Issues

Alasan Ramai-ramai Tolak Istilah Pelakor Masuk ke KBBI

Seolah-olah menjadi kado untuk International Women’s Day, padahal diksi ‘pelakor’ sedari dulu sudah bermasalah.

Avatar
  • March 1, 2023
  • 5 min read
  • 1024 Views
Alasan Ramai-ramai Tolak Istilah Pelakor Masuk ke KBBI

Dalam artikel The Jakarta Post, 7 Maret 2021, saya meramalkan kata “pelakor” akan masuk di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) apabila penggunaannya kian masif. Dugaan saya terbukti. Pada 1 Maret 2023, kata “pelakor” resmi masuk sebagai entri baru dalam KBBI. Hal ini seolah-olah dianggap sebagai kado bagi perayaan Hari Perempuan Internasional di Indonesia. Padahal kenyataannya, pembentukan kata tersebut sudah problematis dari awal.

Ini tentu bukan ulah para bahasawan yang tergabung dalam tim penyusun kamus. Bukan akal-akalan Mas Ivan Lanin, atau akademisi sejenis. Sebab, bukan mereka yang memiliki kewenangan memilih entri untuk dimasukkan ke dalam kamus. Mereka hanya menyampaikan hasil penelitian bahasa berbasis korpus yang dilakukan. Masyarakat pengguna Bahasa Indonesialah yang menentukan dinamika penggunaan sebuah kata, sehingga itu bisa terekam dalam kamus.

 

 

Hipotesis Sapir-Whorf atau yang dikenal juga dengan Relativitas Linguistik menyebutkan, penggunaan istilah atau kata tertentu dalam bahasa dapat memengaruhi cara pandang terhadap hal-hal di sekitar kita. Ketika masyarakat menggunakan istilah “pelakor”, mereka percaya perempuanlah yang dianggap bersalah ketika terjadi perselingkuhan. Karena tidak ada istilah serupa untuk laki-laki, maka kaum ini mendapat privilese dan dianggap hanya sebagai korban dari nafsu serakah para pelakor.

Meski secara terang-terangan sikap ini dirasa tidak adil, tetapi kebiasaan menyalahkan perempuan memang kerap ditemukan di budaya kita. Selain fenomena pelakor ini, contoh lainnya adalah masih banyaknya victim blaming pada kasus kekerasan seksual. “Salah siapa pakai baju seksi?” atau “Makanya jangan pulang terlalu malam” menjadi kalimat-kalimat yang dijejalkan kepada korban. Pendek kata, masyarakat kita percaya, perempuan sudah seharusnya menjaga perilaku. Hal-hal buruk yang terjadi pada perempuan, itu adalah akibat dari kesalahannya dalam bersikap.      

Baca juga: Kasus Nissa dan Ayus: Mempertanyakan Kembali Pelabelan Pelakor

Instrumen Pengendali Perempuan

Salah satu instrumen pengendali dan pembentuk sikap perempuan agar sesuai dengan standar sosial adalah pamali. Itu dimaknai sebagai ujaran-ujaran berisi pantangan dan larangan yang tabu untuk dilanggar. Pamali adalah salah satu artefak linguistik dan tradisi lisan yang dapat diamati keberadaannya secara langsung di tengah-tengah masyarakat Indonesia.

Sebagai perempuan Indonesia dewasa yang pernah merasakan masa remaja, saya tentu mengalami masa-masa dicekoki dengan pamali ini.

“Kalau nyapu tuh yang bersih biar nanti punya suami enggak berewokan,” kata ibu saya suatu pagi. Satu dua kali saya turuti titahnya. Namun, seiring waktu dan bertambahnya usia, saya sengaja melanggarnya karena saya malah mendambakan suami yang berewokan. Waktu itu, standar saya perihal keseksian laki-laki sudah bukan lagi yang klimis dan licin. Lagipula, kualitas seorang suami juga tidak ditentukan dari berewoknya, tok, kan?

