasarkan fase hidupnya:
1. Masa remaja
Pernikahan dini dan seks sebelum nikah menjadi isu besar di wilayah Papua. Di beberapa daerah, anak-anak usia 10-16 tahun sudah menikah.
Kehamilan pada usia yang terlalu muda berisiko tinggi bagi keselamatan ibu dan bayi, terutama karena perempuan belum siap secara fisik dan mental.
Selain itu, banyak pasangan muda yang sudah berhubungan seks, kesulitan menikah karena terhalang oleh tradisi mas kawin yang mahal. Akibatnya, banyak perempuan muda di Papua Barat yang berstatus sebagai orang tua tunggal. Sering kali, keterbatasan ekonomi dan minimnya pengetahuan mengenai pentingnya menjaga kesehatan selama kehamilan membuat mereka kesulitan mengakses layanan kesehatan.
2. Masa kehamilan
Kehamilan dianggap sebagai proses alami dalam siklus kehidupan orang asli Papua sehingga dianggap tidak membutuhkan perhatian khusus. Banyak perempuan hamil di Papua Barat masih melakukan pekerjaan berat, seperti bekerja di ladang, bahkan hingga usia kehamilan tua. Mereka percaya bahwa kerja keras selama hamil dapat mempermudah proses persalinan.
Dalam sistem rumah tangga, peran perempuan OAP sebagai tenaga kerja juga sangat penting. Perempuan OAP turut serta berkebun, beternak babi, dan mengolah sagu untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga. Namun, kondisi ini sering kali justru menyebabkan mereka kesulitan mengakses layanan kesehatan.
Waktu bekerja mereka yang berlangsung dari pagi hingga sore kerap berbenturan dengan jadwal pemeriksaan kehamilan sehingga banyak perempuan Papua melewatkan pemeriksaan rutin di puskesmas . Hal ini pada akhirnya memengaruhi kesehatan ibu dan janin.
3. Masa persalinan
Dalam tradisi masyarakat Papua Barat, perempuan yang menjalani persalinan hingga masa nifas dianggap dalam keadaan kotor sehingga mereka harus dipisahkan dari rumah utama ke pondok pengasingan.
Selain itu, masih banyak OAP yang lebih percaya kepada dukun. Biasanya dukun yang bantu proses persalinan ini adalah kerabat dekat. Hal ini didasari oleh keyakinan turun-temurun bahwa area tubuh yang sangat pribadi seperti paha, tidak boleh diperlihatkan kepada orang asing, termasuk tenaga kesehatan.
Masyarakat setempat juga percaya bahwa setiap anak memiliki waktu kelahiran yang unik sehingga siapa pun dapat menolong persalinan, tidak harus tenaga kesehatan. Fatalisme–keyakinan bahwa semua hal merupakan kehendak Tuhan, tanpa ada usaha untuk melakukan yang terbaik–ini membuat mereka terkesan “menerima” ketika ada ibu dan bayi yang meninggal.
4. Setelah melahirkan
Banyak masyarakat Papua Barat yang berkeyakinan bahwa bayi tidak boleh keluar rumah sebelum berusia dua bulan karena dianggap masih “bau amis” dan rentan terhadap gangguan makhluk halus. Kepercayaan ini sering kali menghalangi pemeriksaan neonatal yang diperlukan untuk mendeteksi kemungkinan kelainan pada bayi baru lahir.
Selain itu, ada pula praktik pemberian makanan terlalu dini kepada bayi baru lahir, seperti pisang dan bubur nasi. Praktik ini tanpa disadari mengganggu tumbuh kembang bayi secara optimal. Padahal, menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), bayi baru lahir hingga usia enam bulan pertama sebaiknya hanya diberikan air susu ibu (ASI) eksklusif.
Terdapat pula keyakinan berupa pantangan makan bagi ibu menyusui. Hal ini bisa berdampak serius pada kebutuhan gizi ibu maupun bayinya.
Deretan pantangan di atas, meskipun merupakan bagian dari tradisi, sering kali menghambat pemenuhan nutrisi selama masa krusial perkembangan anak.
Baca juga: Edukasi Kontrasepsi dan Pencegahan Kehamilan Masih Rendah
Jalan Menuju Perubahan
Permasalahan kesehatan ibu dan anak di wilayah Papua sangat kompleks sehingga memerlukan pendekatan yang menyeluruh, berupa pelayanan kesehatan berkesinambungan pada setiap siklus hidup perempuan dari hulu ke hilir (continuum of care). Di tingkat hulu, program promotif dan pencegahan (preventif) harus diterapkan untuk mengatasi masalah kesehatan yang berkaitan dengan adat, kepercayaan, gender, dan sistem sosial masyarakat.
Pendekatan ini harus memperkuat posisi perempuan dalam keluarga dan masyarakat, termasuk memberikan mereka kebebasan dalam mengambil keputusan terkait kesehatan mereka. Diperlukan keterlibatan banyak pihak dalam mendukung upaya ini, mulai dari pemerintah pusat hingga daerah, akademisi, lembaga swadaya masyarakat (LSM), hingga organisasi profesi. Selain itu, tokoh masyarakat, baik formal, adat, maupun agama juga perlu dilibatkan.
Di tingkat hilir, pemerintah harus fokus membangun infrastruktur kesehatan dan meningkatkan kualitas layanan klinis. Jangan ada lagi cerita OAP yang kesulitan mengakses layanan kesehatan di tanahnya sendiri. Dengan kombinasi ini, diharapkan pelayanan kesehatan ibu dan anak di Papua dapat lebih optimal dan berdampak positif pada kesejahteraan masyarakat.
Mochammad Wahyu Ghani, Peneliti Pusat Riset Kependudukan, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN); Puji Hastuti, Peneliti BRIN, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN); Widayatun, Peneliti pada Pusat Riset Kependudukan, Badan Riset dan Inovasi Nasional. Bidang kepakaran Demografi Sosial. Bidang penelian Population and Health , Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN); Yuly Astuti, Analis Hasil Penelitian, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), dan Zainal Fatoni, Peneliti Demografi Sosial, Pusat Riset Kependudukan BRIN, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.