Screen Raves

Analisis Kriminolog: Pemaknaan Ulang Korban dalam 27 Steps of May

Lewat analisis viktimologi, penggambaran korban dalam suatu visual dikonstruksi, dipahami, dan ditanggapi.

Avatar
  • April 21, 2022
  • 5 min read
  • 1608 Views
Analisis Kriminolog: Pemaknaan Ulang Korban dalam 27 Steps of May

Pada Oktober 2019, seorang ibu melaporkan kasus dugaan perkosaan yang dialami tiga anaknya ke Pusat PelayananTerpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Luwu Timur dan Polres Luwu Timur, Sulawesi Selatan. Pelaku diduga adalah ayah kandung dari ketiga anak tersebut. Pemberitaan Project Multatuli mengenai kasus kekerasan seksual di Luwu Timur memberikan gambaran bahwa sang ibu merasa marah, sedih, dan sakit yang luar biasa mengetahui anaknya mengalami perkosaan.

Tak hanya itu, orang tua dari penyintas perkosaan yang dilakukan Herry Wirawan selaku guru pesantren di Bandung, Jawa Barat juga merasa hancur, sakit, kecewa, dan terluka mengetahui anaknya mengalami kejadian menyakitkan yang menyisakan trauma. Dua kasus tersebut setidaknya menggambarkan bahwa dalam kasus kekerasan seksual, tidak hanya penyintas yang merasakan sakit dan mengalami kerugian, tapi keluarga atau orang terdekat penyintas juga merasakan hal itu.

 

 

Lebih lanjut, penjelasan mengenai sakitnya orang terdekat penyintas kekerasan seksual direpresentasikan dalam film berjudul 27 Steps of May. Film yang digarap Ravi Bharwani, Rayya Makarim, dan Wilza Lubis tersebut menampilkan tokoh May yang diperkosa oleh sekelompok orang tidak dikenal. Selain itu, ada juga tokoh Bapak yang merupakan orang tua tunggal May. Berkaitan dengan film, Nicole Rafter (2017) menjelaskan dalam tulisan Crime Films and Visual Criminology bahwa pembentukan opini mengenai suatu visual khususnya film tidak bisa dilepaskan dari bagaimana budaya memengaruhi seseorang, sehingga reaksi dan opini setiap orang terhadap film akan berbeda.

Dalam hal ini, ketertarikan saya pada film 27 Steps of May tidak bisa dilepaskan dari bagaimana selama ini latar belakang dan budaya membentuk saya. Kesan mendalam dengan dominasi rasa marah, sakit, dan takut saat menonton film 27 Steps of May menjadi pondasi dasar untuk saya bisa melihat bagaimana korban direpresentasikan dalam film tersebut.

Baca juga: Film ’27 Steps of May’ Ingin Bantu Penyintas Kembali Melangkah

Korban dalam Film 27 Steps of May

Untuk menjelaskan visualisasi mengenai korban, kriminolog Sandra Walklate (2017) menulis sebuah artikel berjudul Mediated Suffering yang terbit dalam buku Routledge International Handbook of Visual Criminology. Walklate mengenalkan konsep yang berangkat dari pemikiran  viktimologi yaitu pain (rasa sakit), horror (kengerian), dan resilience (ketahanan). Dengan menggunakan ketiga konsep tersebut, maka kita bisa melihat bagaimana penggambaran korban dalam suatu visual dikonstruksi, dipahami, dan ditanggapi.

Pada dasarnya, tokoh May dalam film 27 Steps of May dapat diidentifikasi sebagai korban primer yaitu orang yang mengalami kejahatan dan dampaknya secara langsung. Kejahatan yang dialami tokoh May secara spesifik adalah gang rape atau perkosaan yang dilakukan oleh sekelompok orang dalam satu waktu. Jika diperhatikan, selain May ada tokoh lain yang juga merupakan korban yaitu Bapak.

Tokoh Bapak merupakan korban sekunder atau indirect victim yang didefinisikan Andrew Karmen (2010) sebagai orang terdekat korban primer seperti keluarga, sahabat, pasangan, atau orang terdekat lainnya yang tidak secara langsung mengalami kejahatan, tetapi merasa terbebani dan tersakiti atas kejahatan yang dialami korban primer.

Setelah mengetahui bahwa May mengalami kejadian buruk, muncul masalah dalam diri Bapak seperti kesulitan mengontrol emosi, memiliki rasa permusuhan, dan kesulitan memisahkan kehidupan personal dengan profesional.

Baca juga:  Rayya Makarim dan Tema Kekerasan Seksual dalam Film Indonesia

Sumber: IMDB

 

Jika melihat visual di atas, sekilas tidak ada yang salah. Hanya sebuah tangkapan layar dari salah satu adegan film 27 Steps of May yang menampilkan May dan Bapak sedang membuat boneka. Namun, jika dilihat lebih saksama, posisi Bapak berada di luar kamar May. Dalam hal ini, terdapat jarak yang memisahkan May dan Bapak untuk melakukan aktivitas bersama. Ini berkaitan dengan salah satu dampak perkosaan yang dialami May yaitu mengalami kerugian secara relasional yang ditunjukkan dengan membatasi diri untuk tidak berkontak fisik dan berkomunikasi secara verbal dengan orang lain. Melihat dampak yang dialami May, Bapak memilih untuk menghargai batasan May, sehingga ia menjaga jarak dan tidak berkomunikasi verbal dengan May. Hal ini memperlihatkan adanya pain (rasa sakit) yang dialami May maupun Bapak di mana mereka perlu menanggung beban dalam keheningan.

Di salah satu adegan, ada visual yang menampilkan Bapak sedang berada di arena tarung: memperlihatkan horror (kengerian). Muka babak belur dan darah mengucur menjadi gambaran bagaimana Bapak meluapkan emosinya dengan bertarung. Sebelum melakukan tarung, Bapak pernah menjadi petinju profesional.

Sumber: IMDB

 

Namun, karena performa yang buruk di mana Bapak tidak bisa memisahkan kehidupan personal dengan profesional, hal itu membuat Bapak dikeluarkan dari tempat tinju. Dalam hal ini, dapat diketahui bahwa tempat tinju dan arena tarung bukan benar-benar menjadi tempat Bapak mencari keuntungan secara finansial, tetapi lebih kepada tempat di mana ia bisa meluapkan emosinya.

Dalam sebuah adegan lain, digambarkan May berteriak, menangis, dan melempar barang yang ada di sekitarnya. Mendengar May mengamuk, Bapak kemudian mendatangi kamar May dan mencoba menenangkan May.

Sumber: IMDB

 

Peristiwa ini terjadi setelah tokoh pesulap yang berada di balik lubang dinding kamar May tiba-tiba mencium pipi May dan membuat May teringat kembali peristiwa perkosaan yang menimpanya. Visual tersebut menggambarkan adanya pain (rasa sakit) di mana May dapat dengan mudah teringat kembali peristiwa buruk yang pernah dialami.

Baca juga: Ramai-ramai Tolak Vonis Mati Pemerkosa Herry Wirawan

Di samping itu, pain (rasa sakit) juga dialami Bapak yang melihat anaknya bereaksi secara agresif, tetapi tidak banyak yang bisa ia lakukan untuk menenangkan. Selain pain (rasa sakit), visual tersebut juga menggambarkan horror (kengerian) yang ditunjukkan dari bagaimana May mengekspresikan emosi kemarahannya yang sangat berbeda dari biasanya. Visual itu juga sekaligus menunjukkan resilience (ketahanan) yang dibuktikan dengan kemampuan May selama bertahun-tahun hidup dalam trauma dan kemampuan Bapak menghargai setiap proses yang May jalani.

Dari film 27 Steps of May, dapat diketahui bahwa penggunaan tiga konsep dari pemikiran viktimologi memberikan pemahaman yang lebih jernih tentang bagaimana penderitaan korban diproduksi, direpresentasikan, dan diungkapkan realitasnya.

Selain itu, film 27 Steps of May juga menegaskan kepada kita bahwa dalam kasus kekerasan seksual, bukan hanya mereka yang mengalami kekerasan seksual secara langsung yang mendapat kerugian, tapi juga orang terdekat penyintas. Tokoh Bapak menjadi gambaran korban sekunder yang ada di dunia nyata di mana mereka selama bertahun-tahun juga merasakan sakit akibat perkosaan yang dialami May.

 

Opini yang dinyatakan di artikel tidak mewakili pandangan Magdalene.co dan adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis.



#waveforequality


Avatar
About Author

Ramadhana Afida Rachman

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *