Dear Pemerintah, Kami Remaja SMA juga Berhak Bersuara di Demo
Sebagai pelajar Sekolah Menengah Atas (SMA), saya sering mendengar orang-orang yang ‘lebih dewasa’ mengatakan generasi muda adalah harapan bangsa. Karena itu, kami harus belajar dengan rajin. Namun banyak teman seusia saya justru berpendapat pelajaran di sekolah tidak akan berguna di kemudian hari. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah: Seperti apa belajar itu seharusnya?
Di saat bersamaan, belakangan ini, demonstrasi menjadi kabar yang marak. Sekolah saya memberi instruksi agar pelajar tidak ikut berdemo dengan alasan keamanan dan ‘rentannya seorang remaja’. Mereka bilang, masa SMA bukanlah saatnya, dan suatu hari nanti kami akan belajar sendiri tentang demonstrasi di bangku perkuliahan.
Pernyataan itu menimbulkan pertanyaan besar: Jika pelajar dianggap kelompok rentan, bukankah seharusnya kami juga berhak mendapatkan edukasi tentang demonstrasi demi keamanan kami sendiri? Larangan seperti ini justru membuka celah bagi pelajar untuk melakukan demonstrasi secara ‘ilegal’.
Kalau substansi demonstrasi pelajar adalah menuntut hak, saya mendukung. Namun ketika lapangan berubah menjadi ruang penuh bahaya, ikut turun ke jalan menjadi risiko yang tidak perlu diambil. Meski begitu, saya tidak setuju jika orang dewasa meredam suara kami dengan dogma—seakan kami hanya harus fokus belajar dan mengabaikan panggilan hati. Keresahan pelajar nyata adanya. Masalah ini menunjukkan kegagalan negara dan masyarakat dalam menyediakan ruang aman untuk menyampaikan aspirasi.
Banyak pelajar merasa pelajaran sekolah tidak berguna, kecuali hanya untuk dihapal demi mendapatkan nilai bagus. Pendidikan Kewarganegaraan, misalnya, sering hanya berupa jawaban soal ‘penerapan nilai-nilai Pancasila’ atau ‘undang-undang dasar’. Kami tidak diajarkan bagaimana memahami makna hak dan kewajiban secara kritis. Bahkan, berani mengkritisi aturan yang tidak relevan sering kali membuat kami dicap pembangkang.
Label ‘belum cukup dewasa’ lebih terasa sebagai diskriminasi daripada perlindungan. Rasanya, jika kami turun ke jalan atau sekadar menyampaikan aspirasi, kami akan langsung dipersepsikan sebagai kriminal dan masa depan dianggap tidak pasti. Padahal, jika alasannya ruang tidak aman, seharusnya kita bersama-sama memikirkan cara menciptakan ruang aman, bukan menuduh pelajar sebagai biang kerok. Bukankah biang kerok sebenarnya adalah penyebab keresahan masyarakat?
Baca Juga: Kejarlah Demonstran Pelajar, Kutangkap Polisi
Ruang Aman dan Aspirasi Remaja
Meski banyak dari kami belum memiliki hak pilih, kami tetap bagian dari masyarakat. Wajar jika kami juga merasakan keresahan yang sama. Pendidikan yang dijalani seharusnya menjadi sarana untuk memahami hak dan kewajiban, bukan hanya rutinitas menghapal.
Jika materi yang diajarkan terasa tidak relevan dengan kehidupan sehari-hari, apakah wajar jika pelajar memilih menyuarakan ketidakpuasan? Tidak bolehkah pelajar menuntut hak untuk mendapatkan pendidikan yang lebih bermakna dan dapat diaplikasikan? Tidak bolehkah pelajar menuntut hak untuk menyampaikan aspirasi secara aman tanpa harus takut dianggap melanggar norma atau hukum?
Sebagai perempuan remaja, risiko yang saya hadapi bahkan lebih besar. Berada di kerumunan massa, meskipun sekadar ikut berdemo atau menyuarakan pendapat, dapat menimbulkan kekhawatiran akan pelecehan seksual atau kekerasan dari aparat yang seharusnya melindungi masyarakat. Rasa takut ini bukan sekadar imajinasi. Pengalaman nyata di lapangan menunjukkan bahwa perempuan muda sering menjadi target pelecehan verbal maupun fisik.
Jika bungkam dianggap solusi, masalah tidak akan pernah selesai. Sebaliknya, membungkam aspirasi hanya menimbulkan penumpukan ketidakpuasan dan perasaan tidak berdaya. Kita hanya akan menjadi bangsa yang dipenuhi orang-orang saling membenci, tetapi tidak pernah berani menyebut penyebabnya secara terbuka.
Ruang aman untuk menyampaikan pendapat bagi remaja dan perempuan masih sangat terbatas. Di sekolah, diskusi yang seharusnya menjadi tempat untuk belajar berpikir kritis, sering kali berubah menjadi ruang penuh penilaian dan penghakiman. Banyak pelajar merasa suaranya kurang dihargai, bahkan kadang diabaikan karena dianggap terlalu muda atau terlalu emosional. Padahal, penelitian menunjukkan bahwa tidak ada korelasi antara kemampuan berlogika dan jenis kelamin.
Dengan kata lain, penilaian terhadap pendapat seseorang seharusnya didasarkan pada isi dan kualitas argumen, bukan identitas atau usia pengemukanya. Mengabaikan aspirasi hanya karena siapa yang berbicara adalah cacat logika: Argumen harus dinilai dari substansinya, bukan subjeknya.
Selain itu, ketidaktersediaan ruang aman membuat banyak pelajar, terutama perempuan, menahan diri dari menyuarakan pendapat. Hal ini berdampak pada pembelajaran sosial: Kami kehilangan kesempatan untuk belajar mengekspresikan diri, berdialog, dan bernegosiasi secara sehat. Diskusi yang inklusif dan aman bukan hanya memperkaya wacana, tetapi juga menumbuhkan keberanian, empati, dan kesadaran kritis.
Ruang aman memungkinkan remaja berkembang menjadi individu yang percaya diri, mampu berpikir kritis, dan siap mengambil peran dalam proses sosial dan politik di masa depan.
Artinya membangun ruang aman bukan sekadar memberi kebebasan berbicara, tetapi juga memberikan pendidikan praktis tentang bagaimana menyampaikan aspirasi secara efektif, mendengarkan perspektif lain, dan menghadapi perbedaan pendapat tanpa kekerasan. Ruang seperti ini menjadi fondasi penting bagi pelajar untuk tumbuh sebagai warga negara yang aktif, sadar akan hak-haknya, dan mampu berpartisipasi dalam demokrasi secara bertanggung jawab.
Baca Juga: Demonstrasi, Kecemasan Orang Tua, dan Pelajaran untuk Melepaskan
Diam Bukan Berarti Enggak Ada Suara
Di balik kerentanan, ada keberanian yang tumbuh. Kami belajar menyampaikan keresahan meski risiko dianggap vokal, keras, atau tidak sopan selalu mengintai. Label-label itu membatasi, membuat banyak pelajar, terutama perempuan, memilih diam agar diterima.
Diamnya pelajar tidak berarti tidak punya gagasan. Justru di balik diam itu ada ide segar, kritik tajam, dan keinginan untuk ikut menentukan arah perubahan. Namun tanpa ruang inklusif, semua itu hanya berputar di kepala, tidak pernah sampai ke publik.
Budaya diskusi yang setara sangat penting. Diskusi tidak hanya soal siapa paling pintar berargumen, tetapi bagaimana semua suara bisa hadir tanpa takut diremehkan. Bagi pelajar, perempuan, minoritas, dan kelompok rentan, ruang aman adalah jalan menuju keberdayaan. Ini memungkinkan kami tumbuh menjadi individu percaya diri, mampu memimpin, dan berani menuntut hak. Masa depan bangsa dipertaruhkan melalui generasi ini.
Baca Juga: 3 Pelajaran dari Aksi Kamisan dalam Membangun Gerakan Sosial
Sudah saatnya berhenti melihat pelajar sebagai pengikut yang baik. Kami ingin berbicara, menantang, dan mendefinisikan ulang masa depan. Memberi ruang aman bukan kebaikan hati, tetapi kewajiban sosial—langkah kecil menuju masyarakat lebih adil dan setara.
Freya Kalyca Handayono menulis tentang isu sosial dan struktural dengan pendekatan kritis dan reflektif. Aktif mengembangkan gagasan melalui esai dan opini publik.
















