Kronologi Penangkapan Mahasiswa Trisakti: “Ironi Peringatan 27 Tahun Reformasi”

Pikiran Indah Ariani kalut ketika mendengar anaknya ditangkap polisi saat aksi peringatan 27 tahun Reformasi, Rabu (21/5) lalu. Meski ia tahu anaknya sering turun ke jalan, ia tak pernah menyangka akan sampai ditangkap aparat kepolisian.
Kekhawatiran Indah semakin memuncak saat tahu anaknya dan 15 mahasiswa Trisakti lain yang ditangkap, dijadikan tersangka dan dikenakan berbagai pasal Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Di antaranya Pasal 160 tentang penghasutan, Pasal 170 tentang kekerasan bersama, Pasal 351 tentang penganiayaan, Pasal 212, Pasal 216, dan Pasal 218 tentang melawan petugas dan tidak mematuhi perintah pembubaran. Rentang hukuman dari pasal-pasal tersebut berkisar antara empat bulan sampai enam tahun penjara.
Mengutip Tirto, Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Ade Ary Syam Indradi menyatakan bahwa bentrokan antara aparat dan massa demonstrasi terjadi pada Rabu (21/5) sore di depan Balai Kota Jakarta.
“Sekitar pukul 16.38 WIB, ini massa aksi melakukan pendobrakan pintu keluar Balai Kota dan memaksa masuk ke dalam kantor Balai Kota. Padahal lokasi aksi unjuk rasa sudah disiapkan di tempat pintu masuk, tapi mereka memaksa, walaupun sudah dihadang dan dijaga oleh petugas, ada beberapa orang yang memaksa menerobos masuk,” jelas Ade Ary kepada para wartawan di Polda Metro Jaya, Kamis (22/5/2025).
Dalam proses pengamanan, polisi mengklaim tujuh anggotanya dipukul. Pihak kepolisian sempat meminta para mahasiswa terduga pelaku pemukulan untuk mengakui perbuatannya. Setelah itu, sebanyak 93 mahasiswa ditangkap dan dibawa ke Mapolda Metro Jaya.
“Selanjutnya, petugas yang melaksanakan pengamanan di sana, mengamankan beberapa orang peserta aksi, yang kemudian dibawa ke Polda Metro Jaya untuk dilakukan pendataan,” sebut Ade Ary, dikutip dari Tirto.
Melansir Kompas.com, pada Jumat (23/5), sebanyak 78 mahasiswa dipulangkan, sementara enam belas sisanya ditahan dan dijadikan tersangka.
Namun, Indah menyampaikan sisi lain dari kronologi yang disampaikan pihak kepolisian. Berdasarkan penuturannya, para mahasiswa awalnya hanya berniat menyampaikan aspirasi secara damai, sebagaimana warga sipil biasanya datang ke Balai Kota. Mereka meminta agar Gubernur Jakarta Pramono Anung mengajukan empat korban Tragedi Trisakti menjadi pahlawan nasional.
“Anak-anak nih sepertinya mengira kalau mereka datang ke Balai Kota tuh mereka bisa masuk aja langsung ke teras kayak bagaimana biasanya warga Jakarta bertandang, warga sipil datang berkeluh kesah sama gubernurnya. Di bayangan mereka tuh kayak gitu. Tapi karena mereka dalam massa yang cukup banyak, pintu gerbangnya ditutup,” kisah Indah, kepada Magdalene (27/5).
Indah mengungkapkan situasi berubah menjadi kacau saat beberapa mahasiswa melihat pintu keluar Balai Kota yang masih terbuka, lalu mencoba masuk lewat sana. Presiden Mahasiswa Trisakti dan koordinator lapangan sudah lebih dulu berada di dalam, tetapi tiba-tiba gerbang ditutup, menyebabkan kepanikan di antara massa yang masih berada di luar gerbang.
“Presiden mahasiswa dan koordinator lapangan itu sudah masuk duluan naik motor, lalu tiba-tiba pintu gerbang ditutup. Paniklah dua anak ini. Anak-anak yang di luar (gerbang) juga panik karena presiden mahasiswa mereka di dalam. Sementara si presiden mahasiswa mau membuka gerbang ditahan oleh petugas keamanan, anak-anak dari luar juga ingin buka pintu. Jadi memang tiba-tiba keos,” jelas Indah.
Indah menekankan tidak ada niat dari para mahasiswa untuk berbuat kericuhan. “Jadi memang tidak ada sama sekali maksud anak-anak untuk nyerbu, nyerang, seperti yang diberitakan sebelumnya. Jadi itu sama sekali tidak benar,” ucapnya membantah beberapa pemberitaan media yang menyudutkan mahasiswa Trisakti.
Ia sempat merasa tertekan setelah membaca berita di banyak media yang menurutnya tidak berimbang. Namun, di tengah berbagai tekanan, ia dan para ibu mahasiswa yang ditahan bersolidaritas saling menguatkan. Bentuk solidaritas itu seperti saling membawakan makanan untuk anak-anak yang ditahan.
“Kalau untuk yang buat makanan dan minuman itu tuh semua (orang tua). Kalau satu orang tua bawa buat anaknya, pasti sekalian bawain buat semua (mahasiswa yang ditahan),” imbuh Indah.
Solidaritas juga datang dari sesama mahasiswa dan pihak kampus. Berdasarkan penuturan Indah, banyak mahasiswa Trisakti yang datang setiap harinya untuk menjenguk teman-temannya yang ditahan. Pihak kampus juga bersedia memberikan dispensasi absensi kuliah bagi para mahasiswa yang sedang ditahan dan memberikan bantuan hukum lewat Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) Fakultas Hukum Universitas Trisakti.
Kini, setelah menunggu selama lima hari, Indah dan orang tua lainnya bisa bernapas lega. Lima belas dari enam belas mahasiswa yang ditahan telah dibebaskan dengan kewajiban melapor seminggu dua kali.
Namun, tindakan kepolisian menimbulkan pertanyaan, perlukah sedari awal mereka ditahan? Akankah penahanan itu menjadi preseden buruk bagi kehidupan demokrasi di Indonesia?
Penangkapan Demonstran Langkah yang Tepat atau Berlebihan?
Para mahasiswa Trisakti yang berdemonstrasi pada 21 Mei lalu membawa tuntutan menolak gelar pahlawan Soeharto, dan menuntut pemberian gelar pahlawan kepada empat mahasiswa Trisakti yang gugur pada Tragedi Trisakti. Penangkapan para mahasiswa, menurut Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid, merupakan ironi di tengah peringatan 27 tahun Reformasi.
“Itu ironi ya, di dalam peringatan hari Reformasi, hari di mana mahasiswa menancapkan tonggak Reformasi tentang kebebasan sipil baik itu berpendapat, berserikat, berekspresi termasuk demonstrasi, justru mereka mengalami penangkapan,” tegas Usman saat diwawancara Magdalene, Selasa (27/5).
Penangkapan terhadap demonstran menuai kritik dari Iftitah Sari atau Tita, seorang peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR). Ia mengkritik istilah ‘pengamanan’ yang digunakan aparat sebagai dalih penangkapan 93 mahasiswa Trisakti. Menurutnya, penggunaan istilah ‘pengamanan’ adalah cara aparat untuk menghindari ketentuan hukum acara pidana.
“Yang mana untuk menangkap orang itu harus ada standarnya: Dia diduga melakukan tindakan pidana dan ada syarat tertentu berdasarkan bukti yang cukup, dan lain-lain,” ujarnya kepada Magdalene, Rabu (28/5).
Padahal, tindakan penangkapan merenggut hak asasi seseorang, khususnya hak atas kemerdekaan. Oleh karena itu, Usman menegaskan, praktik penangkapan harus memenuhi prinsip-prinsip hak asasi manusia. Ia menjelaskan terdapat prinsip necessity, yang mana tindakan penangkapan harus benar-benar diperlukan.
“Misalnya kemarin ada pelanggaran hukum mahasiswa Trisakti karena dia masuk menggunakan motor ke area Balai Kota. Oh iya, itu pelanggaran aturan, itu pintu keluar kok dia menerobos masuk di pintu keluar, tanpa izin, dan seterusnya. Tapi perlu gak dia ditangkap? Rasanya tidak perlu lah, cukup diajak bicara,” jelas Usman.
Mengutip Amnesty International Indonesia, berdasarkan Prinsip Dasar Penggunaan Kekerasan dan Senjata oleh Aparat Keamanan PBB, seseorang dapat ditangkap jika terdapat bahaya yang serius dan mematikan, dan hanya dapat dilakukan hanya jika cara-cara yang kurang ekstrem tidak cukup untuk mencegah kematian atau luka serius.
Tita menambahkan, kebebasan berekspresi, termasuk melalui demonstrasi, harus dilindungi dan tidak boleh dibatasi. Penggunaan cara-cara represif seperti penangkapan, justru menciptakan iklim ketakutan.
“Sebetulnya kalau kita melihat dan kita mengamati bagaimana tren kebebasan berekspresi di Indonesia itu kan sekarang juga cenderung menurun, dan ini tuh nggak bisa dilepaskan juga dengan tren-tren penangkapan-penangkapan itu,” terangnya.
Potensi Berulangnya Kesewenang-Wenangan Aparat Jika RUU KUHAP Disahkan
Dalam buku Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Penyidikan dan Penuntutan), Yahya Harahap menjelaskan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah peraturan yang mengatur tata tertib proses penyelesaian perkara pidana, dari penyidikan hingga persidangan, dan memberikan dasar hukum yang menjamin perlindungan hak asasi tersangka serta terdakwa.
Pentingnya KUHAP terletak pada kemampuannya melekatkan integritas harkat dan martabat manusia dalam proses hukum, dan menjadi benteng terhadap praktik sewenang-wenang yang kerap terjadi dalam sistem peradilan pidana.
Saat ini, pemerintah tengah gencar membahas pembaruan KUHAP lewat Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP). Dalam Sidang Paripurna ke-13 DPR RI Masa Persidangan II Tahun Sidang 2024–2025, DPR secara resmi menetapkan RUU KUHAP sebagai RUU usul inisiatif legislatif. RUU ini juga telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas Tahun 2025 dan ditargetkan berlaku mulai 2026.
Namun, beberapa pasal dalam RUU KUHAP menuai kritik dari berbagai kalangan karena dinilai akan melemahkan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Salah satunya adalah perubahan ketentuan masa penangkapan dalam Pasal 90 ayat (2), yang mengatur penangkapan bisa dilakukan lebih dari satu hari dalam keadaan tertentu.
Menurut Tita, perubahan ini bermasalah. Dalam KUHAP yang berlaku saat ini, masa penangkapan dibatasi selama satu kali 24 jam. Setelah itu, aparat harus menentukan apakah seseorang ditahan atau dibebaskan, dengan alasan dan bukti yang cukup.
Namun, dalam draf RUU KUHAP, masa penangkapan dimungkinkan tidak terbatas. Ia menjelaskan bahwa berdasarkan standar internasional, dalam waktu maksimal 48 jam, seseorang yang ditangkap harus dihadapkan ke hakim untuk dievaluasi apakah dasar penangkapannya sah, serta apakah ada alasan objektif untuk dilakukan penahanan lebih lanjut.
Senada dengan Tita, Usman Hamid menekankan bahwa pasal-pasal bermasalah dalam RUU KUHAP berpotensi membuat praktik seperti yang dialami para mahasiswa Trisakti lazim terjadi.
“Bisa (terulang kembali) kalau dia (RUU KUHAP) memberikan kewenangan berlebihan pada polisi,” ujar Usman.
Korban Kesewenang-wenangan Aparat bisa Menggugat
Hukum acara pidana memiliki mekanisme praperadilan bagi seseorang yang dirugikan akibat tidak sahnya suatu penangkapan atau penahanan. Pasal 1 butir 10 KUHAP mendefinisikan praperadilan sebagai wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan, dan sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan.
Lewat praperadilan, seseorang bisa meminta ganti kerugian dan rehabilitasi kepada pengadilan atas kesewenang-wenangan yang diterimanya.
Salah satu kasus praperadilan yang diputus kabul adalah praperadilan kasus Cipulir. Menukil Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, dalam kasus ini, dua pengamen Cipulir Andro dan Nurdin menjadi korban salah tangkap dan dipenjara selama tujuh bulan. Hakim mengabulkan praperadilan yang mereka ajukan dan memerintahkan negara untuk membayar ganti rugi kepada Andro dan Nurdin masing-masing sebesar 36 juta rupiah.
Mengutip Hukum Online, permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan, serta permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi akibat penangkapan atau penahanan yang tidak sah, diajukan kepada ketua pengadilan negeri.
Namun, efektivitas praperadilan dalam memberikan keadilan masih jauh dari kata sempurna. Hal ini disampaikan oleh Tita. Ia menerangkan praperadilan hanya bisa diajukan oleh seseorang yang telah ditetapkan sebagai tersangka. Padahal, dalam banyak kasus, seperti penangkapan massal mahasiswa Trisakti, tidak semua korban penangkapan mendapatkan status hukum sebagai tersangka.
Akibatnya, mereka yang turut mengalami penangkapan sewenang-wenang tak memiliki akses untuk menggugat secara hukum. “Enggak ada (mekanisme) yang bisa dilakuin untuk dia (korban penangkapan) memulihkan tindakan yang dia alami. Karena itu tadi, forumnya (praperadilan) dia enggak eligible,” ucap Tita.
“Kita mesti pastikan pasal-pasal yang bermasalah itu masuk dalam catatan pemerintah di DIM,” kata Tita.
