Protes ‘Driver Online’: Bersuara di Tengah Kemitraan Semu dan Pembungkaman
Saat perusahaan tidak memberi ruang terhadap suara pengemudi daring, tak ada pilihan selain melawan.
Pengemudi ojek online ramai-ramai menggelar aksi protes usai “pembungkaman” terhadap keluhan mereka. Pasalnya, keluhan mereka seringkali hanya ditanggapi lewat sistem algoritme aplikasi atau diladeni dengan dialog satu arah oleh platform penyedia layanan.
Hal ini tak lepas dari berlangsungnya praktik “kemitraan semu” yang dilakukan perusahaan platform terhadap pengemudi. Praktik kemitraan ini disebut semu karena tidak sesuai dengan esensi dan regulasi tentang kemitraan, serta membuat hak-hak pengemudi sebagai mitra sering tidak terpenuhi.
Saat mekanisme yang ada di organisasi atau perusahaan tidak memberi ruang terhadap suara pengemudi, atau suara mereka justru sengaja tidak didengarkan, satu-satunya jalan agar suara itu tersampaikan adalah dengan protes – baik dengan pemogokan, kampanye di media sosial, hingga mendesak pemerintah sebagai regulator.
Saya bergabung dengan sekitar 44 grup media sosial (Facebook dan Whatsapp) pengemudi online di Indonesia dan melakukan wawancara terhadap 42 pengemudi daring untuk melihat latar belakang dan mengukur aksi protes pengemudi, serta mencari tahu tuntutan mereka.
Studi lapangan yang saya lakukan menunjukkan selama Maret 2020 hingga Maret 2022, terdapat 71 aksi protes yang melibatkan 132.960 pengemudi online di seluruh Indonesia. Protes yang mereka lakukan selama pandemi merupakan dampak dari ketiadaan ruang bermusyawarah untuk mengambil keputusan.
Hasil wawancara saya menunjukkan jika pun ada ruang berdiskusi dengan perusahaan, wadah yang ada cenderung tidak mengakomodasi suara pengemudi. Ini terlihat dalam agenda pertemuan atau kopi darat (kopdar) yang diselenggarakan perusahaan platform – seperti Gojek, Grab, Shopee Food, dan Maxim – dengan mengundang pengemudi.
Dalam pertemuan ini, diskusi hanya berlangsung satu arah. Berbagai keluhan, usulan, dan aspirasi pengemudi cenderung diabaikan atau hanya sekadar ditampung oleh pihak manajemen.
Situasi menjadi lebih kompleks ketika pengemudi online berhadapan dengan manajemen kerja yang berbasis teknologi digital atau algoritme. Alih-alih mendapat respons yang sesuai dengan keluhan, pengemudi justru menerima balasan otomatis yang seringkali tidak menjawab persoalan.
Kontrol kerja melalui algoritme dan diskusi satu arah menjadi saluran bersuara yang tidak dipercayai pengemudi sehingga melahirkan berbagai aksi protes.
Baca juga: Nasib Ojol Selama Dua Tahun Pandemi: Tarif Ditekan, Pemerintah Membiarkan
Manajemen Algoritme Tak Manusiawi, Diskusi Tak Membantu
Sebagian besar kontrol kerja yang berlangsung dalam transportasi berbasis platform berjalan menggunakan algoritme. Ini berbeda dengan pengaturan kerja di sektor tradisional non-platform yang biasanya dilakukan oleh manajemen atau mandor.
Manajemen algoritme ini mengatur kerja mitra platform dengan memanfaatkan teknologi untuk mengumpulkan data, menganalisisnya, dan mengambil keputusan tertentu secara otomatis berdasarkan ketentuan yang sebelumnya telah diatur oleh manusia.
Algoritme inilah yang menentukan pembagian pesanan konsumen ke pengemudi, mengidentifikasi adanya pelanggaran, memutuskan sanksi atau skorsing (suspend), memperkirakan estimasi waktu penyelesaian pesanan, merekomendasikan peta perjalanan, hingga memberi jawaban otomatis ketika ada keluhan dari pengemudi.
Di satu sisi, manajemen algoritme cukup ampuh untuk mengelola jutaan transaksi setiap harinya tanpa harus mempekerjakan banyak orang. Tapi, di sisi lain, dorongan untuk memangkas ongkos produksi dan mendisiplinkan pengemudi membuat manajemen algoritme bersifat tidak manusiawi.
Temuan di lapangan menunjukkan manajemen algoritme menciptakan kontradiksi.
Pertama, pengemudi cenderung didorong untuk bekerja lebih lama dan keras, bahkan sampai di luar jam kerja normal. Kedua, pengemudi bisa sewaktu-waktu diberi sanksi atas suatu hal yang bukan kesalahannya, namun diidentifikasi oleh algoritme sebagai kesalahan pengemudi. Ketiga, ketika pengemudi menyampaikan keberatan atas sanksi yang diterima, mereka berhadapan dengan jawaban otomatis yang tidak menjawab keluhan dan tidak memberi keadilan bagi mitra.
