‘Virgin’: Mendengar Lorde Mengeksplor Seksualitasnya, Sambil Merobohkan Gender
“Some days I’m a woman, some days I’m a man, oh” gumam Lorde dalam “Hammer”, pembuka album terbarunya, Virgin; sebuah pernyataan eksistensial dari seseorang yang sudah terlalu lama dikurung dalam label dan ekspektasi.
Sebelum lagu itu dirilis bersama albumnya, Lorde sempat jadi kepala berita di media karena ucapan serupa. “Aku perempuan, kecuali di hari-hari lain saat aku laki-laki,” katanya.
Omongan itu keluar dalam interview dengan Britanny Spanos, untuk Rolling Stones. Di sana Lorde bercerita, penyanyi Chappell Roan yang belakangan jadi teman dekatnya bertanya, “Apakah kamu non-biner sekarang?”
“Aku tahu jawaban itu tidak memuaskan, tapi ada bagian dalam diriku yang ogah banget dikotak-kotakkan,” tambah Lorde.
Pada pekan Non-Binary Awareness ini, Virgin jadi album yang susah dilepaskan. Nyanyian Lorde yang mengeksplor perjalanan gendernya jadi menarik disimak.
Tubuh yang Menolak Diatur
Sejak awal, Virgin menolak memberi jawaban atas pertanyaan siapa Lorde kini. “Hammer” bukan hanya membawa amarah, tapi juga kebingungan yang disengaja. Ini bukan album tentang transisi dari satu identitas ke identitas lain—melainkan tentang hidup di tengah-tengah. “I might have been born again, I’m ready to feel like I don’t have the answer.” I pun mendeklarasikan, lagi-lagi, karya artistik yang mencerminkan transisi pribadi. Sebuah tema yang juga ia sentuh dalam Melodrama.
“Shapeshifter” mempertegas ini. Di situ, Lorde menyebut dirinya sebagai “the ice”, “the flame”, “the prize”, “the ball”, “the chain”. Ia pernah menjadi objek, penentu, beban, dan hadiah. Tapi yang paling menarik: ia ingin menjadi seperti laki-laki—reckless, sembarangan, dan tetap dipercaya. Ini bukan soal iri; ini soal sadar bahwa kebebasan untuk gagal, untuk ceroboh, adalah hak istimewa maskulin yang jarang dimiliki perempuan.
Baca juga: Mengalami “BRAT”, Mendalami Sisi ‘Pop Girlie’ Charli
Seperti dikutip dari Genius, di ajang Met Gala 2025 kemarin, Lorde memanfaatkan penampilannya sebagai semacam easter egg, memberi isyarat rilisnya “Man of the Year”. “Sebuah persembahan dari tempat yang sangat dalam di dalam diriku. Lagu yang paling aku banggakan dari album Virgin,” kata Lorde dalam postingannya di Instagram, 19 Mei lalu.
Tapi, “Man of the Year” bukan satu-satunya eksplorasi personal yang ia tuangkan dalam album ini.
Refleksi Lorde terhadap tubuh juga terasa tajam dalam “Broken Glass”. Di situ, ia menyuarakan hubungan beracun dengan tubuhnya sendiri. Ia bercerita tentang obsesi akan tubuh ideal, yang terasa menyenangkan hanya sesaat, dan kemudian penuh penyesalan; tema yang sekilas ia singgung juga dalam versi remix “Girl, so confusing” milik Charli xcx. Tubuh dalam Virgin bukan tempat untuk merayakan diri, melainkan medan perang: antara kontrol dan hampa, antara hasrat dan luka.
Baca juga: ‘Man of the Year’ dari Lorde dan Sejarah Panjang Nyanyian Sumbang Melawan Patriarki
“Clearblue” membawa kita ke sisi lain tubuh: tubuh dalam relasi seksual. Clearblue, yang merupakan nama alat tes kehamilan, berkisah tentang sensasi keterkejutan yang ia rasakan, saat melakukan hubungan seks tanpa pengaman berujung pada kehamilan; pengalaman yang ia bahas juga dalam wawancara bersama Jake Shane.
“Ada satu lagu yang sangat kusuka, judulnya Clearblue. Isinya tentang pengalaman seks tanpa pengaman,” katanya sambil tertawa. “(Ceritanya) cuma tentang pengalaman memakai alat tes kehamilan dan aliran emosi yang mengaliri tubuhmu—tak peduli apa pun hasilnya. Saat-saat itu adalah sebuah momen,” katanya.
Tapi tidak ada sensualitas dalam lagu yang secara eksplisit membicarakan seks ini; ia hadir sebagai kondisi tanpa perlindungan literal maupun emosional. Lorde tidak sedang menawarkan “female pleasure”, ia menawarkan ketakutan, kebingungan, dan kejujuran yang sulit didengar, dan kadang banyak orang takutkan untuk dibagikan.
Kekuasaan, Keluarga, dan Perlawanan terhadap Reputasi
Lorde tidak hanya membongkar gender dan tubuh, tapi juga posisi sosialnya sendiri: sebagai anak perempuan, kekasih dari laki-laki yang lebih tua, dan ikon pop yang pernah dielu-elukan sebagai “voice of a generation”. Di Virgin, ia menolak semua posisi itu.
“Favourite Daughter” mungkin adalah lagu paling personal di album ini. Ditulis tentang ayahnya, lagu ini menyingkap ruang-ruang yang tertutup bagi perempuan, bahkan oleh laki-laki yang menyayanginya. “For every door you open, there’s a room I can’t go in.” Ia menyuarakan tentang, seberapa besar ia berusaha dan seberapa besar seorang ayah mencoba mencintainya, sebagai anak perempuan ia merasa ada tembok sistemik yang menghalanginya untuk sepenuhnya bisa ‘memuaskan’ ekspektasi orang tua.
“David” adalah klimaks kebebasan itu. Di sini, Lorde bertanya siapa dirinya, tanpa ayah, tanpa kekasih, tanpa laki-laki yang membentuk hidupnya. “I don’t belong to anyone” simpulnya. Ini adalah pengakuan penting—bukan hanya dalam konteks hubungan personal, tapi dalam sejarah panjang perempuan yang didefinisikan lewat keterkaitannya dengan pria.
Dan tentu saja, sebagai artis, Lorde juga menyadari bagaimana tubuhnya telah jadi bahan konsumsi publik. Dalam “Current Affairs”, ia menyebut Pamela Anderson dan bocornya sex tape yang menjadikan tubuh perempuan sebagai barang tontonan kolektif. Lorde membandingkan situasi itu dengan hidupnya sebagai figur publik sejak remaja. Tapi berbeda dengan artis pop lain yang berusaha merebut kembali narasi melalui sensualitas, Virgin justru menolak semua bentuk kontrol visual: tak ada hook catchy, tak ada chorus gemerlap; hanya ruang-ruang kosong yang membiarkan pendengar meraba sendiri, termanifestasikan melalui desain produksi yang jarang-jarang, dan minim penggunaan live instrument.
Virgin bukan jawaban dari Lorde atas pertanyaan siapa dirinya sekarang. Ia adalah pengakuan bahwa kadang-kadang, tidak punya jawaban justru adalah posisi paling jujur. Album ini adalah ruang transisi yang tidak menuju apa-apa—dan justru di sanalah kekuatannya.
Lorde mungkin tidak pernah menyebut dirinya non-biner, tapi ia menyuarakan hal yang sama: keinginan untuk hidup di luar definisi, untuk membongkar struktur yang mengekang, dan untuk mengatakan bahwa kita bisa berubah—dan terus berubah—tanpa harus memberi penjelasan.
















