‘Sharenting’ di Media Sosial: Hobi Orang Tua yang Ganggu Privasi Anak
Jika dilakukan berlebihan, ‘sharenting’ dapat berujung pada hilangnya identitas anak, pelecehan seksual, hingga merusak relasi dengan mereka.
Konten kelahiran bayi, masa seorang anak masuk tahap makanan pendamping ASI (MPASI), dan perayaan ulang tahun anak, pasti pernah kita jumpai di media sosial. Aktivitas yang dinamakan sharenting ini—akronim sharing dan parenting, jadi tren di media sosial bukan tanpa sebab.
Dalam penelitian “Elaborating Motive and Psychological Impact of Sharenting in Millenial Parents” (2020) oleh Eva Latipah dkk., selain ingin membagikan momen kebersamaan dan tumbuh kembang anak, orang tua memanfaatkan media sosial untuk mendapatkan dukungan dari sesama orang tua, misalnya diskusi topik parenting, berbagi pengalaman dan sumber, serta dukungan emosional dalam menghadapi stres, kecemasan, atau depresi.
Sementara bagi para influencer dengan ratusan ribu pengikut, sharenting juga dimanfaatkan untuk edukasi, tentang kehidupannya sebagai ibu baru maupun informasi tentang anak-anak secara umum.
Tentu orang tua memiliki hak dan kebebasan untuk berekspresi, dan membagikan konten tentang anak-anaknya di media sosial. Namun, antara privasi dan kehidupan di dunia maya yang sering kali tidak terbatas, membuat pilihan ini mampu mengancam privasi dan keselamatan anak. Terlebih informasi tersebut dibagikan berdasarkan perspektif orang tua, sehingga membuat posisi anak rentan.
Untuk mengatasinya, dalam “Parental Sharing on the Internet: Child Privacy in the Age of Social Media and the Pediatrician’s Role” (2017) Bahareh E. Keith dan Stacey Steinberg menyebutkan tujuh langkah yang dapat dilakukan orang tua untuk mengutamakan keselamatan anak di ruang digital, jika hendak mempublikasikan informasi pribadinya di media sosial.
Pertama, memahami kebijakan privasi platform yang akan digunakan. Kedua, memasang notifikasi yang mengingatkan jika nama anak muncul di mesin pencari. Ketiga, orang tua yang akan bercerita tentang kesulitan anaknya, sebaiknya dipertimbangkan untuk diunggah secara anonim. Keempat, berhati-hati sebelum mengunggah lokasi sebenarnya dan nama lengkap anak. Kelima, memberikan anak hak veto—jika mereka telah memahami, sebelum mengunggah konten secara daring. Keenam, hindari mengunggah foto anak-anak tanpa mengenakan busana. Ketujuh, pertimbangkan dampak dari konten yang dipublikasikan, bagi anak-anak dalam jangka panjang.
Meskipun langkah-langkah tersebut sudah diperhatikan, kelima dampak berikut perlu diperhatikan orang tua sebelum melakukan sharenting.
Baca Juga: Perlukah Pelajaran Agama Sejak Dini di Sekolah?
1. Pencurian Identitas Anak
Mengumumkan kebahagiaan atas kelahiran anak umumnya dipublikasikan secara lengkap lewat Instagram orang tua, maupun akun khusus yang dibuat atas nama anak. Informasi tersebut mencakup nama, tanggal dan jam lahir, berat badan, jenis kelamin, foto si bayi, beserta tag lokasi.
Tanpa disadari, publikasi tersebut berisiko bagi keselamatan anak. Dilansir Forbes, informasi tersebut dapat disimpan sampai seseorang berusia 18 tahun dan bisa membuka akun media sosial pribadinya.
Selain itu, tindakan yang dapat dilakukan berdasarkan informasi yang ditemukan online ini berisiko untuk keamanan finansial anak-anaknya.
Barclays, sebuah bank universal multinasional di Inggris, memperkirakan penipuan finansial pada 2030 akan menelan biaya 670 juta poundsterling, setara Rp12 triliun, dari penipuan online, dan penyebab utamanya adalah pencurian identitas.
Maka itu, orang tua memiliki tanggung jawab untuk mengontrol jenis informasi yang diunggah tentang anaknya sejak mereka di bawah umur, termasuk unggahan yang dianggap tidak memiliki konsekuensi dalam jangka panjang.
Baca Juga: Derita Anak-anak Kita: Data Kekerasan Minim, Perlindungan Nihil
2. Hilangnya Privasi
Selain berisiko untuk pencurian identitas, mempublikasikan konten terkait anak di media sosial secara tidak langsung membentuk identitas mereka yang akan menjadi bagian dirinya. Padahal, seharusnya hal ini menjadi hak dan pilihan anak, seiring perkembangannya sebagai remaja dan dewasa.
Kekhawatiran lainnya ialah terbentuknya algoritma dari data anak, yang dapat digunakan untuk memprediksi karakternya berdasarkan informasi yang beredar. Nantinya, data tersebut akan memengaruhi mereka seumur hidupnya, dan anak dapat menuntut orang tuanya atas konten yang dipublikasikan.
Kasus ini dialami oleh Carinthia pada 2016, seorang perempuan berusia 18 tahun asal Austria, yang menuntut orang tuanya karena mengunggah 500 foto tanpa persetujuannya, ke 700 teman Facebooknya.
Mengutip News Europe, ia meminta kompensasi finansial dan ingin foto-foto tersebut dihapus. Carinthia menilai foto-fotonya memalukan, dan orang tuanya tidak peduli jika foto-foto tersebut menampilkan dirinya telanjang atau duduk di toilet.
Oleh karena itu, orang tua berperan sebagai gatekeeper informasi pribadi anak-anaknya dan perlu menyeleksi informasi apa yang dipublikasikan di media sosial, sebagaimana dijelaskan oleh Muge Marasli dkk. menjelaskan dalam “Parents’ shares on social networking sites about their children: Sharenting” (2017).
Namun, menjaga privasi anak bukan hanya tugas orang tua, melainkan anggota keluarga dan teman dekat, yang perlu diperingatkan untuk tidak mempublikasikan foto atau informasi pribadi secara daring.
Baca Juga: Ajarkan Anak Sejak Dini untuk Tidak Berperilaku Seksis
3. Pelecehan Seksual Daring
Meningkatnya pelecehan seksual selama pandemi bukan hanya menyasar anak muda dan berbentuk penyebaran konten seksual atau balas dendam berupa konten pornografi.
Berdasarkan penelitian “Free to Be Online? Girls and Young Women’s Experiences of Online Harassment” (2020) oleh Plan International, sebanyak 14.000 responden anak perempuan dan perempuan muda di 31 negara mengalami penyerangan dan pelecehan seksual.
Mirisnya, anak-anak di bawah umur pun dapat menjadi korban dari konten yang diunggah orang tuanya. Misalnya pada 4 Oktober lalu, saat video seorang balita perempuan sedang tiduran, muncul di laman for your page (FYP) TikTok. Video tersebut diramaikan dengan komentar warganet yang melecehkan fisiknya, seperti beberapa contoh berikut ini.
“Astagfirullah dek auratnya, yuk ditutup di sini banyak anak-anak.”
“Nggak ketat nggak FYP ya dek.”
“Definisi masih kecil tapi udah gede. Nggak paham? Minta jelasin yang lain aja.”
Tindakan tersebut termasuk perundungan seksual, karena anak tersebut menjadi sasaran untuk dipermalukan. Jika dilihat dari komentarnya, tampaknya mereka melakukannya tanpa alasan dan kemungkinan berujung menyalahkan pengunggah konten, karena salah seorang warganet justru menyarankan agar video tersebut dihapus.
Tentu ini bukan seluruhnya kesalahan orang tua yang mengunggah konten tersebut. Namun, kesalahan juga ditimbulkan karena warganet tidak mampu mengontrol perilakunya. Peristiwa ini dapat merefleksikan pentingnya mempertimbangkan unggahan sebelum dipublikasikan, demi keamanan anak.
4. Rawan Perdagangan Anak
Faktanya, perdagangan anak dijadikan sebuah upaya mencari nafkah oleh segelintir orang yang memanfaatkan era media sosial. Anak-anak figur publik seperti Ruben Onsu, Syahnaz Sadiqah, Baim Wong, dan Ayu Ting Ting, telah menjadi korban yang fotonya diunggah oleh akun perdagangan bayi di Instagram.
Bukan hanya kalangan selebritas, para pelaku kejahatan itu juga melakukan aksinya terhadap bayi-bayi masyarakat umum, seperti yang terjadi di Surabaya pada 2018 lalu.
Melansir BBC Indonesia, foto-foto palsu digunakan untuk memancing ibu yang ingin menjual dan mengadopsi bayi. Sementara motifnya adalah membantu aib seseorang dan menolong anak yatim, dan berpura-pura menawarkan konsultasi pendampingan masalah keluarga.
Kasus eksploitasi anak ini dapat menjadi pertimbangan lain bagi orang tua, untuk mengurangi eksposur foto dan kehidupan anak di media sosial. Sebagai solusi lain, orang tua dapat mengatur profil media sosialnya menjadi privat, mengecilkan lingkup pertemanan di media sosial untuk orang-orang yang dikenal, dan menonaktifkan pengaturan yang memerlukan informasi pribadi tambahan.
5. Sulitnya Hubungan Orang Tua dan Anak
Ketika anak beranjak remaja, konten yang diunggah orang tua tanpa consent dapat mempersulit hubungannya dengan anak. Ini disebabkan konten tersebut dianggap mempermalukan sehingga mereka kesal dan frustrasi, karena kemungkinannya dapat diakses oleh teman-teman sebayanya dan menjadi bahan guyonan, bahkan rundungan, dan mengurangi harga diri mereka.
Menurut C. Mosher dkk. dalam penelitian “Parents’ and children’s preferences about parents sharing about children on social media” (2017), anak-anak memercayai orang tuanya tidak mempublikasikan informasi yang menampilkan citra negatif dalam diri anak, atau yang terlalu terbuka.
Sayangnya, dalam hal ini orang tua merasa punya hak sepenuhnya tanpa persetujuan anak, karena menilai tidak memerlukan pendapat mereka, terlebih jika anak masih terlalu muda dan dianggap tidak memiliki suara.
Setidaknya, orang tua memberikan kesempatan agar anak memilih foto yang sebaiknya diunggah, serta mendengarkan keinginan dan alasan mereka untuk menghapus foto tersebut.
Dalam “‘Take it down!’: Estonian parents’ and pre-teens’ opinions and experiences with sharenting’ (2019) oleh Merike Lipu dan Andra Siibak, dijelaskan adanya perbedaan sudut pandang antara pra remaja dan ibunya terkait sharenting, sehingga menyebabkan kaburnya batas privasi.
Privasi yang diinginkan anak tidak sesuai dengan cara orang tua menggunakan informasi mereka, sehingga menyebabkan ketidakstabilan relasi keduanya. Oleh karena itu, antara keduanya diperlukan kesepakatan terkait konten yang dipublikasikan dan orang tua perlu belajar memahami bahwa publikasinya merupakan jejak digital bagi sang anak.