Selama pandemi COVID-19, keluhan dari pengemudi online yang paling sering tidak didengarkan dan diakomodasi adalah tentang persoalan tarif dan insentif yang kecil, kondisi kerja yang rentan, sanksi sepihak, dan persoalan klasifikasi pengemudi.
Sebanyak 50 aksi protes yang terjadi selama rentang penelitian saya menunjukkan bahwa pengemudi menuntut bayaran layak (tarif dan insentif). Sementara itu, 19 aksi protes menuntut kondisi kerja yang lebih baik, dan 14 aksi protes menolak sanksi yang sepihak dari perusahaan platform terhadap pengemudi.
Untuk mengatasi kelemahan dalam manajemen algoritme, perusahaan platform sebenarnya turut membuat manajemen yang dikelola secara langsung oleh manusia.
Di platform Gojek, ada mekanisme “ketemu DSU (Driver Support Unit/Unit Layanan Pengendara)”. Mitra yang ingin menyampaikan keluhan dapat bertemu langsung dengan pihak manajemen setelah antre selama waktu tertentu.
Namun, keberadaan manajemen non-algoritme tersebut tetap tidak mampu menyelesaikan persoalan subtansial yang dialami pengemudi. Perusahaan seringkali hanya mendengar atau menampung keluhan dan aspirasi pengemudi, tetapi tidak memasukannya sebagai bagian dari pengambilan keputusan.
Akibatnya, di akar rumput, ketidakpercayaan terhadap manajemen algoritme dan non-algoritme semakin menguat seiring dengan adanya kompetisi di antara perusahaan platform untuk menurunkan tarif dan insentif bagi pengemudi. Keluhan dan aspirasi dari pengemudi untuk menuntut pendapatan dan kondisi kerja yang lebih baik tidak diakomodasi, karena bertentangan dengan tujuan perusahaan platform untuk memperbesar keuntungan. Inilah yang kerap membuat kondisi kerja pengemudi menjadi rentan.
Suara Pengemudi dalam Hubungan Kemitraan
Dalam kajian literatur tentang hubungan kerja, suara pekerja yang tidak diakomodasi dianggap sebagai pembungkaman pekerja. Kondisi pembungkaman ini menjadi pemicu utama konflik hubungan industrial, karena suara pekerja tidak tersalurkan.
Penelitian tentang pembungkaman pekerja sebagian besar masih berfokus pada hubungan kerja buruh-pengusaha di sektor tradisional. Sementara, hubungan kerja buruh-pengusaha tentu sangat berbeda dengan klasifikasi hubungan kemitraan pengemudi online.
Dalam hubungan kerja buruh-pengusaha, kedudukannya adalah atasan-bawahan. Di sini, ada yang diperintah (pekerja) dan ada yang memerintah (majikan). Dasar pengambilan keputusan kerja pun dimonopoli oleh pemberi kerja.
Sementara, dalam hubungan kemitraan, kedudukan antara pengemudi dan perusahaan platform bersifat setara. Pengambilan keputusan berlangsung melalui musyawarah antara pihak yang bermitra.
Hubungan kemitraan dalam aturan hukum di Indonesia sebenarnya menempatkan suara pekerja setara dari suara perusahaan platform. Namun, pada praktiknya, yang kerap kali muncul adalah kemitraan semu yang membuat suara pengemudi dibungkam dan tidak ditempatkan sebagaimana mestinya. Berbagai aksi protes oleh pengemudi adalah cara agar suara mereka didengarkan dan diakomodasi.
Baca juga: Akun Tuyul sampai Joki: Bagaimana Pengemudi Gojek Lawan Eksploitasi Kerja
Perlunya Kemitraan Sejati
Pengabaian dan pembungkaman suara pengemudi online tidak terlepas dari praktik kemitraan semu dalam transportasi berbasis platform di Indonesia. Kondisi ini bisa muncul karena lemahnya penegakan hukum dari pemerintah untuk memastikan bahwa kemitraan berjalan sesuai dengan regulasi yang ada.
Di tengah kemitraan semu tersebut, pengemudi online menjadi kehilangan hak-haknya. Langkah yang mereka tempuh untuk memeroleh hak tersebut adalah dengan melakukan protes.
Berbagai aksi protes pengemudi online, sebagai mekanisme untuk bersuara, cenderung akan semakin meluas pada ke depannya. Karena itu, penting untuk memastikan bahwa kemitraan sejati benar-benar berjalan.
Kemitraan sejati inilah yang menjadi kunci untuk menjamin hak-hak pengemudi, mengakomodasi suara dan aspirasi mereka, dan menjalankan hubungan kemitraan yang sesuai aturan hukum di Indonesia.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.
Opini yang dinyatakan di artikel tidak mewakili pandangan Magdalene.co dan adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis.