Saat di Lautan Tak Ada Lagi Ikan
Bagaimana jadinya jika ikan di laut habis tak bersisa karena terlalu banyak ditangkap (overfishing)?
Pernahkah terpikir olehmu, bagaimana jadinya jika ikan di lautan benar-benar habis? Buat saya yang doyan makan ikan kaya protein, hal ini adalah kiamat kecil. Buat para nelayan, bisa saja hidup mereka bakal berakhir ketika tak ada lagi tangkapan yang bisa dibawa pulang.
Tahun lalu, BBC merilis laporan yang menceritakan tentang keluhan nelayan di India Barat tentang ikan-ikan yang menghilang. Para nelayan ini duduk berjam-jam di atas geladak kapal dan tak melihat seekor ikan pun di bawahnya. Bukan cuma karena suhu laut yang naik akibat krisis iklim, ikan habis karena terlalu banyak ditangkap.
Bagaimana dengan di Indonesia? Pada 2014, Presiden Joko Widodo pernah bilang kepada masyarakat internasional di Myanmar, Indonesia adalah poros maritim dunia. Bukan tanpa alasan, mengingat semua ciri negara maritim hampir semuanya ada di sini. Perairan luas, pulau-pulau yang dikelilingi lautan, sumber daya yang melimpah, hingga banyaknya profesi nelayan.
Namun, di tahun-tahun terakhir masa jabatannya, kita semakin banyak mendengar kabar, semua potensi itu tak lagi punya arti karena ikan terus menghilang. Salah satu penyebab utamanya adalah maraknya overfishing di beberapa wilayah di Indonesia.
Ria Pika Wati dalam risetnya bertajuk “Dampak Kelebihan Tangkap (Overfishing) terhadap Pendapatan Nelayan di Kabupaten Rokan Hilir” (2014) menjelaskan, overfishing telah membuat tangkapan nelayan berkurang 68,91 persen, juga penurunan pendapatan sebesar 68,72 persen.
Di pesisir utara Pantai Jawa, overfishing tak cuma bikin ikan ludes, tapi juga memicu kerusakan di sekitar bibir pantai. Di Manado, Sulawesi Utara, terumbu karang pun rusak lantaran perilaku overfishing.
Sebenarnya apa itu overfishing atau penangkapan ikan berlebih? Kenapa dampaknya demikian merusak seperti ini?
Baca juga: Hutan Mangrove Kami Berubah Jadi Gedung-gedung Tinggi
Apa itu Overfishing dan Dampak yang Ditimbulkan?
Dalam artikel Overfishing in the Philippine Commercial Marine Fisheries Sector (1997) yang ditulis Israel, Danilo C. dan Banzon, Cesar P. dijelaskan, overfishing adalah penangkapan ikan berlebihan, sehingga populasinya berkurang drastis bahkan lenyap.
Ada banyak faktor yang membuat perilaku overfishing meningkat akhir-akhir ini. Menurut World Wide Fund for Nature (WWF), salah satunya karena kemajuan teknologi yang memudahkan nelayan untuk menangkap ikan dalam jumlah besar.
Lalu didukung juga dengan banyaknya armada penangkapan yang beroperasi di laut, kurangnya tindakan hukum untuk kapal asing yang masuk dan menangkap ikan secara ilegal, serta nelayan nakal yang tak patuh pada hukum dan perjanjian laut.
Selain itu, ada penangkapan ikan juvenil atau ikan dengan ukuran kecil yang belum siap untuk tumbuh dalam jumlah masif. Pun, konservasi perikanan dan manajemen perikanan yang kurang di berbagai belahan dunia.
Lalu maraknya destructive fishing, penangkapan ikan dengan menggunakan alat yang membahayakan habitat dan ekosistem laut. Biasanya dilakukan dengan menggunakan bom ikan, racun, hingga setrum listrik.
Bayangkan, jika sebab-sebab di atas tak kunjung diselesaikan, maka angan-angan Jokowi agar Indonesia jadi poros maritim dunia, akan makin jauh api dari panggang. Sekarang ini pun kondisinya, menurut catatan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), jumlah nelayan di Indonesia sebanyak 1,27 juta orang hingga akhir tahun 2022. Jumlah itu berkurang 5,22 persen dibanding 2021 yang mencapai 1,34 juta orang.
Ya habis, bagaimana mau memaksa nelayan terus ada, jika ikan yang ditangkap saja sudah tak ada?
Baca juga: Mei 70 Tahun Silam, Perubahan Iklim Pertama Kali Viral
Bagaimana Mencegah Overfishing?
Melihat dampak yang sangat besar akibat overfishing ini, WWF memberikan beberapa solusi untuk dilakukan.
Di antaranya, memengaruhi pasar global seperti yang dilakukan oleh Amerika Serikat. Mereka mengimpor hampir 90 persen makanan lautnya. WWF bermitra dengan 40 perusahaan di Amerika Utara bersumber lebih dari 550 perikanan yang berbeda.
Mereka juga bekerja sama dengan para pembeli dan penjual dalam jumlah besar untuk memanfaatkan sektor swasta. Tujuannya agar mendorong untuk memperbaiki praktik, pengelolaan, dan konservasi penangkapan secara ilegal. Hal ini juga bisa memberikan dukungan keuangan dan insentif bagi nelayan yang ingin berkomitmen jangka panjang.
Baca juga: Seberapa ‘Relate’ Generasi Z dengan Isu Krisis Iklim? Ini Kata Mereka
Mengakhiri penangkapan ikan ilegal bisa jadi solusi lainnya. WWF bekerja menghentikan penjahat pencuri ikan, yang membuat manajemen baik kurang efektif. Memiliki mitra di seluruh dunia, WWF bertujuan menutup perbatasan negara-negara pengimpor makanan laut terbesar.
Lalu, mengatasi subsidi perikanan. Beberapa negara terkaya di dunia rela membayar miliaran dollar untuk menjaga industri perikanannya yang tertinggal agar bisa bertahan. Sayangnya, subsidi secara besar ini membuat penangkapan ikan jadi berlebih. WWF pun meminta bantuan pada World Trade Organization (WTO) untuk mendorong negara-negara ini menghapus subsidi perikanan, karena berbahaya bagi polusi ikan dan habitatnya.
Terakhir, WWF menyarankan agar perlindungan kawasan laut lebih diperluas di seluruh dunia. Cara ini juga bisa melindungi spesies ikan penting dan langka yang berenang dari Kutub Utara hingga daerah tropis. Sementara, kawasan yang biasanya dikelola masyarakat, dilindungi secara adat. Masyarakat adat ini hanya menangkap ikan sebagai mata pencaharian saja.
Pertanyaannya, apa saja yang sudah dilakukan pemerintah Indonesia sejauh ini untuk mengatasi overfishing?
Baca Juga: Surat Cinta kepada Laut dari Seorang ‘Thalassophile’
Indonesia lewat Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Sakti Wahyu Trenggono sebenarnya punya 5 program ekonomi biru atau kegiatan ekonomi yang memanfaatkan laut. Ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2023. Di dalamnya, termasuk pembatasan ikan berbasis kuota di enam zona atau biasa disebut wilayah pengelolaan perikanan (WPP).
Kebijakan ini sendiri diperuntukkan kepada nelayan tradisional dan industri. Namun, hingga artikel ini ditulis, beberapa nelayan rutin mengajukan keluhan. Sekretaris Front Nelayan Bersatu (FNB) Robani Hendra Permana kepada Republika menjelaskan, kebijakan ini menyulitkan para nelayan kecil yang ingin mendapatkan iklan di tengah kondisi cuaca buruk atau gelombang tinggi. Sebab, aturan tersebut memang melarang nelayan menyeberang ke WPP lain.
Jika menyelesaikan satu hal ini saja, pemerintah masih terbata-bata, bagaimana berharap cita-cita sebagai poros maritim bisa berdaya guna?
Sepanjang Juni 2023, Magdalene membuat rangkaian liputan bertema lingkungan dan perubahan iklim. Ini adalah artikel pertama kami. Simak artikel sebelumnya di sini.