Screen Raves

‘Drag Race Holland’: Saat Institusi Queer Gagal Pahami Konsep Gender Nonbiner

Dalam kontes ‘drag queen’ di Belanda ini, ternyata masih ada pengabaian juri terhadap kelompok ‘queer’ non-biner yang menjadi kontestan.

Avatar
  • November 17, 2020
  • 5 min read
  • 443 Views
‘Drag Race Holland’: Saat Institusi Queer Gagal Pahami Konsep Gender Nonbiner

Pada tahun ini, Belanda menjadi negara kedua di Eropa yang menayangkan acara TV realitas Drag Race Holland, yang merupakan waralaba dari Drag Race Amerika Serikat, dan muncul setelah Drag Race United Kingdom. Drag Race Holland menjangkau penggemar di negaranya melalui kanal tayang Videoland dan penggemar internasionalnya di kanal World of Wonder pada 18 September 2020 lalu. Setiap minggu, episode baru disuguhkan kepada para pemirsa di sana.

Sungguh aktivitas menyenangkan untuk menonton drag excellence kala pandemi sambil menunggu musim baru Rupaul Drag Race (AS) yang tayang sekali setahun.

 

 

Penjurian Drag Race Holland dikepalai oleh Fred Van Leer, seorang penata busana yang muncul di banyak acara realitas Belanda seperti RTL Boulevard, X-Factor, dan Holland’s Next Top Model. Van Leer beberapa kali menjadi penampil, namun tidak terlalu memfokuskan keseniannya pada kegiatan tersebut hingga memiliki banyak nama drag. Dalam menilai para kontestan, dia ditemani oleh sahabat karibnya Nikkie Plessen, seperti Rupaul dengan Michelle Visage di Amerika Serikat.

Pada awalnya, Drag Race Holland terlihat sangat menjanjikan karena memiliki banyak diaspora drag queen dari luar Belanda, baik dari Amerika Latin (Peru dan Brazil) atau negara lain di Eropa seperti Belgia. Acara juga merupakan waralaba Drag Race pertama yang memperkenalkan drag queen berjanggut (lebih dikenal dengan istilah bearded queen), Madame Madness.

Tantangan mini yang terdapat pada Drag Race Holland juga sangat seru. Lomba-lomba 17 Agustus seperti balap karung, jepit balon, dan memasukkan paku ke dalam botol dilakukan dalam salah satu episode di musim ini. Hal ini membawa kilas balik budaya, bahwa kita pernah memiliki hubungan erat dengan negara tersebut.

Baca juga: Magdalene Primer: Memahami Gender dan Seksualitas

Keanehan besar muncul pada episode lima, episode snatch game alias kuis tebak kata, melanjutkan sebuah frasa tanggung yang dijadikan soal dalam kuis tersebut.

Dalam kuis itu, biasanya para selebriti papan atas diundang untuk memeriahkan acara. Sementara, para kontestan diminta untuk mempersonifikasi karakter televisi favorit mereka dan berakting selucu mungkin. Tantangan ini biasanya sangat dinantikan oleh para penggemar karena merupakan salah satu tantangan komedi multikarakter (karakter dalam drag dan dalam karakter di televisi pada waktu bersamaan) yang paling sulit.

Tantangan berlangsung sangat seru dan jenaka. Ada beberapa penampilan drag queen yang kurang memuaskan, namun episode ini tetap membuktikan bahwa finalis Drag Race Holland musim pertama merupakan drag queens terbaik yang terdapat di wilayah Eropa Barat di luar Inggris. Dua penampil terbaik pada malam itu adalah Envy Peru yang memainkan karakter Patty Brard, penyanyi Belanda keturunan Indonesia dan Chelsea Boy yang muncul sebagai Joe Ecsotic, antagonis pria dalam dokumenter Netflix, Tiger King.

Menolak gagasan gender biner

Yang memancing diskusi panas penggemar internasional pada malam itu adalah tema runway “Split Personalities”. Kontestan laki-laki cis gay bisa saja dengan gampang menerima brief maskulin-feminin dalam satu busana, seperti penampil Hudson di acara Indonesia Mencari Bakat. Namun, konsep ini ditolak oleh para kontestan nonbiner, Mama Queen dan Chelsea Boy.

Chelsea Boy menampilkan konsep hibrid gender yang estetikanya banyak diambil dari permainan video Humanoid yang tidak memiliki kelamin biologis jelas, namun terdapat kedua karakteristik ekspresi maskulin dan feminin dalam entitas tersebut. Chelsea Boy juga berkata banyak makhluk esa dalam mitologi yang identitas gendernya cair seperti ini.

Foto courtesy World of Wonder.

Kontestan asal Rotterdam, Mama Queen, mencerna tantangan runway split personalities secara harfiah. Mama berargumen bahwa dia tidak mempercayai konsep biner dalam gender dan akan menekankan pada bagian split personality dengan menampilkan dirinya: Dennis dan Inner Saboteur-nya.

Foto courtesy World of Wonder.

Kontestan lain yang juga mendapatkan komentar aneh dari juri adalah Sedergine yang berjalan di atas  panggung dengan kostum Miss Piggy dan Kermit si Kodok. Sedergine mendapat kritik karena eksekusi yang kurang maksimal dan kelamin karakter animasi binatang yang juga dipertanyakan.

Sedergine dan Mama Queen ditempatkan pada peringkat rendah dan akhirnya Sedergine pulang setelah kalah dalam melakukan lipsync for your life melawan Miss Abby OMG dalam episode tersebut.

Foto courtesy World of Wonder.

Pernyataan juri yang membuat banyak penggemar non-biner kecewa adalah, “Kontestan harus menyampaikan konsep runway-nya. Bila harus disampaikan secara lisan, maka artinya kami tidak mengerti”. Ini dianggap sebagai pengabaian yang cukup fatal. Fred sebagai juri utama juga tidak melakukan pembelaan pada kontestan-kontestan nonbiner. Selain itu, juga tidak ada upaya mengedukasi juri selebritas non-queer yang hadir tentang fluiditas gender.

Akan lebih baik hal ini dijelaskan tim produksi sebelum para juri tamu menilai penampilan para kontestan sehingga para kontestan tidak perlu lagi menyampaikan identitas gendernya. Pengabaian tersebut cukup berat untuk ditonton oleh para penggemar queer non-biner.

Performa Chelsea Boy yang sangat apik pada malam itu juga dicurigai oleh para penggemar tidak dimenangkan oleh juri karena pada tantangan snatch game, ia memainkan Joe Exotic yang merupakan seorang laki-laki. Padahal, ini sudah pernah dilakukan sebelumnya beberapa kali dalam Rupaul Drag Race Amerika Serikat. Pemenang episode ini adalah Envy Peru yang bermain aman menuruti semua tantangan dan permintaan juri.

Baca juga: Queer Love: Kapan Seseorang Disebut Queer?

Hal ini sangat disayangkan terjadi pada saat Drag Race banyak menjadi acuan remaja queer dalam melihat perwakilan ragam ekspresi dan identitas di televisi. Atau mungkin para penggemar memiliki ekspektasi terlalu tinggi?

Saya sendiri melihat Drag Race seperti Olimpiade bagi komunitas queer. Kehadiran musim barunya selalu dirayakan dan dinantikan oleh para penggemarnya di seluruh dunia. Lagi-lagi, dalam konteks acara Drag Race Holland ini, para queer merasakan pengkhianatan dalam komunitasnya. Apakah benar Drag Race merupakan representasi media inklusif yang menghargai keragaman gender dan seksualitas di dalamnya, atau sekadar token dalam pemasaran kapitalisme yang telanjur mainstream?


Avatar
About Author

Arie Raditya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *