Dari Kasus Sambo Hingga Mario Dandy: Bukti Sindrom ‘Blame the Woman’ Merajalela
Kenapa sih kita senang menyalahkan perempuan dalam banyak hal, termasuk dalam kasus kekerasan Mario Dandy?

Belakangan media sosial dan media massa di Indonesia heboh memberitakan kasus penganiayaan yang dilakukan Mario Dandy (20), anak eks pejabat pajak, kepada David. Mario Dandy dilansir dari Kompas yang kini berstatus sebagai tersangka pertama kali viral lantaran videonya yang tengah melakukan kekerasan terhadap David tersebar di media sosial.
Dalam video itu terlihat bagaimana Dandy tetap melayangkan tendangan keras kepada korban kendati korban sudah tak sadarkan diri. Kekerasan yang dilakukan Dandy pun membuat David hingga kini masih mengalami koma hingga dinyatakan mengalami diffuse axonal injury atau jenis cedera otak traumatis karena cedera tumpul pada otak.
Tidak sendiri, AG (15), kekasih Dandy pun juga terseret dalam kasus ini. Kendati dirinya tidak terlibat dalam kekerasan kepada David, banyak pihak yang menilai AG adalah “dalang” dari terjadinya kekerasan. Dikutip langsung dari Berita Satu, Ketua Ketua Gerakan Pemuda Ansor DKI Jakarta, Ainul Yakin AlhafidzIni bahkan meminta polisi segara menangkap dan menetapkan AG sebagai tersangka. Ini lantaran AG sempat mengadu kepada Mario kalau dirinya mendapat perlakuan tak baik dari David dan membuat Mario langsung menghubungi David.
David yang tak kunjung menanggapi panggilan telepon membuat Mario dan AG lantas menyusun rencana untuk menjebak korban dengan dalih akan mengembalikan kartu pelajar. Selanjutnya, AG dan David sepakat untuk bertemu pada Senin (20/2/2023). Hari di mana David mengalami kekerasan beruntun hingga berujung koma.
Dianggapnya AG sebagai “dalang” penyiksaan David kemudian memicu publik mengaitkannya dengan kasus Ferdy Sambo dan kasus pembunuhan Ade Sara oleh pasangan Hafitd-Assyifa pada 2014. Ketiganya punya kesamaan. Perempuan dalam tiga kasus ini dianggap punya andil besar dalam menjadi “obor yang membakar semuanya”. Mereka kunci utama kenapa kekerasan yang sampai bisa meregang nyawa terjadi. Kalau tidak ada mereka laki-laki tak mungkin melakukan hal keji seperti itu.
Baca Juga: ‘Restorative Justice’ dalam Pemerkosaan Anak Papua: Tak Sama dengan Jalur Damai
Sindrom Blame the Woman
Dianggapnya perempuan sebagai “dalang”, si biang kerok yang membuat laki-laki mampu melakukan kekerasan sebenarnya bukan terjadi satu dua kali saja. Pun, ini tidak terjadi di Indonesia saja. Ini telah jadi fenomena sosial dan dikenal sebagai sindrom Blame the Women. Bahkan orang Prancis memiliki ungkapan untuk sindrom ini: cherchez la femme (look for the woman).
Dilansir dari The Washington Post, sindrom Blame the Woman adalah pelabelan negatif pada perempuan. Dalam pelabelan negatif ini, perempuan dicap sebagai Bad Woman atau Bad Witches. Lewat cap ini masyarakat memandang perempuan sebagai pihak yang bertanggung jawab atas terjadinya suatu kekerasan atau kekejian.
Ciri utama dari sindrom Blame the Woman ini adalah perempuan dianggap memiliki kekuatan yang sangat besar sampai bisa memengaruhi orang lain berbuat kejahatan. Sehingga, perempuan tak lain adalah dalang atas segala kehancuran. Mereka begitu “licik” hingga bisa terlibat secara tidak langsung dalam melakukan perbuatan jahat dan pantas untuk dihakimi, disalahkan, dan dikecam.
“Ketika sesuatu yang buruk terjadi, kita menyalahkan perempuan,” kata psikiater forensik Elissa Benedek dari Universitas Michigan dalam wawancaranya bersama The Washington Post.
Baca juga: Predator Seksual itu Berlindung di Balik Jubah Gereja
Ia lalu menambahkan, “Ini adalah mitos lama bahwa perempuanlah yang bertanggung jawab. perempuan itu provokatif, itulah sebabnya dia diperkosa. Perempuan itu sombong, itulah sebabnya dia dilecehkan. Dia tidak melakukan X, Y atau Z, tapi dia tetap salah karena dia adalah Ibu yang buruk. Ini adalah sebuah keberlanjutan dari pelabelan negatif tentang Bad Woman dan ini sangat sulit untuk dihilangkan.”
Sulitnya label negatif ini dihilangkan karena dalam tataran teologis, sindrom Blame the Woman ini muncul dan dilanggengkan dari kisah Adam dan Hawa. Adam dibuang ke bumi karena ia telah memakan apel terlarang atau buah khuldi kendati sudah dilarang oleh Tuhan.
Dalam berbagai tafsir agama, tindakan Adam ini adalah akibat langsung dari godaan Hawa yang sebelumnya sudah mencicipi buah itu terlebih dahulu karena ulah bisikan setan. Ini disampaikan oleh Michelle Charness JD, mantan asisten jaksa wilayah Middlesex County, Massachusetts, Amerika dan Pekerja Sosial Klinis Berlisensi dalam artikelnya di Psychology Today.
Kendati kisah Adam dan Hawa ini sudah mengalami banyak penafsiran ulang yang lebih progresif, dalam tafsir agama Islam salah satunya dilakukan oleh Buya Hamka, pandangan bahwa Adam melakukan dosa karena godaan Hawa masih jadi tafsir dominan di masyarakat. Diajarkan dari generasi ke generasi menjadi mitos dan jadi bagian terintegrasi dalam berbagai cerita rakyat.
Sayangnya, bagi sebagian orang, menyalahkan perempuan memang jadi cara untuk mempertahankan cerita rakyat. Menyalahkan perempuan juga menawarkan kelegaan yang cepat bagi masyarakat yang cemas akan masa depannya. Dan menyalahkan perempuan itu mudah dilakukan apalagi karena masih ada pandangan kaku terhadap perempuan di masyarakat.
Dilansir dari The Swaddle, pandangan kaku ini tak lain adalah beban gender yang diberikan kepada perempuan. Perempuan dalam masyarakat diharuskan menjadi “baik” dan terhormat. Perempuan tumbuh dengan lensa mikroskopik tak kasat mata yang mengobservasi tiap gerak-gerik dan perilakunya agar sesuai dengan standar dari peraturan tak tertulis ini. Sehingga, jika perempuan gagal memenuhi standar, mereka akan didakwa atas tindakannya. Bahkan ketika sebuah perbuatan secara esensi bukan dilakukan olehnya.
Kasus AG yang Punya Lapisan Tambahan
Theresia Iswarini, Komisioner Komnas Perempuan mengatakan dalam wawancaranya bersama Magdalene anggapan publik tentang keterlibatan AG sebagai dalang dalam kasus penyiksaan David perlu ditelusuri lebih lanjut. Kasus AG menurutnya kompleks, karena tak hanya melibatkan adanya tendensi masyarakat menyalahkan perempuan, tetapi secara usia dalam Undang-Undang Perlindungan Anak, AG masih dikategorikan masih sebagai anak-anak.
Usia AG yang masih dikategorikan sebagai anak, bisa mengindikasikan adanya lapisan relasi kuasa antara AG dengan kekasihnya, Mario Dandy. Hal ini karena menurut Theresia, anak-anak yang memiliki relasi romantis dengan orang dewasa sebenarnya berada dalam ruang dan kendali besar pasangan dewasanya. Ini sangat memungkinkan anak-anak mengalami manipulasi dan intimidasi dalam relasi.
Psikolog klinis dan konseling dan CEO Relationships Australia NSW, Elisabeth Shaw dikutip dari abc News bahkan mengungkapkan relasi romantis antara anak perempuan dan laki-laki dewasa dalam kondisi terburuknya bisa menjadi hubungan yang bersifat predator. Kerentanan mereka sebagai anak-anak dalam perkembangan relasi bisa jadi ruang bagi laki-laki dewasa untuk lebih banyak mempraktikkan kuasa atas anak perempuan. Membentuk mereka lewat kendali tak sadar dan mengarahkan apa yang seharusnya mereka lakukan. Dengan kemungkinan inilah Theresia pun mengatakan.
Baca Juga: Lagi, Pejabat Remehkan Kasus Pelecehan Seksual: Sudah Saatnya Berubah, Pak, Bu!
“Apakah benarkah dia yang menyulut, memprovokasi? Kita harus memahami dua hal. Masyarakat masih patriarkis, masih melihat bahwa ruang besar itu sentral pada laki-laki. Dengan ruang ini mereka (laki-laki) punya kuasa lebih dan sebenarnya mampu melakukan keputusannya sendiri,” tukas Theresia.
Ia pun melanjutkan, “Lalu secara undang-undang saja masih berada di bawah pengampuan dan perawilan untuk membuat keputusan atau menyatakan sesuatu di hadapan hukum. Tapi kok ini justru narasinya dikendalikan anak perempuan? Situasi ini yang harusnya dipahami publik. Tentang pandangan masyarakat soal perempuan dan posisi anak.”
Theresia pun menambahkan dibandingkan dengan melakukan witch hunting terhadap AG yang keterlibatannya saja masih belum jelas, ia meminta masyarakat untuk menahan diri dalam membuat penyimpulan sepihak terhadap kasus ini dan langsung menyalahkan. Ini menurutnya adalah bagian dari tugas masyarakat, utamanya yang sudah berusia dewasa.
“Tugas kita sebagai orang dewasa adalah memosisikan diri sendiri melindungi anak, dalam hal ini dari stigma. Dampak dari apa yang terjadi pada AG, anak perempuan yang bahkan hingga kita belum clear keterlibatannya,” jelasnya.
Theresia juga melanjutkan agar masyarakat tak lagi dibelenggu oleh mindset Blame the Women, memang perlu usaha-usaha ekstra yang dilakukan dalam level struktural. Mengingat mindset ini sebenarnya adalah wujud lain dari ketidakadilan gender yang berakar dari misogini. Karenanya, menurut Theresia, banyak pihak yang harus terlibat dalam perubahan mindset ini.
Mulai dari orang tua yang mengajarkan budaya keadilan gender sejak dini, lewat pengenalan pekerjaan domestik yang dibagi rata antara anak laki-laki dan perempuan karena sifatnya genderless. Lalu, disusul dengan sekolah yang bisa jadi ruang pendidikan bertahap perkenalan keadilan gender lewat kurikulum atau materi yang dikaji ulang dan tidak tabu terhadap seksualitas dan kesehatan reproduksi. Terakhir, bisa lewat institusi keagamaan yang harus bisa melakukan penafsiran ulang terhadap ayat-ayat yang dianggap tidak adil gender dan membumikannya ke masyarakat luas.
Harapannya dengan ini semua, ketidakadilan gender baik dalam perilaku dan cara pandang bisa sedikit demi sedikit terkikis baik dalam level keluarga bahkan level negara yang di dalamnya mencakup level kebijakan dan politik.