June 16, 2025
History Issues Opini Politics & Society

Proyek Revisi Sejarah Indonesia: Percuma Jika Masih Ditulis Penguasa

Selain dianggap terlalu sentralistik dan jadi alat melegitimasi kekuasaan, proyek ini berpotensi mengaburkan narasi gerakan perempuan.

  • May 28, 2025
  • 4 min read
  • 587 Views
Proyek Revisi Sejarah Indonesia: Percuma Jika Masih Ditulis Penguasa

Pemerintah tampaknya memang tak bisa dilepaskan dari kontroversi. Teranyar, proyek penulisan sejarah nasional Indonesia (SNI) versi baru sebagai sejarah resmi yang panen kritik. Proyek yang diinisiasi oleh Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) dan didukung oleh Kementerian Kebudayaan ini mendapat respons positif, terutama terkait pentingnya revisi atas buku Sejarah Nasional Indonesia untuk generasi muda.

Dengan menambahkan data terbaru dan memperluas cakupan berbagai peristiwa maupun tokoh sejarah, masyarakat berharap akan muncul sejarah nasional yang lebih inklusif, akurat, dan relevan.

Namun, reaksi negatif muncul tak lama kemudian.

Beberapa pihak meyakini proyek revisi sejarah nasional ini merupakan usaha yang sistematis dan terencana untuk mendukung rezim yang cenderung otoriter, karena hanya melibatkan kalangan akademisi atau sejarawan yang dekat dengan pusat kekuasaan.

Baca Juga: #(Re)formasi1998: Penobatan Soeharto Jadi Pahlawan Ancam Gerakan Perempuan 

Minim Representasi

Dalam kerangka konsepnya, proyek ini tidak memberikan cukup porsi bagi gerakan perempuan di zaman pergerakan. Selain itu, narasi sejarah dari daerah-daerah di luar Jawa juga belum terepresentasikan dengan baik. Belum lagi jika menyinggung tema-tema di luar politik dan ekonomi seperti misalnya olahraga.

Padahal, relasi suatu bangsa dengan masa lalu tidak bisa dilepaskan dari representasi yang ada saat ini. Artinya, sejarah nasional bangsa harus memberikan ruang yang memadai bagi representasi kelompok, kelas, entitas, atau komunitas tertentu di dalamnya agar bisa dianggap valid.

Diam Berarti Mengiyakan?

Menanggapi kontroversi tersebut, tidak banyak komentar resmi dari pihak MSI maupun sejarawan yang terlibat dalam proyek ini selain dari Menteri Kebudayaan dan editor utama proyek.

Hanya terdapat respons seorang sejarawan di laman media sosialnya yang mengungkapkan dilema sebagai seorang intelektual sekaligus abdi negara yang terlibat di dalam proyek ini. Ia beranggapan, dibutuhkan “keberanian ekstra sekaligus perhitungan matang untuk bersuara dari dalam, bukan di luar yang nyaris tidak akan diperhitungkan.”

Menurut penulis, respons tersebut justru semakin memperkuat anggapan bahwa mereka yang terlibat dalam proyek revisi sejarah nasional adalah para akademisi yang notabene merupakan aparat sipil negara yang terafiliasi pada perguruan tinggi negeri atau mereka yang dekat dengan penguasa.

Baca Juga: Sejarah Pelonco di Indonesia: Warisan Belanda?

Berkaca dari Masa Lalu

Tidak bisa dipungkiri bahwa penulisan sejarah nasional cenderung berkelindan dengan kepentingan penguasa dan kelompok pendukungnya.

Bahkan sejak awal munculnya, genre sejarah nasional dalam tren historiografi (studi tentang bagaimana sejarah ditulis, dikonstruksi, dan ditafsirkan) di Eropa maupun Amerika Serikat (AS) pada abad XIX juga tidak bisa dilepaskan dari upaya melegitimasi kepentingan ekspansi wilayah yang berjalan seiring dengan kolonialisme.

Dalam konteks proyek revisi atas sejarah nasional Indonesia ini, kita perlu melihat kembali perbandingan penulisan sejarah nasional Filipina di masa Marcos dan sejarah nasional Indonesia di masa Suharto.

Para sejarawan Filipina maupun Indonesia yang terlibat dalam penulisan sejarah nasional bangsanya, harus dilihat sebagai agen yang memiliki kepentingan masing-masing dan berkuasa atas apa yang dikerjakannya untuk mencapai kepentingan tersebut. Mereka bukanlah aktor yang pasif atau dapat dimanipulasi begitu saja.

Pada proyek SNI masa Suharto, terdapat sejarawan yang memilih untuk menarik diri dari proyek penulisan itu karena perbedaan pandangan khususnya terkait metodologi penulisan. Sejarawan tersebut, Sartono Kartodirdjo, yang memperkenalkan pendekatan multidimensional (berbagai sisi) dalam penulisan sejarah, terpinggirkan oleh pimpinan proyek SNI waktu itu yang memilih pendekatan naratif linier. Padahal pendekatan multidimensional memungkinkan munculnya banyak tokoh sejarah seperti petani dan aktor sejarah lainnya yang sering terpinggirkan.

Demikian pula yang terjadi pada periode sebelumnya, yaitu ketika upaya penulisan sejarah nasional dimulai tahun 1950an. Saat itu, panitia penulisan sejarah nasional yang berisi sejarawan terkemuka bahkan menggelar Seminar Sejarah Nasional.

Namun, periode tersebut tidak menghasilkan sejarah nasional resmi karena berbagai alasan, termasuk perdebatan metodologi seperti yang terjadi pada kasus SNI Orde Baru.

Baca Juga: #MenolakLupa: Sejarah Kelam September Hitam

Revisi untuk Siapa?

Historia magistra vitae, sejarah merupakan guru terbaik bagi kehidupan, begitu menurut Marcus Cicero, filsuf Yunani yang terkenal dengan kemampuan orasinya.

Berkaca dari penulisan SNI di masa lalu yang diwarnai kegagalan maupun kontroversi, maka proyek revisi sejarah Indonesia ini perlu ditinjau ulang, bahkan bila mungkin dihentikan.

Pelibatan lebih banyak sejarawan untuk membuat revisi menjadi lebih representatif juga bukan merupakan solusi yang tepat.

Sebab, persoalan mendasarnya bukan pada revisi, tapi pada pengembangan historiografi Indonesia. Alih-alih melanjutkan proyek besar untuk merevisi sejarah nasional, pemerintah perlu lebih mendorong berbagai inisiatif penulisan sejarah di tingkat lokal, semisal melalui program Dana Abadi Kebudayaan atau dana Indonesiana.

Dengan begitu, penulisan sejarah nasional akan lebih lengkap dan representatif karena berasal dari kumpulan berbagai sejarah lokal.

Adrian Perkasa, Peneliti Pascadoktoral, Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies.

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.



#waveforequality
About Author

Adrian Perkasa