‘Man of the Year’ dari Lorde dan Sejarah Panjang Nyanyian Sumbang Melawan Patriarki

Lorde kembali dari peristirahatannya, mengusik banyak orang dengan lagu teranyar, ‘Man of The Year’. Di sana ia bicara bebas tentang melepaskan diri dari jeratan patriarki, dan himpitan menjadi perempuan. Ia bicara tentang eksplorasi tentang otonomi tubuh, ekspresi diri, dan ikatan gender yang ketat.
Glidin’ through on my bike, glidin’ through
Like new from my recent ego death
Lorde membuka lagu itu langsung dengan dua bait di atas. Bait yang diinterpretasikan Julianna Marie di Her Campus, sebagai upaya Lorde terbuka tentang pengalamannya berhenti menggunakan kontrasepsi hormonal. Cerita itu ia sampaikan dalam wawancara dengan Rolling Stone, Mei lalu.
“Aku merasa ketika berhenti minum pil kontrasepsi, aku seperti memutus semacam tali yang mengikat diriku pada feminitas yang teratur dan diatur (masyarakat),” jelas Lorde. “Kedengarannya memang gila, tapi aku merasa seperti tiba-tiba keluar dari peta feminitas. Dan aku benar-benar percaya bahwa hal itu membuka banyak hal dalam diriku,” katanya.
Potongan tali itu juga ditulisanya dalam ‘Man of the Year’.
Take my knife and I cut the cord
My babe can’t believe I’ve become someone else
Someone more like myself
Imaji tentang “cord” (tali) bisa ditafsirkan sebagai tali pusar saat kelahiran, tulis Marie. “Atau tali metaforis yang menghubungkan antara dua kutub gender—yang menurut Lorde harus diputus demi mencapai fluiditas sejati.”
Perjalanan mengeksplorasi gender ini juga kuat hadir dalam visualisasi di video musiknya. Lorde membebat payudaranya dengan duct‑tape abu-abu, menyentil sensor pada puting payudara perempuan di mana-mana: Dunia nyata, dan semua yang kita tonton di media.
“Man Of The Year” adalah single kedua dari album keempat Lorde yang berjudul Virgin, menyusul “What Was That”.
Pada ajang Met Gala 2025, seperti dikutip dari Genius, Lorde memanfaatkan penampilannya sebagai semacam easter egg, memberi isyarat rilisnya ‘Man of the Year’. “Sebuah persembahan dari tempat yang sangat dalam di dalam diriku. Lagu yang paling aku banggakan dari album Virgin,” kata Lorde dalam postingannya di Instagram, 19 Mei lalu.
Keesokannya, Lorde membagikan potongan 18 detik dari lagu itu di TikTok, disandingkan dengan video di tepi pantai bertuliskan, “AKU TIDAK MENYANGKA DIA AKAN MUNCUL.”
Sejak Madonna, Nyanyian Sumbang Itu Dirayakan Sekaligus Dikungkung
Lorde bukan yang pertama menentang cara dunia pop membentuk perempuan. Jauh sebelum ‘Man of the Year’, sudah ada perempuan-perempuan yang lebih dulu membongkar narasi tentang bagaimana seharusnya perempuan tampil di panggung. Mereka bukan cuma bernyanyi dan menghibur, tapi membentuk ulang figur perempuan di atas panggung: Mana yang boleh dirayakan, mana yang sebaiknya dilarang dipertontonkan.
Madonna, adalah salah satu pendobraknya. Ia mengubah panggung menjadi ruang politik. Angela McRobbie, akademisi dari University of London, pernah mengulas hal ini dalam bukunya, Feminism and Youth Culture: From ‘Jackie’ to ‘Just Seventeen’ (1991). Ia melihat Madonna sebagai sosok yang menjadikan tubuhnya medan perang atas norma sosial yang kaku.
Misalnya, dalam penampilan di MTV VMA 1984 membawakan ‘Like a Virgin’, Madonna muncul dari atas kue pernikahan setinggi 17 kaki. Setelah turun dari kue, ia melangkah ke atas panggung cuma bawa satu properti: veil pengantin yang langsung dia lepas dan dijadikan syal. Awalnya penampilan itu masih terkesan “nakal-nakal lucu” khas Madonna. Tapi di akhir lagu, semuanya berubah total. Dia berlutut di atas panggung, membiarkan kerudungnya jatuh di antara kakinya, lalu mulai bergerak dengan gestur sensual—tangannya ikut menyusup ke area selangkangan sambil mendesah—momen yang tak sengaja memperlihatkan pakaian dalamnya. Kamera buru-buru memotong adegan itu, tapi seluruh penonton sudah melihatnya. Madonna menjadikan fantasi seksual pengantin yang selama ini dikungkung dalam koridor tabu, tampil tepat di bawah sorot di televisi nasional.
Sampai sekarang, tak ada yang tahu apakah kejadian itu ia sengaja atau terjadi spontan. Madonna tak pernah mengaku. Dalam wawancaranya dengan Billboard kala itu, ia bilang insiden itu disebabkan kostum malfungsi. Salah satu sepatunya terlepas saat turun dari kue pengantin, sehingga ia harus turun ke lantai untuk mengenakannya kembali. “Saya menjatuhkan diri ke lantai dan mulai berguling-guling,” ujarnya seperti dikutip dari AOL. “Ketika saya meraih sepatu itu, gaun saya tersingkap dan pakaian dalam saya terlihat.”
Sejak itu, Madonna bukan lagi pop star biasa. Ia simbol perempuan pembangkang yang umur kariernya dipertanyakan. Tapi, ia tidak berhenti di sana. Tur Blond Ambition (1990) memperkuat pesan itu. Madonna tampil dengan cone bra ikonik rancangan Jean Paul Gaultier, lengkap dengan koreografi masturbasinya. Bukan cuma provokatif, tapi juga politis. Di tangan Madonna, pakaian dalam yang selama berabad-abad jadi alat kontrol tubuh perempuan berubah jadi simbol kuasa.
Baca Juga: Sejarah Korset: Antara Pengekangan dan Pembebasan Perempuan
Rentang beberapa dekade berikutnya, tema pembebasan perempuan makin populer di budaya pop kita. Perempuan pop star makin terbuka dan terang-terangan meneriaki patriarki lewat lirik-lirik mereka: Mempertanyakan, menuntut, sekaligus menyemangati perempuan lain merebut ruang.
Setelah Madonna, Beyoncé hadir sebagai megabintang generasi berikutnya. ‘Flawless’, ‘Run the World’, dan panggung-panggung megahnya jadi ruang deklarasi feminisme versi Beyoncé.
Dalam wawancara bersama VOGUE, Beyoncé menekankan pentingnya perempuan untuk menulis narasi hidup mereka sendiri dan bebas bicara. Lebih dari itu, Beyoncé membuka jalan bagi representasi perempuan kulit hitam—kelompok masyarakat yang paling rentan dan hak-haknya sering kali direpresi—lewat industri musik Amerika.
Dalam ‘Formation’, ia tak hanya merayakan identitasnya sebagai perempuan kulit hitam, tapi juga memberi tempat pada suara queer, seperti Messy Mya dan Big Freedia. Album ketujuhnya, Renaissance, bahkan dipersembahkan Beyoncé secara khusus untuk merayakan orang-orang queer, terutama transpuan kulit hitam yang jadi kelompok paling rentan di Amerika Serikat.
Pada 2019 lalu, ia diganjar Vanguard Award dari GLAAD, salah satu organisasi LGBTQ terbesar di sana karena kontribusi dan allyship-nya dalam perjuangan hak-hak orang queer.
Di tengah dominasi industri yang kerap mengkapitalisasi tubuh perempuan kulit hitam, Beyoncé hadir sebagai sosok yang mengklaim kembali tubuh dan narasinya. Ia lalu membagikan panggung dan mikrofon itu pada perempuan lain yang terpinggirkan.
Beyoncé bermain-main pada performa, sejarah, dan politik tubuh untuk memberikan ruang pada perempuan kulit hitam dan queer kulit hitam untuk dilihat, didengar, dan dirayakan. Bukan sebagai simbol semata, tapi sebagai subjek penuh kuasa. Bagi mereka, Beyoncé bukan hanya bintang, tapi sosok revolusioner.
Posfeminisme: Feminisme yang Dikemas Ulang Sesuai Logika Pasar Budaya Pop
Sayangnya, ekspresi dan karya Beyoncé bukan tanpa catatan. Di balik narasi women empowerment yang dibawa, ia tetap terikat pada konteks industri hiburan yang sarat aturan. Mulai dari gaya, koreografi, hingga visual yang dianggap “layak jual.”
Di sinilah letak kerumitannya: Karya yang katanya menyuarakan kesetaraan, tapi tetap harus tampil dalam bingkai estetika selera pasar. Wajar kalau kita mulai bertanya, ini kebebasan atau versi yang udah disaring supaya aman dijual?
Inilah yang disebut posfeminisme, ketika nilai-nilai feminis diadopsi, namun dalam bentuk yang sudah dipoles agar sesuai dengan logika pasar. Feminisme dikemas ulang menjadi sesuatu yang menarik, tidak terlalu mengusik, dan tetap kompatibel dengan industri.
Baca Juga: Ethan Hunt Tak Butuh Konseling: Kesehatan Mental yang Absen di ‘Mission: Impossible’
Bentuk nyata dari posfeminisme ini dijelaskan oleh Angela McRobbie dalam “Post-Feminism and Popular Culture” (2004) melalui konsep double entanglement—sebuah konsep yang menjelaskan dua hal yang tampak bertentangan, seperti emansipasi dan konservatisme, justru hadir bersamaan.
Di satu sisi, ada nilai-nilai emansipasi yang dibawa, tapi di sisi yang lain semuanya dikemas supaya enggak mengusik tatanan yang ada. Feminisme tetap hadir, tapi dalam bentuk yang “ramah industri.” Dia kasih mikrofon buat perempuan bersuara, tapi isi pesannya tetap harus sesuai tatanan yang tidak menganggu kelompok berkuasa.
Beyoncé, misalnya, membawa nuance kebebasan dan kemandirian dalam karya-karyanya. Namun, dibungkus dalam kemasan glamor, seksi, dan sangat bisa dikomodifikasi. Femininitas tetap ditonjolkan sebagai citra utama, tapi ironisnya, kemandirian itu sering kali diukur dari hal-hal yang masih sangat maskulin: Dominasi, daya beli, kebebasan tampil. Hal ini dijelaskan dalam analisis Nisa Akmala dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dalam penelitiannya yang berjudul “Konstruksi Citra Feminisme Beyonce dalam Lirik Lagu If I Were A Boy, Run the World, Flawless” (2017).
Di sana Akmala berargumen, karya-karya Beyoncé lewat postfeminisme bisa dibaca menampilkan citra perempuan yang kontradiktif: Mereka tampak kuat, tapi tetap emosional; glamor, tapi tetap terikat pada estetika pasar, dan dikonstruksikan sebagai individu yang telah “merdeka” secara seksual dan ekonomi—meski kebebasan itu seringkali bersifat ilusif.
Madonna dan Beyoncé tampak mengklaim tubuh mereka sendiri, tapi tubuh itu tetap harus memenuhi ekspektasi visual budaya pop. Dalam logika kapitalisme, kebebasan menjadi produk.
Jadi, kalau perempuan mau dianggap setara, dia harus ikut main di lapangan yang sama dan pakai aturan main yang sudah ditetapkan sejak awal.
Apa yang Ditantang Lorde?
‘Man of the Year’ mungkin sedikit berbeda dan bergerak maju dari feministas berdaya ala Beyoncé atau Madonna. Lorde menantang kotak-kotak gender biner. Dalam video musiknya, ia tidak hanya menyuarakan identitas yang fluid, tapi juga menggugat narasi kesuksesan yang masih terjebak maskulinitas.
Lorde melepas kaus putihnya, lalu membalut dadanya dengan lakban. Gestur ini bisa dibaca sebagai cara Lorde untuk melepaskan tubuhnya dari narasi yang telah dibentuk industri.
Sepanjang video, dia bergerak di ruang studio kosong yang lantainya penuh tanah, menciptakan lanskap visual yang mengingatkan pada karya seni konseptual The New York Earth Room milik Walter De Maria. Tanah jadi mediumnya untuk membongkar dan membentuk ulang identitasnya.
Dalam wawancaranya, Lorde bilang, inspirasinya datang ketika ia menghadiri pesta GQ Men of the Year. Mengenakan gaun hijau, ia merasa terasing dari tubuhnya sendiri. “Some days I’m a woman, some days I’m a man,” ujarnya dikutip dari GQ.
Meski karya Lorde terlihat sebagai antitesis dari glamorama pop culture, ia tetap beroperasi dalam lanskap yang sama: Label besar dan industri global. Jadi, penting untuk menyoroti bagaimana sistem tetap bekerja, bahkan dalam ekspresi yang tampak membebaskan. Terlebih karena program operasi gender yang biner: maskulin versus feminin, laki-laki versus laki-laki juga sudah ditantang Cher, penyanyi yang punya lagu nomor satu di puncak tangga lagu selama 7 dekade. Satu-satunya musisi, sekaligus perempuan yang punya rekor itu.
Ia terkenal dengan anekdotnya, “Mom, I am a rich man,” yang ia lempar di sebuah interview di TV pada 1995. Jawaban itu ia lemparkan saat sang ibu menyarankannya untuk menikahi pria kaya jika ingin hidup bahagia. Jawaban itu bikin dunia geger karena Cher merobohkan banyak sekat tentang batas menjadi perempuan dan laki-laki lewat kesuksesannya.
Persis yang coba dipertanyakan—kalau tak boleh disebut dirobohkan—Lorde lewat ‘Man of the Year’.
Dari Madonna Sampai Lorde: Ada yang Beda, tapi Bukan Sistemnya
Madonna, Beyoncé, dan Lorde masing-masing punya style sendiri untuk melawan. Namun, masalahnya tetap sama: Sistem yang mereka hadapi belum berubah. Ia hanya menyesuaikan diri dan sembunyi di balik ilusi kebebasan.
Beberapa kajian menunjukkan, meskipun representasi perempuan di media meningkat secara kuantitatif, struktur produksi tetap dikendalikan oleh patriarkal dan kepentingan kapitalistik.
Rosalind Gill dari University of London dalam “Postfeminist Media Culture: Elements of a Sensibility” (2007), misalnya, menyebut posfeminisme sebagai pergeseran dari objectification ke subjectification. Maksudnya, perempuan tampak berkuasa, tapi dalam batas-batas yang tetap dikendalikan oleh pandangan laki-laki dan kebutuhan pasar. Misalnya, perempuan boleh mengekspresikan seksualitasnya di panggung, asalkan tetap sesuai dengan standar kecantikan dan enggak mengganggu.
Namun, bukan cuma seksualitas aja yang dikendalikan. Identitas, ekspresi diri, sampai standar kesuksesan pun dibentuk oleh logika serupa. Dalam konteks ini, lagu ‘Man of the Year’ jadi pengingat kalau “keberhasilan” masih punya default: maskulin dan bisa dikapitalisasi. Sayangnya, selama standar itu enggak radically diubah, ceritanya akan begitu lagi, begitu lagi.
