Issues

Aksi Tolak RKUHP Diadang Polisi, Kebebasan Sipil di Ujung Tanduk

Polisi adang aksi tolak pengesahan RKUHP saat Car Free Day di Jakarta Pusat. Aliansi Reformasi KUHP menilai demokrasi sipil untuk berpendapat semakin minim.

Avatar
  • November 29, 2022
  • 4 min read
  • 627 Views
Aksi Tolak RKUHP Diadang Polisi, Kebebasan Sipil di Ujung Tanduk

Aksi jalan santai dan bentang spanduk tolak pengesahan Rancangan Undang-undang Kitab Hukum Pidana (RKUHP) saat Car Free Day di Bundaran HI, Jakarta Pusat (27/11) direpresi aparat kepolisian. Spanduk yang bertuliskan protes terhadap RKUHP–Korban Perkosaan Dikriminalisasi, Impunitas Langgeng, Kriminalisasi Makin Mudah Karena Aturan Suka-suka Penguasa, dan RKUHP: Hukum Mudah Dibeli, Jangan Mudah Memiskinkan–sempat ditarik paksa oleh polisi yang mendesak massa untuk segera bubar.

Tindakan perampasan yang dilakukan sejak massa berjalan dari Bundaran HI sampai ke perempatan Sarinah, titik berakhirnya aksi, disambut dengan teriakan balik dari massa. “Pak, RKUHP belum disahkan, bapak sudah meminta (kami) bubar,” ujar salah satu peserta aksi yang diikuti dengan yel-yel, “Tolak, tolak, tolak RKUHP, tolak RKUHP sekarang juga,”

 

 

Pengacara publik Lembaga Bantuan Hukum Jakarta Citra Referandum menyatakan, tindakan represif dari aparat kepolisian saat aksi penolakan RKUHP menjadi contoh mengapa RKUHP patut ditolak.

Baca juga: Revisi KUHP Terbaru: Masih Ada Pasal Penghinaan Pemerintah dan Kohabitasi

“RKUHP belum disahkan, warga yang berkumpul saling mengedukasi, (tapi) menyampaikan pendapat sudah dilarang, apalagi ketika sudah sah. Sesuai pasal yang diatur RKUHP warga bisa langsung masuk penjara,” kata Citra kepada Magdalene.

Aksi yang diinisiasi oleh Aliansi Reformasi KUHP dan diikuti warga sipil Jakarta tersebut didorong oleh keputusan Komisi III DPR RI dan pemerintah melalui Kementerian Hukum dan HAM yang menyepakati RKUHP di tingkat I. Melalui selebaran soal bahaya RKUHP dari Aliansi Reformasi KUHP yang diterima Magdalene, aturan itu akan diketok palu menjadi undang-undang sebelum 16 Desember 2022 atau sebelum masa reses ketiga.

Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur mengatakan, masih ada waktu sekitar dua pekan agar masyarakat berkonsolidasi untuk mengubah pasal-pasal yang bermasalah. Pasalnya, ia menilai beberapa pasal dalam RKUHP menunjukkan kemunduran demokrasi dan hak sipil untuk berpendapat.

“Ada pasal yang semakin berbahaya, barang siapa yang menyebarkan paham yang bertentangan dengan pancasila akan dipidana empat tahun. Kalau ada yang memiliki paham demokrasi dan HAM lalu polisi menganggap itu bertentangan dengan pancasila bisa dipidana. Jadi tidak ada pilihan lain untuk berjuang,” ujarnya.

Baca juga: Pasal Penghinaan Presiden hingga Aborsi, yang Problematik dari RKUHP

Sepak terjang penyusunan RKUHP tidak pernah lepas dari penolakan publik akibat pasal-pasal yang anti-kritik terhadap pemerintah, menambah kerentanan perempuan untuk dikriminalisasi, dan mengancam kebebasan publik untuk menunjukkan pendapatnya. Pada 2019, mahasiswa dan publik melalui gerakan Reformasi Dikorupsi menuntut pemerintah untuk tidak mengesahkan RKUHP dengan tergesa-gesa akibat pasal yang dinilai bermasalah.

Satu tahun kemudian, RKUHP masuk dalam Program Legislasi Nasional (prolegnas) jangka menengah tahun 2020-2024. Tahun ini aturan itu masuk dalam prolegnas prioritas tahun 2022. Meski demikian, Citra menilai pembahasan RKUHP tidak partisipatif dan transparan kepada publik. Selain itu, Aliansi Reformasi KUHP juga menilai keputusan pemerintah untuk mengesahkan RKUHP secara tergesa-gesa tidak berempati pada kondisi masyarakat Indonesia yang tengah berkabung karena gempa di Cianjur, Jawa Barat dan tragedi kemanusiaan di Kanjuruhan, Jawa Timur.

“Setiap ada pembahasan perubahan substansi, masyarakat tidak dapat mengakses draf RUU terbaru. Ini terjadi berkali-kali. Juga tidak partisipatif, hanya sekadar sosialisasi satu arah,” kata Citra.

Sementara itu, Direktur Program Trend Asia Ahmad Ashov Birry berpendapat, kebijakan rezim hari ini menunjukkan gejala kembalinya rezim totalitarian yang memaksa Indonesia mundur 40 tahun dan tidak menghormati keberlanjutan lingkungan, demokrasi, maupun HAM.

“Ketidakcakapan aparat negara dalam mengayomi dan bercakap dengan warganya sendiri seperti yang ditunjukkan dalam aksi damai kreatif penolakan pengesahan RKUHP dapat dilihat sebagai gejala kemunduran demokrasi tersebut,” ujarnya.

Baca juga: Wacana ‘Pidana LGBT’ di RKUHP, Bagaimana Nasib Mereka Kini?

Beberapa pasal RKUHP yang dikritik Aliansi Reformasi KUHP sebagai berikut:

  • Aturan Living Law yang menambah kerentanan perempuan, anak, dan masyarakat adat karena mengikuti keinginan penguasa daerah belum lagi Indonesia masih memiliki pelbagai peraturan daerah yang diskriminatif.
  • Legalisasi pidana mati yang merebut hak hidup seseorang yang tidak dapat dikurangi maupun dicabut oleh siapapun, sementara beberapa kasus pidana mati menimbulkan korban salah eksekusi.
  • Perampasan aset untuk denda individu yang dinilai sarat kolonialisme yang memberikan ruang bagi pemerintah untuk memeras dan semakin memiskinan masyarakat.
  • Pasal penghinaan presiden serta pasal penghinaan lembaga negara dan pemerintah yang anti kritik dan dapat memidana masyarakat yang memprotes kebijakan yang merugikan.
  • Pasal mengenai contempt of court yang dinilai menjadikan hakim seperti dewa dalam ruang persidangan
  • Pasal mengenai unjuk rasa tanpa pemberitahuan yang juga digolongkan sebagai pasal anti kirik karena kebebasan masyarakat untuk berpendapat semakin minim dan semakin memudahkan untuk dipidana.
  • Pasal mengenai pemidanaan pihak yang melakukan penyuluhan edukasi kontrasepsi.
  • Pasal terkait kesusilaan yang menambah kerentanan penyintas kekerasan seksual untuk dikriminalisasi.
  • Pasal mengenai tindak pidana agama yang dinilai mengekang kebebasan beragama maupun memeluk kepercayaan tertentu yang merupakan persoalan personal seseorang.
  • Pasal mengenai larangan penyebaran marxisme, leninisme, dan paham yang dianggap bertentangan dengan pancasila dinilai mempersempit ruang bagi masyarakat untuk berpikir kritis dan mengungkung kebebasan akademik. 


#waveforequality


Avatar
About Author

Tabayyun Pasinringi

Tabayyun Pasinringi adalah penggemar fanfiction dan bermimpi mengadopsi 16 kucing dan merajut baju hangat untuk mereka.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *