Issues Opini

‘Paper Mill’: Pabrik Artikel Ilmiah Seperti Kartel di Film-film

'Paper mill' menjamin nama dosen atau mahasiswa muncul di artikel ilmiah tanpa perlu susah payah riset.

Avatar
  • May 17, 2024
  • 6 min read
  • 742 Views
‘Paper Mill’: Pabrik Artikel Ilmiah Seperti Kartel di Film-film

Enggak repot-repot mengerjakan riset dan menulis, tapi nama diri muncul di artikel ilmiah? Fenomena ini semakin marak di kalangan komunitas akademis global. Hal ini pertama kali ditemukan oleh Science dan Nature, dua majalah sains terkemuka untuk berita ilmiah, opini, dan penelitian. Mereka menemukan maraknya perusahaan paper mill yang memproduksi artikel ilmiah bodong di seluruh dunia.

Paper mill merupakan perusahaan komersial yang menawarkan jasa kepengarangan kepada peneliti, akademisi, dan mahasiswa yang ingin namanya muncul di jurnal ilmiah internasional bereputasi.

 

 

Cukup dengan membayar sekitar €180 sampai €5000 (sekitar Rp3,2 juta – Rp86,4 juta), seseorang dapat mencantumkan namanya sebagai penulis artikel, tanpa harus susah payah melakukan riset dan menulis hasilnya. Tak ayal, beberapa ahli menyebut perusahaan-perusahaan paper mill ini sebagai organisasi ilegal dan kriminal.

Riset tahun 2023 menunjukkan, jumlah artikel ilmiah bermasalah yang diindikasi berasal dari paper mill meningkat drastis selama lima tahun terakhir. Dari 10 artikel yang harus ditarik pada tahun 2019, jumlahnya melonjak menjadi 2.099 artikel pada tahun 2023.

Perusahaan paper mill juga membuat penerbit-penerbit jurnal ilmiah besar kelabakan. Hindawi dan Wiley, penerbit jurnal akses terbuka di Inggris, misalnya, meretraksi sekitar 1.200 artikel paper mill pada 2023. SAGE, penerbit global untuk buku, jurnal, dan sumber perpustakaan akademis dan Elsevier, penerbit ilmiah di Belanda juga meretraksi ratusan artikel paper mill pada 2022.

Perusahaan paper mill banyak ditemukan beroperasi di negara-negara yang kebijakan risetnya memberikan insentif peneliti untuk memproduksi artikel ilmiah sebanyak-banyaknya, seperti Cina, Rusia, India dan Iran.

Namun, profil pelanggan mereka cukup beragam, baik dari negara maju maupun berkembang, seperti Indonesia, Malaysia, Jerman, dan Amerika Serikat (AS).

Berdasarkan beberapa riset dan laporan jurnalis investigasi yang dilakukan dalam lima tahun terakhir, saya merangkum bagaimana paper mill ini beroperasi dan cara mendeteksinya.

Baca juga: Dosen-dosen itu Mencuri, Menjiplak, dan Mengklaim Karya Saya

Modus Operandi dan Keanehan ‘Paper Mill’

1. Artikel yang ditawarkan kerap bermasalah

Paper mill umumnya memanipulasi proses penerbitan artikel-artikel ilmiah. Artikel-artikel ini biasanya memplagiat artikel lain yang sudah lebih dulu terbit dan mengandung data palsu atau curian. Data tersebut termasuk gambar yang dimanipulasi dan diduplikasi. Mereka juga menawarkan jasa penulisan ulang artikel ilmiah dengan menggunakan mesin kecerdasan buatan generatif menggunakan ChatGPT, dan Quillbot atau sekadar menerjemahkan artikel yang sudah terbit dalam bahasa tertentu ke bahasa Inggris.

2. Jaminan dimuat

Pada beberapa kasus, perusahaan paper mill menawarkan slot kepengarangan sebelum artikel dinyatakan diterima untuk diterbitkan.

Pada kasus lain, mereka menawarkan slot kepengarangan setelah artikel sudah siap diterbitkan oleh jurnal.

Oleh karena itu, tak jarang perusahaan paper mill menjual slot kepengarangan disertai jaminan bahwa artikel pasti diterbitkan. Padahal, berdasarkan konvensi yang umum berlaku di komunitas akademis, tidak ada satu pun jurnal yang dikelola dengan baik dapat memberikan jaminan seperti itu.

Keputusan penerbitan, normalnya, baru dapat diambil setelah editor mempertimbangkan masukan dari peninjau sejawat (peer reviewer) sehingga tidak mungkin jurnal memberikan jaminan naskah pasti diterima sebelum proses tinjauan sejawat selesai.

3. Layanan ekstra

Perusahaan paper mill juga cenderung menawarkan berbagai macam layanan tambahan. Misalnya, mereka menawarkan layanan hasil tinjauan sejawat (peer review) palsu sehingga memberikan kesan bahwa artikel yang mereka tawarkan adalah hasil riset yang sudah lolos review.

Untuk memuluskan operasinya, tak jarang perusahaan paper mill berkongkalikong dengan pengelola jurnal layaknya kartel. Hasil investigasi jurnalis Science awal tahun 2024 menyebutkan beberapa perusahaan paper mill berusaha mendekati editor jurnal ilmiah di Inggris dan menawarkan sejumlah uang sampai dengan USD$20,000 (sekitar Rp 324,1 juta) agar mereka mau bekerja sama. Hasil investigasi ini berhasil mengidentifikasi lebih dari 30 editor jurnal internasional bereputasi yang terlibat dalam aktivitas paper mill.

4. Pola kolaborasi tak lazim

Salah satu ‘keunikan’ artikel paper mill adalah memiliki pola kolaborasi penulis yang cenderung tidak masuk akal. Misalnya, sebuah artikel menyajikan hasil studi lapangan atas aktivitas kumbang tanah yang menyerang tanaman di Kazakhstan.

Anehnya, tidak ada satupun penulisnya yang berafiliasi dengan institusi di Kazakhstan atau ahli serangga atau agrikultur. Latar belakang penulisnya sangat acak, mulai dari anestesi, kedokteran gigi, sampai teknik biomedik.

5. Kolaborasi anonim

Calon pengguna jasa paper mill biasanya harus menyepakati aturan kerahasiaan (confidentiality) yang ditawarkan. Dengan menyetujui aturan ini, pengguna tidak tahu nama jurnal ilmiah yang mereka sasar dan siapa saja pembeli lain. Oleh karena itu, para pembeli biasanya tidak saling mengenal, meskipun tercatat sebagai penulis di artikel yang sama.

Baca juga: ‘Calo Publikasi’: Jalan Pintas Dosen di Tengah Tuntutan Menulis

Bagaimana Mendeteksi Artikel Ilmiah dari Paper Mill?

Cara paling mudah untuk mengenali artikel ilmiah yang ‘diproduksi‘ oleh paper mill adalah dengan menelisik pola retraksi yang dilakukan oleh jurnal.

Hal ini dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu melacak tinjauan sejawat pascapenerbitan artikel (post-publication review) yang biasanya ditemukan melalui PubPeer, website pelacakan publikasi, atau jejak retraksi melalui basis data Retraction Watch, website yang mendokumentasikan penarikan artikel ilmiah yang bermasalah.

Penerbit jurnal ilmiah biasanya tidak eksplisit menyebutkan alasan mereka menarik sebuah artikel karena terkait paper mill.

Namun, pola penarikan yang terkait paper mill umumnya berkaitan dengan pencantuman nama dan urutan penulis artikel yang tak sesuai ketentuan, pencantuman banyak kutipan atau referensi yang tidak relevan, memplagiasi artikel lain, serta pencantuman gambar yang dimanipulasi atau diduplikasi.

Proporsi artikel ilmiah yang diretraksi karena berkaitan dengan paper mill jumlahnya jauh lebih sedikit bila dibandingkan dengan perkiraan jumlah total artikel paper mill yang sesungguhnya beredar.

Data Retraction Watch, sampai dengan bulan Mei 2024, hanya mencatat 7.275 retraksi artikel yang terkait dengan paper mill dari total 44.000 retraksi yang tercatat. Padahal, diperkirakan ada sekitar 400.000 artikel paper mill yang berkeliaran dan “mencemari” literatur ilmiah selama dua dekade terakhir.

Hal ini menunjukkan bahwa upaya yang telah dilakukan oleh penerbit dan komunitas akademik untuk memberantas aktivitas paper mill melalui United2Act, aliansi global yang diprakarsai oleh Committee on Publication Ethics (COPE) dan STM, dua organisasi yang bergerak di bidang integritas publikasi ilmiah, belum menunjukkan hasil memuaskan.

Baca juga: Gaji Secuil, Lingkungan Toksik: Potret Buram Kesejahteraan Dosen Indonesia

Publik Merugi

UK Research Integrity Office—badan amal independen di Inggris yang menawarkan dukungan kepada masyarakat, peneliti dan organisasi untuk memajukan praktik penelitian akademis yang baik—memperkirakan, industri paper mill menyedot kerugian sekitar US$10 juta (sekitar Rp162 miliar) secara global.

Perusahaan paper mill asal Rusia, misalnya, bisa mengantongi sekitar US$6.5 juta (setara Rp105 miliar) jika artikel ilmiah yang mereka produksi dari 2019 hingga 2021 terjual semua.

Dalam konteks Indonesia, kerugian ini dapat dilihat dari sudut pandang sumber pendanaan perguruan tinggi, terutama perguruan tinggi negeri (PTN).

Sebagian besar biaya operasional PTN didanai dari Anggaran Belanja dan Penerimaan Negara (APBN), yang salah satunya bersumber dari pajak.

Selain itu, Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang dibayarkan oleh mahasiswa juga digunakan untuk membiayai pengeluaran operasional perguruan tinggi, termasuk untuk membayar insentif publikasi dan hibah penelitian. Sehingga, meskipun besarnya kerugian yang timbul akibat perilaku curang ini tidak bisa diperkirakan, dapat dipastikan kalau masyarakat juga ikut menanggung kerugiannya.

Rizqy Amelia Zein, Dosen Psikologi Sosial Universitas Airlangga.

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.



#waveforequality


Avatar
About Author

Rizqy Amelia Zein

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *