Prabowo Klaim Pengangguran Turun, tapi PHK Masih Marak
Presiden Prabowo Subianto menyoroti capaian baru Indonesia dalam menekan angka pengangguran. Ia menyebut, tingkat pengangguran kini berada di titik terendah sejak krisis moneter 1998. Pernyataan ini ia sampaikan dalam Pidato Kenegaraan di Ruang Rapat Paripurna MPR-DPR RI pada Jumat (15/8).
“Alhamdulillah, hari ini tingkat pengangguran nasional turun ke level terendah sejak krisis 1998,” ujar Prabowo.
Dikutip dari CNN Indonesia, Prabowo: Pengangguran Turun, Terendah Sejak Krisis 98, data dari Badan Pusat Statistik (BPS) memperlihatkan bahwa tingkat pengangguran terbuka (TPT) per Februari 2025 mencapai 4,76 persen. Angka ini tercatat sebagai yang terendah dalam lebih dari dua dekade terakhir.
Penurunan pengangguran juga sejalan dengan bertambahnya lapangan kerja. Setidaknya ada 3,59 juta orang yang terserap ke dunia kerja. Dari jumlah itu, pekerja penuh naik dari 65,6 persen menjadi 66,2 persen. Sementara itu, setengah pengangguran turun dari 8,5 persen menjadi 8,0 persen, dan pekerja paruh waktu sedikit menurun dari 25,9 persen menjadi 25,8 persen.
Peningkatan kesempatan kerja terjadi di hampir semua sektor ekonomi. Sektor perdagangan menjadi yang paling besar menyerap tenaga kerja, dengan 980 ribu orang. Disusul sektor pertanian yang membuka peluang bagi 890 ribu orang, serta sektor industri pengolahan dengan 720 ribu pekerja baru.
Khusus di industri pengolahan, beberapa subsektor jadi penyerap tenaga kerja terbanyak. Industri alas kaki mencatatkan 172 ribu pekerja, industri makanan kecil 137 ribu orang, dan industri komponen sepeda motor sebanyak 117 ribu orang.
Capaian ini tentu terdengar menggembirakan, apalagi jika dilihat dari angka yang dicatat BPS. Namun, di balik data yang menunjukkan tren positif tersebut, muncul pertanyaan: apakah penurunan angka pengangguran benar-benar mencerminkan kondisi kesejahteraan masyarakat? Di sinilah penting melihat lebih dalam soal cara penghitungan, keterbatasan indikator, dan realita di lapangan.
Baca Juga: 6 Dampak Efisiensi Anggaran Prabowo: PHK Massal hingga Riset yang Mandek
Penyebab Turunnya Angka Pengangguran dan Keterbatasan Indikator
Dalam Sidang Tahunan MPR serta Sidang Bersama DPR/DPD pada 15 Agustus 2025, Presiden Prabowo Subianto menyampaikan bahwa angka pengangguran Indonesia berhasil turun. Pernyataan ini merujuk pada data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) yang dirilis BPS enam bulan sebelumnya.
Dikutip dari BBC, berdasarkan data BPS per Februari 2025, tingkat pengangguran terbuka (TPT) tercatat 4,76 persen, turun tipis 0,06 persen dari periode sama tahun lalu. Angka ini disebut terendah sejak krisis 1998, di mana saat itu pengangguran berada di level 5,46 persen.
Namun, klaim Prabowo ini menuai kritik dari para pengamat. Mereka menilai, angka TPT tidak otomatis mencerminkan realita kesejahteraan masyarakat di lapangan.
Menurut pengamat ketenagakerjaan BRIN, El Bram Apriyanto, definisi “bekerja minimal satu jam seminggu” memang sesuai standar ILO sejak 1982. Tapi, definisi yang sudah berusia lebih dari 40 tahun itu dinilai terlalu sempit jika dijadikan tolok ukur kesejahteraan masyarakat.
Bram menegaskan, untuk memahami kondisi ketenagakerjaan sebenarnya, pemerintah sebaiknya melihat indikator lain. Misalnya, tingkat setengah pengangguran (underemployment), jumlah pekerja informal, median upah dibanding UMR, kontrak kerja, kepesertaan jaminan sosial, hingga kualitas hidup pekerja.
“Angka TPT bisa turun, tapi itu tidak serta-merta berarti rakyat lebih sejahtera. Indikator lain juga harus dilihat,” jelas Bram.
Nada serupa disampaikan Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif Celios. Menurutnya, data pengangguran seharusnya dikonfrontir dengan kondisi nyata, misalnya mayoritas pekerja Indonesia masih berada di sektor informal, bergaji rendah, tanpa perlindungan sosial, tapi bekerja dengan jam panjang. “Klaim pengangguran terendah sejak 1998 itu patut diragukan,” kata Bhima.
Dari sisi teknis, pengamat ketenagakerjaan UGM, Qisha Quarina, menjelaskan bahwa penurunan persentase TPT lebih banyak dipengaruhi oleh rumus perhitungan. TPT dihitung dengan membagi jumlah pengangguran dengan total angkatan kerja. Karena jumlah angkatan kerja (penyebut rumus) naik dibanding 2024, hasil akhirnya otomatis mengecil.
Padahal, jumlah absolut pengangguran justru meningkat. Per Februari 2025, tercatat ada 7,27 juta pengangguran, naik dari 7,19 juta pada periode yang sama tahun sebelumnya. Bahkan, angka pengangguran terendah sejak krisis 1998 justru tercatat pada Februari 2019, yaitu 6,82 juta orang.
“Jadi jangan melihat dari satu sisi saja. Ketenagakerjaan itu kompleks,” tegas Qisha.
Dikutip dari Detik, di sisi lain, Menteri Tenaga Kerja Yassierli memilih tidak berpolemik soal data pengangguran. Menurutnya, data itu sepenuhnya kewenangan BPS. Meski begitu, ia mengakui pemerintah menyadari keluhan masyarakat soal sulitnya mendapat pekerjaan.
“Itu jadi perhatian kami,” kata Yassierli. Ia menambahkan, pemerintah berupaya membuka lapangan kerja lewat berbagai program, seperti Koperasi Merah Putih dan Program Magang ke Luar Negeri.
Meski pemerintah menekankan bahwa angka pengangguran menurun, realita di lapangan justru memperlihatkan sisi yang berbeda. Masih banyak pekerja yang harus menghadapi risiko kehilangan pekerjaan akibat gelombang PHK di berbagai daerah. Fenomena ini menunjukkan bahwa angka statistik tidak selalu sejalan dengan pengalaman sehari-hari para pekerja, terutama mereka yang berada di sektor rentan.
Baca Juga: Maaf, Usia 30 Dilarang Kerja: Ageisme yang Masih Hantui ‘Job Seeker’
Gelombang PHK di Tengah Klaim Penurunan Pengangguran
Meski angka pengangguran nasional disebut menurun, data Kementerian Ketenagakerjaan menunjukkan masih banyak pekerja yang terkena gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) sepanjang 2025. Dikutip dari Tempo, Prabowo Sebut Tingkat Pengangguran Turun di Tengah Maraknya PHK, berdasarkan situs resmi Kemenaker, pada Januari tercatat 9.497 tenaga kerja terkena PHK, dengan Banten sebagai penyumbang terbesar yakni 26,79 persen dari total kasus.
Tren ini berlanjut pada Februari, di mana korban PHK melonjak hingga 17.796 orang. Jawa Tengah menjadi daerah dengan jumlah tertinggi, menyumbang 45,86 persen dari total kasus. Pada Maret, angka PHK turun menjadi 4.987 kasus, namun mayoritas terjadi di Jawa Barat dengan porsi 25,83 persen dari total pekerja terdampak.
April 2025 mencatat 3.794 pekerja kehilangan pekerjaan, lagi-lagi Jawa Barat mendominasi dengan 33,18 persen kasus. Di bulan Mei, jumlah PHK meningkat ke angka 4.702 kasus, sebelum akhirnya turun signifikan pada Juni dengan 1.609 pekerja terdampak.
Secara keseluruhan, total pekerja yang terkena PHK sejak awal tahun hingga pertengahan 2025 mencapai 42.385 orang. Angka ini menunjukkan bahwa klaim turunnya tingkat pengangguran yang disampaikan Presiden Prabowo masih berbanding terbalik dengan kenyataan di lapangan.
Pengamat ketenagakerjaan dari Universitas Gadjah Mada, Tadjudin Nur Effendi, menilai klaim tersebut tidak sepenuhnya menggambarkan kondisi nyata dunia kerja. Menurutnya, jumlah angkatan kerja Indonesia pada 2025 mencapai 153,05 juta orang, naik 0,62 persen dibanding Agustus 2024. Dengan angka sebesar itu, kondisi pengangguran secara absolut tetap tidak sebanding.
Lebih jauh, Tadjudin menegaskan bahwa persoalan utama ketenagakerjaan saat ini bukan sekadar tinggi atau rendahnya angka pengangguran terbuka. Pasalnya, sebagian besar pengangguran terbuka berasal dari kelompok angkatan kerja baru yang baru lulus pendidikan.
Ia juga menyoroti dominasi pekerja informal di Indonesia. Menurut Tadjudin, kelompok ini sangat rentan terhadap kemiskinan karena tidak memiliki perlindungan sosial maupun kepastian kerja. “Mereka rentan terhadap perubahan dan sama sekali tidak terlindungi. Itu yang justru berbahaya,” ujarnya.
















