Korupsi Pajak Ayah Mario Dandy, Perempuan Tetap Paling Merugi
Ternyata perempuan tetap jadi pihak paling rugi dalam perkara dugaan korupsi dan pencucian uang Rafael Alun, ayah Mario Dandy.
Kasus kekerasan yang dilakukan oleh Mario Dandy, 20, belakangan justru membuka penggelapan pajak sang ayah, Rafael Alun Trisambodo. Ia dikabarkan punya kekayaan lebih dari Rp500 miliar, padahal jabatannya di Kementerian Keuangan hanya sebagai eselon III. Harta Rafael berlipat-lipat lebih banyak ketimbang kekayaan koruptor dari Kemenkeu lainnya, Gayus Tambunan yang mencapai Rp93 miliar.
Siapa yang terdampak dari kasus rasuah ini? Salah satunya adalah perempuan.
Saat pertama kali perkara korupsi Rafael mencuat, pekerja rumahan Muhayati mengaku kesal bukan main.
“Kami orang kecil bayar pajak lebih banyak. Coba lihat kalau orang kaya beli shampoo langsung satu botol besar. Kalau kami sanggupnya beli shampoo sachet. Berarti beli harus berkali-kali, berarti kami bayar pajak berkali-kali juga,” ungkap perempuan yang menjadi korban gusuran Waduk Pluit itu, (8/3).
Ia menjadi salah satu perempuan yang hadir dalam Konferensi Pers “Melihat Uang Pajak Negara Disalahgunakan: Perempuan Menuntut Keadilan Pajak”, di AONE Hotel Jakarta Pusat.
Kekesalan Muhayati cukup beralasan mengingat di saat bersamaan, pejabat dan kerabatnya di instansi negara justru sibuk flexing properti, kendaraan, dan gaya hidup mewah di media sosial. Selain arogan dan tak tahu malu, imbuhnya, tindak para pejabat ini dinilai tak sensitif terhadap kemiskinan rakyat kecil, terutama perempuan.
Sebagai informasi, selain Rafael dan kerabatnya, ada juga pejabat lain yang senang flexing dan kini masuk radar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Di antaranya, Eko Darmanto, Kepala Kantor Bea dan Cukai Yogyakarta yang hobi pamer koleksi mobil antiknya. Lalu ada Wahana Saputro, Kepala Kantor Pajak Madya Jakarta Timur, hingga Andhi Pramono, Kepala Bea dan Cukai Makassar, Sulawesi Selatan.
Kekesalan yang sama dirasakan Asmania, perempuan nelayan dari Pulau Pari Kepulauan Seribu. Ia bilang, sebagai perempuan dengan suami yang bermata pencaharian sebagai nelayan, ia harus memutar otak guna mencukupi kebutuhan keluarga.
“Apalagi sekarang pajak naik semua, kebutuhan-kebutuhan konsumsi pun jadi ikutan naik. Barang-barang kebutuhan yang ada di Pulau Pari semuanya sudah naik. Kalau ingin membeli kebutuhan yang lebih murah di darat, kami juga harus pikir-pikir karena butuh banyak biaya ke sana,” ujar Asmania, (8/3).
Perempuan Memang Paling Merugi
Korupsi dan penyalahgunaan jabatan sendiri mengakibatkan hilangnya sumber pendapatan negara dan pemiskinan dari generasi ke generasi. Perempuan dalam hal ini ikut merugi karena diharuskan untuk membayar pajak Pertambahan Nilai–pungutan yang dibebankan atas transaksi jual-beli barang dan jasa–lebih mahal.
Per 1 April 2022, pemerintah menaikkan tarif PPN menjadi 11 persen. Kenaikan PPN ini semakin memberatkan situasi ekonomi perempuan. Sebab, beberapa komoditas kebutuhan perempuan dan anak-anak, seperti pembalut hingga popok bayi sama sekali tidak mendapat pengecualian pajak. Artinya, perempuan harus mengalokasikan dana lebih besar untuk kebutuhannya.
Lebih lanjut, jika PPN naik, maka semua harga bahan konsumsi pun ikut terkerek. Ada beberapa komoditas yang dikecualikan seperti bahan makanan tepung dan susu. Namun, pengecualian ini pada gilirannya lebih menguntungkan perusahaan, terutama industri pangan, alih-alih perempuan.
“Misalnya PPN mengecualikan tepung, yang pada gilirannya lebih menguntungkan industri makanan dan bukannya konsumen individual. Hasil produksi dari industri makanan yang dijual ke publik kemudian dibeli oleh perempuan dengan membayar PPN. Contoh lain, kalau perempuan mau membeli susu tanpa kena PPN, berarti perempuan harus membeli langsung dari pemerah susu sapi. Jika perempuan membeli susu di toko, berarti dia akan terkena PPN,” ujar Risma Umar, Wakil Direktur Eksekutif Aksi for Gender, Social and Ecological dalam acara yang sama.
Tak cuma PPN, regulasi yang lain juga membuat beban pajak perempuan terasa semakin berat. Dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) disebutkan, ada perubahan dua hal tentang PPh 21, yaitu 1) menurunnya objek pajak dengan gaji 50 juta menjadi 60 juta dari 15 persen menjadi 5 persen, dan 2) meningkatnya pajak orang kaya lima miliar rupiah dari 30 persen menjadi 35 persen.
UU ini jelas merugikan perempuan. Apabila seorang perempuan menikah dan memilih membayar pajak sendiri, maka ia akan membayar pajak lebih mahal. Namun, jika perempuan memilih bergabung dalam pajak keluarga atas nama suami, maka ia tidak menjadi subjek pajak melainkan suaminya. Dengan demikian perempuan tidak dianggap berpenghasilan dan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) miliknya ditiadakan.
Perempuan Menuntut Keadilan Pajak
Aturan dan kebijakan pemerintah tentang pajak pada akhirnya membuat perempuan muak. Marhaini Nasution, dari Aksi for Gender, Social and Ecological Justice membenarkan, perempuan sudah lama memendam kemuakan pada pemerintah terkait pajak. Kondisi ini diperparah dengan banyaknya pencurian dana pajak yang telah mereka bayarkan.
“Sesungguhnya, kasus korupsi Gayus hingga Rafael hanyalah memicu kemuakan rakyat pada perilaku aparat pajak dan penyelenggara negara lainnya yang tidak bisa dipercaya sejak lama,” ujar Marhaini Nasution yang juga hadir dalam konferensi pers ini.
Berangkat dari sinilah, perempuan menuntut keadilan pajak dengan poin-poin berikut:
- Gunakan uang hasil pajak untuk perempuan dan masyarakat miskin. Misalnya untuk pendidikan, kesehatan, perlindungan sosial dan kesejahteraan sosial lainnya.
- Tidak menggunakan uang hasil pajak untuk proyek-proyek yang justru menggusur rakyat dan menghilangkan mata pencaharian sehingga terus memiskinkan mereka.
- Mengusut tuntas para pelaku korupsi, penggelapan dana pajak, penghindaran pajak, pencucian uang, penyuapan, penyelundupan dan berbagai jenis penyalahgunaan jabatan, serta menghukum para pelaku tersebut seberat-beratnya.
- Pemerintah tidak mengambil utang baru karena biaya utang membebani APBN dan merampas jatah untuk kesejahteraan masyarakat, terutama perempuan.
- Pajak barang mewah dinaikkan dan diperketat pelaksanaannya, sementara PPN untuk konsumsi bahan dasar dan kebutuhan perempuan ditiadakan.
- Pengakuan terhadap perempuan sebagai subjek pajak meskipun perempuan bergabung dalam NPWP keluarga, tetap mengakui perempuan sebagai subjek pajak berpenghasilan maupun tanggung jawab Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) nya.