Pun ketika saya memasak makanan yang keasinan. Ibu akan serta merta menanyai saya, “Pengin kawin ya?” Pemikiran bahwa mungkin saja penyebab keasinan itu karena saya memasukkan terlalu banyak garam seolah luput dari pandangan ibu. Dia lebih percaya “kata orang dulu” dibandingkan logika.

Setelah menikah, pamali tidak otomatis hilang dari hidup saya. Malah ketika hamil, banyak sekali pantangan dan larangan bagi saya. Contohnya, saya tidak boleh duduk di lantai atau di dekat pintu. Bila sedang terjadi gerhana bulan atau matahari, saya tidak diizinkan keluar rumah dan diminta untuk segera mandi setelah peristiwa alam itu usai. Bahkan saat kedua anak saya lahir dengan kondisi tali pusat yang melilit tubuh dan leher, saya dianggap telah melanggar pamali, yakni suka mengalungkan handuk atau kain ke leher.

Baca juga: Perempuan Simpanan: Korban Atau Tak Bermoral?

Pengalaman-pengalaman tadi mengindikasikan, begitu lekatnya pamali dengan fase hidup perempuan. Bahkan, dari mulai menstruasi hingga melahirkan. Temuan dari beberapa penelitian lintas ilmu terkait pamali juga mendukung fakta ini. Penelitian-penelitian tersebut mencatat, sebagian besar pamali ditujukan untuk perempuan.

Pamali di Indonesia juga memiliki karakter khas dibanding produk serupa di daerah lain, yaitu memiliki kaitan erat dengan peran perempuan di ranah domestik. Ciri khas ini menunjukkan adanya pembatasan ranah di mana seharusnya perempuan bergerak atau berperan.  

Sebagian dari para ahli sendiri menyebut, fungsi pamali adalah untuk melindungi perempuan karena anggapan mereka adalah makhluk lemah yang mesti dilindungi dan dimuliakan. Sebagian lagi menyatakan, pamali digunakan untuk mempertahankan status quo dan privilese laki-laki di segala aspek kehidupan.

Namun, baik atau buruknya fungsi dan tujuan pamali, pada akhirnya pantangan dan larangan ini telah membatasi banyak aspek dalam hidup perempuan. Di saat bersamaan, itu juga membuat mereka kesulitan untuk mendobrak tatanan budaya serta tradisi masyarakat yang telanjur ajek.

Baca juga: Ketika Perempuan yang Lebih Berdaya Sudutkan Sesama Perempuan

Selain pamali, cerita rakyat juga digunakan untuk mendidik perempuan. Cerita urban legend macam Sundel Bolong dan Kuntilanak disebarkan untuk menakut-nakuti perempuan yang suka pulang malam. Cerita mistis penguasa lautan, seperti Kanjeng Ratu Kidul dan Dewi Lanjar, juga menyiratkan makna, perempuan memiliki sifat destruktif yang hanya bisa ditaklukkan oleh sosok laki-laki jagoan macam Sultan Agung dan Panembahan Senopati. Lalu, cerita Putri Hijau dan Roro Jongrang digunakan untuk menasehati perempuan agar jangan menentang laki-laki dengan cara menolak lamarannya.

Mungkin terasa aneh dan berlebihan saat kita menyadari bahwa pamali, cerita rakyat, dan urban legend menyimpan fungsi tertentu untuk mengontrol dan membentuk sikap perempuan. Padahal pamali, cerita rakyat, dan urban legend sudah dianggap laiknya teman bermain yang tumbuh bersama perempuan. Namun, memang begitulah mitos: sengaja ditampilkan dalam bentuk yang sangat halus tetapi disampaikan berulang kali dan turun-temurun sehingga hampir tidak kita sadari tujuannya. Oleh karena itu, mempertanyakan kembali hal-hal yang sudah dianggap lumrah adalah tugas penting tiap perempuan.

Ilustrasi oleh Karina Tungari



#waveforequality


Avatar
About Author

Wulandari Pratiwi

Adalah seorang peneliti independent dalam bidang linguistik. Aktif menulis dan membentangkan makalah di seminar linguistik nasional maupun internasional sejak tahun 2013. Beberapa artikelnya telah terbit di media cetak dan daring.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *