Aku Berhasil Memutus Rantai Kekerasan dalam Pacaran
Setelah mengalami kekerasan seksual dalam ‘toxic relationship’, aku memberanikan diri untuk bercerita kepada orang terdekat dan melaporkan pelaku ke polisi.
Peringatan pemicu: Artikel ini mengandung penggambaran kekerasan seksual secara eksplisit.
Tahun pertama SMA, aku berpacaran dengan cowok yang menurutku pandai dan rajin beribadah. Sebenarnya, saat itu kami sama-sama belum diperbolehkan untuk pacaran. Selama pacaran, aku pernah membalas pesan singkatnya dengan menggunakan nomor HP Ayah dan Mama, yang ternyata menjadi bumerang di kemudian hari.
Beberapa bulan pacaran, dia menyuruhku datang ke rumahnya. Apabila aku menolak, dia mengancam akan menelepon nomor orang tuaku dan mengatakan bahwa aku pacaran tanpa seizin mereka. Aku sangat takut membuat orang tuaku marah dan kecewa hingga bersedia memenuhi permintaan tersebut.
Sejak saat itu, perilakunya semena-mena. Tidak hanya meminta foto tidak senonoh dariku, ia juga melakukan pelecehan seperti menyentuh dada dan vaginaku. Permintaan konten foto atau video darinya pun semakin hari semakin aneh. Ia memintaku melakukannya sambil menyakiti fisikku, memotret tidak hanya tubuhku, tapi juga tubuh teman-teman perempuanku dan tubuh Mama!
Frekuensi permintaannya bertambah sering. Apabila aku menolak, dia akan melancarkan teror via SMS, WhatsApp, Line, sampai berkali-kali menelepon tidak peduli kapan dan di mana pun, serta sedang apa aku saat itu.
Setiap kali melihat namanya muncul di HP-ku, aku langsung mual dan sakit perut. Ia mengancam akan menyebarkan foto atau video yang pernah kukirim kepada orang-orang terdekatku, teman-teman, ke media sosial, bahkan ke pihak kampus. Ia bilang, aku harus bersedia berhubungan seks dengannya setelah lulus kuliah. Berjodoh atau tidak berjodoh dengannya, aku harus tetap mengirim foto atau video kepadanya. Detik itu, aku menyadari bahwa sepanjang hidup aku akan terus dibayangi olehnya.
Jauh di dalam hati, aku ingin bercerita kepada seseorang tentang masalahku. Di sisi lain, aku takut orang yang kujadikan tempat cerita menjauh dan tidak bersedia menerimaku kembali. Aku sangat malu apabila orang lain mengetahui semua rahasia yang selama ini aku pendam.
Baca juga: Kekerasan dalam Pacaran Fenomena Sunyi di Indonesia
Kalau ditanya apakah aku sangat tertekan? Sangat. Pernah terpikir olehku keinginan bunuh diri. Pernah juga aku berdoa agar ia dicabut saja nyawanya. Sampai pada suatu titik, dia meneleponku malam-malam. Aku langsung menangis sejadi-jadinya hingga membasahi beberapa kertas ujian yang sedang kubaca. Tapi pada saat bersamaan, aku takut orang di rumah mendengarkan tangisanku sehingga aku membungkam mulutku.
Membawa ke ranah hukum
Aku sudah tidak tahan dan aku putuskan untuk menghubungi teman yang menurutku dapat dipercaya, Joe, dan bercerita tentang kekerasan dalam pacaran yang kualami selama lebih dari lima tahun ini. Begitu mendengar ceritaku, Joe mengatakan bahwa persoalan ini dapat dibawa ke jalur hukum. Aku yang waktu itu masih takut berurusan dengan polisi bertanya, apakah tidak ada cara lain? Tapi, Joe bersikeras memintaku mengikuti sarannya.
Aku belum bisa memutuskan apa yang hendak aku lakukan berikutnya saat itu. Namun dengan bercerita, beban berat yang selama ini kutanggung sendiri terasa berkurang.
Keesokan harinya, aku ingin bercerita kepada temanku, “Mbak Kiya”. Akhir-akhir ini, Mbak Kiya sering mem-posting hal-hal tentang toxic relationship di akun Instagram-nya. Mbak Kiya lantas mengajakku ke lembaga pendampingan perempuan korban kekerasan di kotaku.
Berbeda dengan perkiraanku semula untuk dapat menyelesaikan persoalan ini tanpa sepengetahuan orang tua, pegiat lembaga tersebut berpendapat bahwa jika keputusanku adalah melapor ke polisi, akan ada kemungkinan orang tua tahu. Lebih baik orang tuaku diberitahu sebelum mereka tahu dari orang lain atau berita.
Mereka menawarkan untuk menemaniku dalam menjelaskan kasusku kepada orang tua. Aku setuju meski rasa takut menyelimutiku. Dengan suara gemetar, aku menelepon Mama dan mengatakan kalau besok ada yang ingin bertemu.
Salah satu yang membuat aku terjebak dalam relasi yang toksik ini adalah ketakutanku pada orang tua. Menurut pegiat lembaga tersebut, tantangan itu perlu dihadapi dengan berbicara kepada orang tuaku. Mereka juga menyarankan agar aku tidak lagi merespons pesan dan telepon dari pelaku. Putus kontak total.
Baca juga: Gerakan ‘Perempuan Tagar Tegar’ Bantu Perempuan Tinggalkan Hubungan ‘Toxic’
Keesokan harinya, aku dan Mama bertemu dengan pihak lembaga pendampingan perempuan tersebut. Mereka menceritakan persoalan yang sedang kuhadapi selama lima tahun terakhir. Dari raut mukanya, aku tahu Mama sangat marah dan kecewa. Tapi karena kami berada di tempat umum, Mama berusaha keras untuk menahannya.
Kedua orang dari lembaga tersebut menekankan berkali-kali bahwa yang patut dipersalahkan atas semua ini adalah pelaku, bukan aku. Mereka juga mengatakan bahwa masalah ini harus dibawa ke jalur hukum agar ada efek jera bagi pelaku dan aku bisa hidup dengan tenang.
Mama setuju. Yang bisa aku lakukan saat itu hanya terisak dan meminta maaf kepada Mama karena telah mengecewakannya. Seketika itu juga, mamaku langsung memelukku erat dan mengatakan agar kejadian itu jangan sampai terulang lagi.
Penyebaran konten seksual
Setelah lega Mama mengetahui hal ini, aku kembali panik karena Mama mengatakan akan memberitahu Ayah sesampai di rumah. Hari itu, aku merasa berada di titik terendah dalam hidup. Selama ini, aku dikenal sebagai anak baik dan mencoba membahagiakan kedua orang tuaku dengan selalu patuh dan berprestasi di bidang akademik.
Ternyata setelah Mama menceritakan kasusku, Ayah tidak marah sedikit pun. Kata Mama, Ayah pernah membuka ponselku dan menemukan foto-foto tidak senonoh. Namun, Ayah diam karena tidak bisa menebak apa yang sebenarnya terjadi.
Setelah kedua orang tuaku tahu, aku merasa bebanku sedikit terangkat. Tetapi, si pelaku kekerasan itu masih saja terus meneror HP orang tuaku. Mereka tidak terlalu menghiraukan teror itu. Justru Mama mengkhawatirkan keadaanku yang terus-menerus mendapatkan teror.
Lembaga pendampingan perempuan tersebut menawarkanku untuk bergabung dengan self-help group untuk perempuan yang mengalami kekerasan dalam pacaran (KDP). Aku pikir, mungkin langkah ini dapat mengembalikan kondisi psikologisku setelah bertahun-tahun dihancurkan oleh pelaku.
Baca juga: Tips Jadi Pendamping Korban Kekerasan Seksual
Aku berkomitmen mengikuti setiap kegiatan dan berharap masalahku dapat terselesaikan dengan baik. Aku mendapatkan dukungan dari grup. Semuanya mendorongku untuk segera melaporkan kasus ini. Tapi lagi-lagi, aku masih tidak berani. Aku bahkan hampir melupakan niatku melaporkan kasus ini.
Di tengah semangatku yang kian padam, aku kembali bercerita kepada Joe. Ia marah besar ketika mendengar bahwa aku masih takut untuk pergi ke kantor polisi. Dia kecewa kalau aku membiarkan orang jahat itu bebas berkeliaran. Aku bergeming. Hingga akhir pertemuan self-help group-ku pun, aku masih ragu. Namun, satu hal yang aku sadari, aku jauh lebih kuat, berani, dan tenang ketika mendapatkan teror darinya.
Sampai kemudian pelaku kembali berulah. Ia mulai membuat akun media sosial atas namaku dan memenuhinya dengan konten foto-foto pribadiku. Pelaku melakukan hal tersebut setelah berbulan-bulan, namun aku tetap tidak merespons pesan dan teleponnya. Aku juga mencoba untuk memblok setiap akun yang dibuatnya. Tapi, sampai kapan aku punya energi untuk memblok setiap akun yang dibuatnya? Hal tersebut akhirnya membuatku mantap untuk melaporkan pelaku.
Dengan diantar Syahnaz, teman baruku, aku melapor ke kantor polisi. Syahnaz dipertemukan denganku oleh lembaga pendamping perempuan beberapa waktu sebelumnya. Kami menuju ke meja Sistem Penerimaan Kasus Terpadu (SPKT) dan kemudian petugas merujuk kami ke Cyber Crime Investigation Satellite Office (CCISO). Setelah laporan kami dicatat oleh petugas piket yang ada di lobi, kami dipersilakan masuk ke dalam ruang penyidikan.
Hatiku kecut menyadari tidak ada satu pun polisi perempuan di ruangan itu. Aku yang ketakutan merasa malu menunjukkan foto-foto bukti kejahatan. Tidak semua polisi memiliki perspektif yang baik. Ada penyidik yang seolah mempersalahkan ketidakmampuanku untuk tegas menolak keinginan pelaku. Aku menangis sesenggukan di kantor polisi. Tangisan itu adalah yang terpilu yang pernah kulakukan.
Baca juga: Menjadi Teman Korban Kekerasan Dalam Pacaran
Beberapa penyidik mencoba menenangkanku, namun tangisku justru bertambah kencang. Aku bersyukur, masih ada polisi yang memahami keadaanku.
Setelah melapor, aku bercerita lagi kepada Joe. Ia bangga atas langkah yang aku ambil dan memberikan beberapa tips dalam menjalani proses hukum.
“Kamu harus aktif dan rajin mem-follow up setiap detail proses hukum yang kamu lalui. Itu akan memberikan tekanan positif bagi kinerja kepolisian, baik dari aspek teknis maupun non-teknis, termasuk bagaimana membangun empati yang membuat polisi merasa ada perasaan terhubung dan memiliki ikatan dengan sebuah kasus,” katanya.
Beberapa minggu berlalu. Suatu hari saat bangun dari tidur siang, aku dikagetkan oleh banyaknya pesan dan misscall di ponselku. Polisi mengabarkan kalau mereka sedang melakukan penangkapan terhadap pelaku.
Tiba-tiba, aku kembali menangis sejadi-jadinya. Aku merasa tidak percaya atas apa yang telah kulakukan. Aku tak menyangka diriku seberani dan sekuat ini. Aku bersyukur kepada Tuhan atas kemudahan yang diberikan, bersyukur dipertemukan dengan orang baik yang mendukungku.
Dua hari berikutnya, teman-teman dekat mengirimiku beberapa tautan situs berita nasional yang memberitakan tentang kasusku, termasuk tindakan tegas pihak kampus tempat pelaku kuliah.
Aku menuliskan pengalamanku ini untuk perempuan di luar sana, yang sedang berada dalam cengkeraman pelaku, dan berpikir bahwa kalian tidak punya pilihan sehingga membiarkan pelaku melakukan hal-hal yang tidak kalian inginkan. Aku cuma mau bilang bahwa ada pilihan lain selain bertahan dalam hubungan toksik, bahwa kalian berhak untuk hidup damai, bebas dari kekerasan.
Artikel ini ditulis berdasarkan penuturan penyintas, yang namanya tidak ingin disebutkan demi keamanan, kepada Siti Mazdafiah dan SAGE Voice Global.