Lifestyle

Kenapa Anak Muda Selalu Jadi Target Empuk Produsen Rokok?

Lemahnya regulasi iklan e-cigarette di platform Meta tetap jadikan generasi muda Indonesia sasaran empuk produsen rokok.

Avatar
  • July 1, 2022
  • 6 min read
  • 291 Views
Kenapa Anak Muda Selalu Jadi Target Empuk Produsen Rokok?

rokokKian banyak generasi muda mengakses media sosial – terutama platform bikinan Meta. Facebook dan Instagram, contohnya, digunakan oleh 86,6 persen dan 85,5 persen anak muda di Indonesia. Akibatnya, berbagai pihak tak luput meramaikan para “pasar” raksasa ini, dari konsumen hingga pedagang lapak – dan tak terkecuali produsen rokok.

Instagram, dengan pengguna global yang lebih dari separuhnya berusia di bawah 34 tahun, menjadi ladang yang menjanjikan bagi produsen rokok untuk menarik perokok baru, terutama via rokok elektrik (e-cigarette).

 

 

Pada 2021, organisasi kesehatan Vital Strategies dan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) memantau pemasaran rokok elektrik di media sosial selama 6 bulan melalui mesin TERM (Tobacco Enforcement and Reporting Movement). Mereka menemukan sebanyak 58 persen pemasaran rokok elektrik ini berlangsung di Instagram.

Ditambah regulasi iklan rokok yang masih lemah di platform besutan Meta, para pengguna muda menjadi sasaran empuk para produsen untuk promosi rokok elektrik mereka.

Baca juga: Alasan Rokok Hambat Kesetaraan Gender di Indonesia

Aturan Iklan Rokok di Platform Meta

Platform-platform Meta menerapkan aturan pengiklanan yang menyesuaikan dengan aturan global, terutama hukum di Amerika Serikat (AS), tempat perusahaan ini terdaftar.

Dalam standar komunitas Meta – termasuk Instagram, WhatsApp, dan Facebook – yang mengatur iklan yang diizinkan di platform tersebut, setidaknya ada tiga kebijakan terkait.

  • Secara umum untuk seluruh platform Meta, ada suatu kebijakan terkait aktivitas perdagangan.
  • Sebagai tambahan khusus di Instagram dan Facebook, ada juga kebijakan terkait iklan dan kebijakan terkait konten bermerek.

Dalam kebijakan perdagangan di Instagram dan Facebook, misalnya, poin ke-24 bagian larangan jual beli mengharamkan produk terkait tembakau. Dalam aturan pengiklanan, poin ke-4 pada segmen iklan terlarang juga menyebutkan bahwa pedagang tidak boleh mempromosikan rokok elektronik, vaporizer, atau produk lain yang menyerupai rokok.

Namun demikian, Meta tetap mengizinkan unggahan yang menghubungkan orang dengan minat yang terkait dengan tembakau, selama unggahan tersebut tidak mengarah ke benar-benar menjual tembakau atau produk terkait.

Di sini, “mengarah” merupakan kata yang punya interpretasi beragam. Banyak penjual menggunakan kelemahan ini dengan melakukan pemasaran halus atau “soft-selling”. Mereka kemudian bisa mengajak pengguna untuk mengunjungi situs lain di luar platform Meta, tempat mereka bisa menjual rokok elektrik.

Menurut YLKI dan Vital Strategies, banyak konten mencitrakan rokok elektrik sebagai pendukung gaya hidup yang glamor (8 persen) atau alat canggih yang harus dimiliki (60 persen), dan dapat digunakan anak muda untuk memeriahkan pesta dan hiburan (13 persen).

Dengan adanya celah di atas, produsen rokok tetap saja bisa mendulang perokok baru di kalangan anak muda.

Kebijakan Meta lain yang terkait adalah mengenai konten bermerek.

Meta mendefinisikan konten bermerek sebagai unggahan dari pengguna, kreator, atau influencer yang “menampilkan produk atau dipengaruhi mitra bisnis melalui suatu bayaran, seperti dalam bentuk uang atau hadiah”. Melalui aturan ini, kreator harus menandai produk pihak ketiga, merek, atau mitra bisnis yang menjadi sponsor.

Di dalam aturan ini, ada berbagai produk sponsor yang dilarang, termasuk produk terkait tembakau.

Namun, selama para kreator dan influencer tidak dibayar oleh para produsen rokok, mereka tetap leluasa mengunggah konten yang mempromosikan rokok elektronik – seperti melalui konten ulasan produk.

