Apa itu ‘Frugal Living’, Cara Hidup Hemat tapi Tetap Bahagia
Bukan mustahil untuk berhemat, mencapai tujuan finansial, sekaligus menikmati hidup di saat bersamaan. ‘Frugal living’ bisa jadi jalan keluarnya.
Kedua ibu jari itu tampak lihai menari di atas layar ponsel, beralih dari toko online di e-commerce hijau ke oranye, kemudian menuju layanan pesan antar makanan daring. Selama beberapa saat, layar itu terus digulung untuk mencari kode promo, sebelum barang yang diinginkan keluar dari keranjangnya.
“Yang ini add to cart dulu, deh, lihat nanti pas flash sale masih butuh atau enggak. Sekalian lihat kupon yang bisa dipake,” ujar Virgitta, dosen perguruan tinggi swasta, menirukan monolog yang kerap dilakukan ketika ingin membeli barang.
Bolak-balik menelusuri laman kupon, tampaknya sudah menjadi kebiasaan Virgitta. Sampai-sampai, teman-temannya menyematkan predikat “Miss Cuan”, karena sering membagikan promo.
“Aku senang sharing ke teman-teman, atau lewat Instagram story,” tuturnya pada Magdalene, (6/6). “Bahkan kalau mau beli sesuatu, mereka suka nanya dulu untuk dapetin barang dengan harga paling promo.”
Baca Juga: Generasi Z: Rumah Tak Terbeli Bukan karena Kebanyakan ‘Ngopi’
Mencari potongan harga sebelum membeli sesuatu, adalah cara Virgitta meminimalkan pengeluaran. Selain lewat aplikasi secara langsung, ia mengikuti beberapa akun di Instagram yang senang membagikan promosi. Misalnya @giladiskon, @promodiskon, dan @infodiskon. Katanya, ini adalah celah yang bisa dimanfaatkan, untuk menikmati hidup sekaligus berhemat.
“Ini udah jadi kebiasaan ya, kalau mau pesen makanan pasti bandingin dulu yang paling murah di aplikasi apa,” katanya.
Kebiasaan hidup hemat itu telah menjadi gaya hidup Virgitta selama lima tahun terakhir, atau biasa dikenal dengan istilah frugal living. Orang yang menerapkan frugal living biasanya lebih sadar terhadap pengeluaran, dengan mengutamakan berbagai hal yang perlu diprioritaskan.
Namun, sebagian orang masih keliru dalam memahami frugal living, dan menyamakannya dengan gaya hidup minimalis. Keduanya berbeda. Minimalis seperti dilakukan Marie Kondo bertujuan untuk memperoleh ketenangan batin, dengan tidak terikat pada benda-benda di sekitarnya. Alhasil, barang-barang yang dimiliki hanya yang dinilai memiliki tujuan.
Sementara, frugal living dilakukan demi mencapai tujuan finansial dengan berhemat, mengurangi dorongan konsumtif untuk membeli barang dalam jangka pendek, dan menggunakan apa pun yang ada untuk digunakan—sebagaimana dijelaskan John Lastovicka, dkk. dalam Lifestyle of the Tight and Frugal: Theory and Measurement (1999).
Hal itulah yang dilakukan Virgitta, setelah menyadari kestabilan keuangan diperlukan untuk memiliki hidup berkualitas.
“Target terdekatku sekarang ini pengen punya homestay,” cerita perempuan 32 tahun tersebut. “Bisa dikatakan untuk pendapatan sampingan ya, biar lebih cepet mencapai kebebasan finansial.”
Namun, tampaknya gaya hidup ini tidak mudah diterapkan di tengah masifnya konsumerisme dan kapitalisme. Lantas, bagaimana kesadaran untuk frugal living dapat dibangun?
Baca Juga: Anak Muda Zaman Now Tolak Sistem Ekonomi Kapitalis
Harus Kuat “Iman”
Sebenarnya, gaya hidup frugal living telah menjadi nilai yang diterapkan oleh generasi X dan baby boomers. Pernyataan ini dapat dilihat pada survei yang dilakukan TD Ameritrade—perusahaan jasa keuangan di AS. Melansir CNBC, survei tersebut menunjukkan sebesar 55 persen responden dari generasi baby boomers, dan 40 persen dari generasi X sudah hidup berhemat.
Artinya, dibandingkan generasi di bawahnya, mereka lebih membelanjakan pendapatan untuk kebutuhan yang berguna. Sementara kini, nilai-nilai itu mulai luntur di tengah konsumerisme dan kapitalisme, yang didukung oleh kemajuan teknologi.
Faktanya, seluruh kebutuhan ada dalam genggaman. Cukup membuka ponsel dan scrolling media sosial atau e-commerce, kita mendapatkan barang-barang yang diinginkan. Hal ini lantas memengaruhi munculnya konsep you only live once (YOLO), yang digandrungi sejumlah orang.
Salah satunya “Intan”, penulis lepas di Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Ia mengaku prinsipnya hanya memikirkan kebutuhan hari ini, besok, dan lusa.
“Properti juga enggak mungkin kebeli, makanya gue senang-senang aja. Don’t think too much,” tuturnya sambil tertawa. Seorang nonbiner berusia 26 tahun itu mengaku, pakaian adalah godaan terbesarnya ketika berbelanja online.
“Kalau habis gajian, pasti buka e-commerce,” ceritanya. “Mungkin karena waktu kecil, gue selalu pake baju lungsuran kakak perempuan kali ya. Makanya pas punya uang sendiri dipuas-puasin.”
Bahkan, belakangan ini Intan membeli tiket konser VIP yang menghabiskan lebih dari 50 persen gajinya. Hal itu dilakukan tanpa mengecek saldo banknya, atau mencatat pengeluaran, karena takut menyesal.
Kendati demikian, ia mengaku kagum dengan mereka yang menerapkan gaya hidup frugal living. “I want to be like them, but I can’t. Mungkin kalau udah 30 tahun kali ya, sekarang masih mau have fun,” ucapnya.
Untuk menerapkan frugal living sebagai gaya hidup, sebenarnya ada beberapa faktor. Menurut perencana keuangan Rista Zwestika, yang pertama adalah pola asuh orang tua.
“Kalau latar belakangnya seperti itu, anaknya juga mempraktikkan gaya hidup yang sama,” ucapnya.
Serupa dengan pernyataan Rista, dalam survei yang sama, TD Ameritrade juga menyebutkan bahwa 48 responden mengaku, cara mereka mengelola keuangan dipengaruhi orang tuanya.
Kedua, adanya keterbatasan keuangan. Ketika dihadapkan dengan keadaan yang memaksa, mau enggak mau mereka menyesuaikan lifestyle dengan berhemat, demi kelangsungan hidup dan mewujudkan tujuan keuangannya.
Ketiga, memahami tujuan hidup. “Rata-rata mereka yang udah ngerti hidupnya mau ngapain dan punya financial awareness, lebih sadar kalau mencari uang enggak mudah,” terang Rista. “Apalagi berkaca pada pandemi ini, banyak industri yang terpengaruh.”
Kondisi itulah yang dialami Virgitta. Di awal kariernya, ia termasuk mudah menghabiskan uang berkedok self-reward, salah satunya dengan membeli pakaian. Saat itu, baju-bajunya hanya berakhir jadi “pajangan” di lemari, lengkap dengan tag harga yang belum dilepas. Ada juga beberapa pakaian yang model dan warnanya sama.
“Dari situ aku menyadari, kalau dihitung kok pengeluarannya cukup besar ya, untuk hal-hal yang bukan kebutuhan dasar,” ujarnya.
Namun, setelah melek terhadap literasi keuangan, ia memahami kalau kestabilan finansial akan berdampak pada kenyamanan hidup. Karena itu, Virgitta mulai menyiapkan dana darurat, sebelum anggaran untuk hal-hal yang bersifat keinginan. Ia juga mencatat pengeluaran per bulan agar mengetahui pengeluaran terbesarnya, yakni untuk makan dan traveling.
“Tapi aku makin melek sejak pandemi, jadi sadar harus pinter-pinter mengatur keuangan,” tambahnya.
Sayangnya, sering terjadi kesalahan persepsi ketika mendengar kata “frugal living”. Anggapannya, mereka yang menerapkan lifestyle ini enggak bisa menikmati hidup, pelit dengan diri sendiri, dan enggak boleh memiliki barang mewah. Padahal, kenyataannya bukan demikian.
“Orang-orang yang melakukan frugal living itu udah mengukur kemampuan keuangannya. Jadi lebih direncanakan” jelas Rista. Dengan kata lain, mereka enggak mengeluarkan uang apabila tidak terlalu dibutuhkan. Pun dipastikan, keputusan untuk membeli barang tidak akan mengganggu kebutuhan lain, atau dapat membantu penghasilan.
Dalam hal ini, Virgitta melakukannya dengan membeli barang bermerek. Ia mempertimbangkan kualitas barang dalam jangka panjang, sekaligus nilai jual sebagai investasi.
“Aku tahu nanti kalau dijual lagi, harga barangnya enggak turun dan tetap jadi incaran. Jadi value-nya di situ,” ujarnya.
Baca Juga: Pakai Jasa ‘Financial Planner’, Perlukah?
Manfaat Frugal Living
Mengusung gaya hidup frugal living adalah salah satu upaya mengapresiasi hal-hal sederhana, di tengah masyarakat yang konsumtif dan kompetitif. Konsep ini berangkat dari bagaimana seseorang bersikap cerdas dalam mengelola keuangan, dan memahami ke mana uangnya akan diarahkan.
“Enggak ada standar baku (dalam frugal living). Semuanya disesuaikan dengan kenyamanan dan tujuan keuangannya,” terang Rista.
Ia juga menyebutkan, ada berbagai manfaat dari frugal living selain mencapai tujuan keuangan. Misalnya, mandiri secara finansial dan tidak membebankan orang lain dengan mengutang, karena mengetahui kemampuan keuangannya. Kemudian lebih banyak uang yang ditabung, sehingga memungkinkan untuk pensiun dini.
Semua itu tentu tampak menjanjikan, tapi, ada satu pertanyaan yang membebani saya: “Seberapa susah, sih memulai frugal living?”
Pasalnya, bagi sebagian orang, gaya hidup ini mungkin cukup menantang lantaran harus membatasi pengeluaran dari biasanya. Apalagi dibutuhkan konsistensi dan pengendalian diri dalam mengelola keuangan, di tengah konsumerisme dan kapitalisme saat ini.
“Mungkin iya untuk yang selama ini (gaya hidupnya) boros. Tapi bisa dimulai bertahap kok,” jawab Rista.
Menurut dia, langkah awalnya adalah mencatat kembali sumber pendapatan dan pengeluaran, apakah ada yang dapat dikurangi atau dihilangkan. Seperti anggaran untuk ngopi yang tanpa disadari memakan banyak biaya. Pun, langganan layanan streaming yang ujung-ujungnya hanya dianggurin, dan mempertimbangkan membawa kendaraan pribadi di tengah kemacetan kota.
“Kira-kira worth it enggak nyetir kalau macet? Kalau naik transportasi umum makin boros enggak?”
Lalu, Rista menyarankan untuk menyortir dan menjual barang-barang yang sudah enggak terpakai. Tujuannya, uang yang dikumpulkan bisa dimasukkan ke tabungan. Pun manfaat lainnya adalah tidak menumpuk barang, sekaligus belajar menggunakan barang yang ada sampai rusak.
“Memang skala prioritasnya harus dipilih satu per satu. Yang penting jangan membuat kita terbebani dan enggak menikmati hidup, akibat terlalu hemat,” tutupnya.