December 5, 2025
Issues Politics & Society

‘All Eyes on Pati’: Rakyat Lawan Arogansi Penguasa

Ratusan ribu warga Pati turun ke jalan dan mendesak pemakzulan Bupati. Dari alun-alun kota hingga DPRD, rakyat menunjukkan siapa pemilik kuasa yang sesungguhnya.

  • August 18, 2025
  • 3 min read
  • 1051 Views
‘All Eyes on Pati’: Rakyat Lawan Arogansi Penguasa

Kekuasaan, ketika tak dikendalikan, bisa melahirkan kecongkakan yang berbahaya. Bagi Guru Besar Komunikasi Politik LSPR Institute of Communication and Business, Lely Arrianie, hal ini terlihat nyata dalam sikap Bupati Pati, Sudewo. Bukan kekuatan yang terpancar, melainkan wajah kekuasaan yang kehilangan arah.

“Sebuah kegilaan yang menutupi ketidakmampuan seorang pemimpin,” kata Lely kepada Magdalene (13/8).

Baca Juga: 6 Pelanggaran HAM Berat yang Dihilangkan dari Proyek Penulisan Ulang Sejarah Nasional

Ucapan seperti “Silakan kerahkan 50 ribu orang, saya tidak gentar” memperlihatkan arogansi yang tidak hanya mencederai etika kepemimpinan, tapi juga mengundang kemarahan publik. Dalam situasi seperti ini, kata Lely, jabatan bukan lagi alat pelayanan publik, tapi panggung untuk menegaskan dominasi elit.

Dan di sinilah Pati menjelma arena perlawanan. Lebih dari seratus ribu warga memadati alun-alun kota mulai 10 Agustus. Gas air mata menyusup ke sela napas, namun tak menyurutkan semangat warga yang bersatu dalam satu tuntutan: mendesak Bupati Pati Sudewo mundur dari jabatannya.

Spanduk putih bertuliskan “Pati Titik Awal Revolusi” terbentang di tengah gelombang massa. Disaksikan jutaan pasang mata lewat media, aksi ini menunjukkan bahwa kekuasaan sejati hanya milik rakyat.

Kemurkaan warga dipicu rencana kebijakan Sudewo yang akan menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) hingga 250 persen di tahun ini. Meski kebijakan tersebut akhirnya dibatalkan, api kemarahan telanjur menyala.

“Masyarakat sudah enggak butuh pemimpin yang arogan. Masyarakat ingin punya pemimpin yang bisa menyejahterakan warganya,” kata Ahmad Husein, Koordinator Aliansi Masyarakat Pati Bersatu, seperti dikutip Kompas (12/8).

Baca Juga: Proyek Revisi Sejarah Indonesia: Percuma Jika Masih Ditulis Penguasa

Ketika massa menjadi penyeimbang nalar kekuasaan

Lely menyebut perilaku Sudewo sebagai bentuk kegilaan dalam kekuasaan—sebuah konsep yang pernah diulas filsuf Michel Foucault. Namun, jika Foucault memaknai “kegilaan” sebagai label yang digunakan penguasa untuk menyingkirkan lawan, Lely membaliknya: dalam kasus Pati, justru elitlah yang menjadi wajah kegilaan itu.

Dan satu-satunya cara menghadapi kegilaan kekuasaan adalah dengan kegilaan tandingan: aksi kolektif rakyat yang mengguncang narasi dominan. Rakyat turun ke jalan bukan semata-mata karena pajak, tapi karena merasa dilukai martabatnya sebagai warga.

Demonstrasi di Pati menjadi penanda bahwa ketika penguasa kehilangan nalar, publik bisa mengambil alih rasionalitas politik. Massa tak hanya hadir untuk marah, tapi untuk memulihkan akal sehat kekuasaan.

Pada hari yang sama, DPRD Pati membentuk Panitia Khusus Hak Angket untuk memproses pemakzulan Bupati Sudewo. Aksi rakyat di jalan akhirnya mengguncang elit di dalam kantor dewan.

Peristiwa ini menegaskan bahwa rakyat bukan sekadar objek kebijakan, melainkan aktor utama demokrasi. Menurut Sebastian Hellmeier dan Michael Bernhard dari V-Dem Institute di Swedia, demokrasi yang sehat bergantung pada tiga mekanisme akuntabilitas: vertikal (pemilu), horizontal (antar lembaga), dan sosial-diagonal (pengawasan warga). Aksi di Pati adalah bukti nyata dari mekanisme terakhir. Rakyat tak tinggal diam ketika hak dan nalar mereka diinjak.

Baca Juga: 27 Tahun Reformasi, Sumarsih Masih Tegak Berdiri

Gelombang perlawanan juga terjadi sebelumnya di Kalimantan Barat. Pada 21 Juli, ratusan orang tergabung dalam Aliansi Kalbar Menggugat memenuhi gedung DPRD Kalbar, menolak penempatan transmigran baru. Tekanan massa tak sia-sia. Hanya berselang beberapa hari, Kementerian Transmigrasi menyatakan tak akan membuka penempatan baru, melainkan fokus pada revitalisasi kawasan transmigrasi lama.

Menurut Agung Baskoro dari lembaga konsultan politik Trias Politika, gelombang massa seperti di Pati dan Kalbar harus jadi alarm bagi para kepala daerah, bagaimana kekuatan massa bisa membatalkan kebijakan yang tidak berpihak. Dalam wawancaranya dengan Tempo, Agung mengatakan, bukan mustahil gerakan serupa akan meluas hingga ke level nasional jika suara rakyat terus diabaikan.

Dari alun-alun Pati hingga halaman DPRD Kalbar, satu pesan bergema: kekuasaan sejati tidak pernah berada di kursi pejabat, melainkan di tangan rakyat.

About Author

Safika Rahmawati

Safika adalah sosok yang suka melamun dan punya cita-cita hidup tenang di desa di kaki gunung. Tapi kalau harus tinggal di kota dulu, enggak masalah—asalkan bisa rebahan tanpa rasa bersalah sambil menikmati suara burung gereja di dalam kamar.