Bagi konten yang berisi promosi berbayar pun, akademisi mengamati bahwa perusahaan dan influencer seringkali menyamarkan kerja sama mereka dan tidak selalu menaati standar pengungkapan terkait konten bermerek.

Berkaca dari celah-celah di atas, YLKI menyiratkan platform besutan Mark Zuckerberg telah “gagal” mengatasi penyebarluasan rokok elektronik di Indonesia.

Baca juga: Ramping, Keren, dan Murah: Bagaimana Industri Rokok Sasar Perempuan dan Anak

Minimnya Aturan di Luar Platform Semakin Memperlebar Celah

Sebenarnya, celah aturan tersebut dapat ditutup dengan baik sehingga memperketat arus promosi rokok elektronik di platform Meta. Tapi, ini hanya bisa terjadi jika ada aturan-aturan pendukung lain di luar platform Meta.

Misalnya, harus ada aturan nasional yang mengatur klaim kesehatan yang menyesatkan dalam konten terkait rokok elektrik.

Bersama dengan organisasi Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), penulis mengamati bahwa banyak produsen dan influencer mengunggah konten soft-selling yang memuat klaim “informasi edukatif” mengenai “keuntungan” rokok elektrik di laman pages dan group.

Kemudian, harus ada juga aturan nasional yang secara sah dan terang benderang menyebutkan rokok elektrik sebagai barang yang mengandung zat kimia berbahaya.

Dengan adanya kejelasan aturan nasional terkait hal-hal tersebut, negara maupun Meta dapat dengan lebih tegas menjerat konten rokok elektrik sebagai klaim kesehatan yang menyesatkan (misinformasi), maupun sebagai produk yang berbahaya.

Poin ke-15 dalam aturan perdagangan Facebook, misalnya, melarang produk yang menyesatkan (misleading), sementara poin ke-9 melarang produk yang berbahaya (hazardous goods).

Sayangnya, iklim regulasi di Indonesia terkait rokok elektrik masih sangat lemah sehingga menyuburkan pertumbuhan industri tersebut. Indonesia adalah satu-satunya negara di Asia Tenggara yang belum meratifikasi Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (FCTC) dari Badan Kesehatan Dunia (WHO).

Artinya, untuk tembakau konvensional saja masih simpang-siur, apalagi rokok elektronik yang sering diklaim perusahaan sebagai produk “non-tembakau”.

Padahal jalur masuk banyak perokok baru adalah melalui paparan rokok elektronik. Faktanya, alih-alih sebagai “sarana berhenti merokok”, pengguna vape justru kerap menjadi perokok baru karena mereka kemudian akan mencoba merokok tembakau, dan malah menjadi pengguna ganda.

Satu-satunya regulasi di Indonesia yang mengatur rokok elektrik hanya pajak cukai e-liquid sebesar 57 persen. Di luar ini, tidak ada regulasi yang mengatur pemasaran rokok elektrik di internet, bahkan rokok konvensional itu sendiri.

Masih “mending” para platform menerapkan aturan pembatasan iklan rokok elektrik. Organisasi sosial Islam, Muhammadiyah, bahkan telah merilis fatwa yang mengharamkan penggunaan rokok elektrik. Namun, masih adanya kekosongan aturan nasional membuat penegakan aturan di media sosial menjadi gamang.

Meta hanya bisa menerapkan standar global yang mereka atur, dan tidak ada sandaran hukum pendukung di negara tertentu, termasuk Indonesia.

Dengan ketidakjelasan aturan nasional mengenai pembatasan iklan rokok elektrik di internet, dan juga lemahnya kemauan pemerintah untuk memprioritaskan kesehatan masyarakat, peredaran misinformasi dan disinformasi terkait rokok elektrik sebagai “alternatif yang lebih sehat” akan terus terjadi.

Di sini, kita tidak bisa hanya mengandalkan pengguna media sosial untuk sehari-hari melaporkan pelanggaran konten rokok elektrik di beranda masing-masing. Taktik ini kerap gagal mengingat banyaknya celah dalam standar komunitas Facebook dan Instagram.

Semakin lama absennya peraturan, akan semakin banyak iklan terselubung, dan semakin banyak pula anak muda terjerat “trik pemasaran rokok elektrik” di media sosial. Lalu, sampai kapan?The Conversation

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.

Opini yang dinyatakan di artikel tidak mewakili pandangan Magdalene.co dan adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis.


Avatar
About Author

Unggul Sagena

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *