December 19, 2025
Issues Opini

Anak Muda Marah: Soeharto Bukan Pahlawan, dan Kami Tidak Akan Diam

Gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto adalah bentuk pengkhianatan terhadap semangat reformasi. Anak muda tak akan diam.

  • November 15, 2025
  • 4 min read
  • 507 Views
Anak Muda Marah: Soeharto Bukan Pahlawan, dan Kami Tidak Akan Diam

Tanggal 10 November seharusnya menjadi hari untuk mengenang para pahlawan sejati, mereka yang melawan penindasan demi masa depan Indonesia. Tapi tahun ini, makna Hari Pahlawan dikaburkan. Presiden Prabowo Subianto justru menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto: figur sentral rezim Orde Baru yang selama lebih dari tiga dekade identik dengan otoritarianisme, pelanggaran hak asasi manusia, dan pemberangusan demokrasi.

Bagi generasi muda, terutama kami yang lahir pasca-reformasi, ini bukan sekadar keputusan simbolik. Ini pengkhianatan. Gelar itu mencederai sejarah perjuangan mahasiswa dan rakyat yang dengan nyawa dan keberanian menjatuhkan rezim yang membungkam kritik dan membatasi kebebasan. Kemarahan kami bukan karena trauma masa lalu, tetapi karena masa depan kami kini digadaikan lewat penghapusan ingatan kolektif yang disengaja.

Baca juga: Bukan Pahlawan Kami: Saat Negara Menulis Ulang Luka Sejarah

Sebagai Gen Z, saya tidak menyaksikan langsung kekuasaan Soeharto. Tapi justru dari jarak itulah saya belajar dengan lebih jernih. Tidak ada nostalgia atau bias personal. Yang ada adalah data dan kesaksian tentang sebuah rezim yang membungkam perbedaan dan mengatur segalanya dengan tangan besi.

Dari buku Saskia Wieringa, sejarawan feminis dan profesor studi gender asal Belanda, saya memahami bagaimana tubuh dan seksualitas perempuan dihancurkan secara sistematis di masa Orde Baru. Perempuan yang dituduh berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) diperkosa, disiksa, dan dilucuti hak-haknya sebagai manusia. Belum lagi kasus pelanggaran HAM lain yang tidak pernah mendapat pengakuan negara: Penembakan Misterius, Peristiwa Tanjung Priok dan Talangsari, kekerasan di Aceh, Papua, Timor Timur, serta Tragedi Trisakti, Semanggi, dan Mei 1998.

Buku sejarah, kesaksian korban, laporan HAM, dan tulisan para pakar telah menjadi guru paling jujur bagi generasi kami. Bahwa belum lahir pada masa Orde Baru bukan berarti kami lupa atau diam. Justru karena kami lahir setelahnya, kami tahu betapa pentingnya menjaga warisan reformasi.

Pada 4 November lalu, saya bersama ratusan tokoh dan aktivis membacakan deklarasi penolakan terhadap pemberian gelar pahlawan untuk Soeharto di Gedung Yayasan Lembaga Hukum Indonesia (YLBHI), Jakarta. Lebih dari 800 orang telah menandatangani surat permohonan penolakan, ditambah petisi daring yang diinisiasi oleh KontraS dan change.org. Tapi semua itu diabaikan. Pada 10 November 2025, Presiden Prabowo tetap mengesahkan gelar tersebut, menegaskan bahwa suara rakyat, khususnya anak muda, tak dianggap penting.

Baca juga: Dari Rosa ke Ling Ling: Ingatan Seorang Anak di Era Soeharto

Mengapa anak muda menolak Soeharto sebagai Pahlawan Nasional?

Selama 32 tahun kekuasaannya, Soeharto membangun budaya korupsi, kolusi, dan nepotisme. Kekayaan negara dikonsentrasikan pada kroni, sementara rakyat dibiarkan bertahan dalam kesulitan. Lembaga Transparency International bahkan mencatatnya sebagai pemimpin paling korup di dunia, dengan dugaan penggelapan sebesar US$15–35 miliar. Menjadikan Soeharto sebagai pahlawan adalah upaya memutihkan kejahatan korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Apa yang ingin pemerintah ajarkan? Bahwa kekuasaan bisa mencuci dosa masa lalu?

Orde Baru juga menciptakan iklim ketakutan. Partai-partai dikebiri, pers dibungkam, kampus dan seniman diawasi, mahasiswa ditekan. Semua ini yang melahirkan Reformasi 1998, titik balik perjuangan rakyat yang sudah muak dengan kekuasaan yang menormalisasi ketidakadilan. Lalu, apakah layak rezim yang dilawan demi reformasi justru diberi gelar kehormatan?

Pemberian gelar ini juga menyakiti para penyintas, aktivis, dan warga biasa yang pernah berada di garis depan perubahan. Lebih dari itu, tindakan Presiden Prabowo yang menganugerahkan gelar kepada mantan mertuanya menimbulkan konflik kepentingan yang serius. Anak muda Indonesia melihat dan mencatat semuanya sebagai lembaran hitam bagi kehidupan mereka.

Pada Prahara Agustus kemarin, seharusnya menjadi pengingat kepada Presiden bahwa gerakan perlawanan anak muda tidaklah bisa dianggap sepele. Saat ini telah banyak terjadi protes dan perlawanan anak muda terhadap kebijakan pemerintah di banyak negara. Nepal dan Madagaskar menjadi contoh dua negara yang protes dan perlawanan anak mudanya berhasil menggulingkan pemerintahan.

Baca juga: Tanpa Gelar Apapun, Marsinah Sudah Jadi Pahlawan Nasional di Hati Kita

Penobatan Soeharto sebagai pahlawan bukan akhir. Ini pemicu. Ia membangkitkan kembali semangat perlawanan generasi yang tumbuh dengan nilai-nilai demokrasi dan keadilan. Kami bukan suara yang bisa dibungkam. Kami adalah arsip hidup. Dan kami akan memastikan bahwa lembaran kelam Orde Baru tidak akan pernah ditulis ulang dengan tinta emas bernama “pahlawan.”

Presiden Prabowo masih punya pilihan: mendengarkan suara generasi penerus bangsa, atau dicatat sejarah sebagai pemimpin yang mengabaikan keadilan.

Firda Amalia Putri adalah aktivis HAM dan anggota Dewan Pembina Amnesty International Indonesia.

About Author

Firda Amalia Putri

Firda Amalia Putri is a Research Assistant at the Center for the Study of Islam and Society (PPIM), UIN Jakarta, and an Assistant Editor at the journal Studia Islamika.