December 5, 2025
Issues Politics & Society

Ramai-ramai Penangkapan Demonstran: Wajah Penegakan Hukum yang Serampangan dan Anti-Kritik

Kita wajib dan berhak menuntut pembebasan tanpa syarat terhadap massa aksi yang ditangkapi aparat.

  • October 8, 2025
  • 5 min read
  • 1065 Views
Ramai-ramai Penangkapan Demonstran: Wajah Penegakan Hukum yang Serampangan dan Anti-Kritik

Menteri Koordinator Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra, bilang aparat kepolisian telah menangkap 6.719 orang pascademonstrasi 25–31 Agustus lalu (1/10). Dari jumlah itu, 997 orang ditetapkan sebagai tersangka. 

“Mereka yang dinyatakan tersangka dan ditahan karena tindak pidana umum itu ada 971 orang,” ujar Yusril seperti dikutip dari Tempo. Mayoritas dari mereka dikenai pasal-pasal pidana umum, seperti penjarahan, perusakan, pengeroyokan, pembakaran, kepemilikan bom molotov, dan melawan petugas, dengan rujukan KUHP dan Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951. 

Sisanya, 26 orang dituduh melanggar Pasal 28 dan 31 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) terkait dugaan penghasutan. 

Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mencatat, selama periode itu aksi demonstrasi berlangsung di 33 provinsi dengan total 112 titik. Gedung DPR, Istana Merdeka, Mapolda, DPRD, rumah pejabat, hingga gedung pemerintahan lain jadi sasaran kemarahan publik. Sejumlah bangunan terbakar, mulai dari Gedung DPRD Makassar dan DPRD Jawa Barat hingga beberapa kantor Polres di Jakarta. 

Namun penangkapan belum berhenti. Baru-baru ini, aktivis Yogyakarta Muhammad Fakhrurrozi atau Paul ditangkap oleh Polda DIY sebelum diserahkan ke penyidik Polda Jawa Timur. Ia dituduh melanggar Pasal 160 KUHP junto Pasal 187, Pasal 170, dan Pasal 55 KUHP, sebagaimana laporan Polresta Kediri. Paul disebut sebagai koordinator komite politik di Jawa Timur, biang rusuh karena dugaan penghasutan di grup WhatsApp. 

Publik pun bereaksi keras. Pengacara publik dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pijar Harapan Rakyat, Rizal Hakiki, menyebut penangkapan itu menunjukkan polisi semakin represif dan sembrono. 

“Ini bentuk kriminalisasi dan tindakan teror secara sistematis oleh negara, lewat aparat kepolisian. Karena menurut kami tindakan penangkapan aktivis, bentuk pelanggaran hak asasi manusia,” kata Rizal kepada Magdalene

Demonstrasi Agustus lalu meninggalkan kemarahan dan luka mendalam. Aksi itu lahir dari kekecewaan publik terhadap kebijakan tunjangan anggota DPR dan pemerintah. Organisasi masyarakat sipil seperti KontraS dan YLBHI bahkan menyebut peristiwa itu sebagai tragedi berdarah. 

Baca Juga: Sejumlah Aktivis Ditangkap, Puluhan Orang Masih Hilang: Kebebasan Sipil Terancam 

Ancaman bagi Suara Kritis 

Rizal menilai penangkapan para aktivis usai “Agustus berdarah” harus ditanggapi serius. Menurutnya, masyarakat turun ke jalan bukan untuk membuat onar, melainkan untuk mengawasi tata kelola pemerintahan yang kian buruk. 

“Demonstrasi masyarakat sipil turun ke jalan menunjukkan pengawasan yang baik terhadap tata kelola pemerintahan yang buruk dan korup. Sayangnya, pemerintah kerap melakukan pembungkaman dan penangkapan terhadap suara kritis massa aksi demonstrasi,” ujarnya. 

Masifnya ribuan penangkapan, kata Rizal, hanya akan memperbesar kemarahan rakyat dan memperburuk situasi. Padahal, suara massa aksi lahir dari keresahan terhadap arah negara yang kian menjauh dari prinsip keadilan. 

“Penangkapan yang terus dilakukan mencerminkan tata kelola jauh dari supremasi hukum, hak asasi manusia, dan juga demokrasi. Artinya Presiden Prabowo menampilkan wajah otoritarianisme, karena hampir seribu orang jadi tersangka,” tambahnya. 

Contohnya di Banten, lima belas orang ditangkap karena ikut demo Agustus. Prosesnya pun ugal-ugalan. Rizal mengaku sempat dihalangi saat hendak memberi bantuan hukum. Dari lima belas, hanya lima massa aksi yang sempat diadvokasi; dua di antaranya kini berkasnya sudah dilimpahkan ke Kejaksaan. 

Baca Juga: 27 Tahun Reformasi, Sumarsih Masih Tegak Berdiri 

Sementara yang dibebaskan justru diminta menandatangani surat pernyataan agar tidak ikut demo lagi. 

“Surat pernyataan itu pada intinya untuk tidak ikut demo, ini tidak masuk akal. Kami juga berdebat alasan kepolisian melakukan penangkapan, katanya diamankan, padahal di KUHAP dan aturan perundangan yang lain, kita tidak menemukan polisi memiliki wewenang itu. Ini tindakan diskresional atau tindakan menyimpang,” ungkap Rizal. 

Yusril, lewat akun X pribadinya, membela langkah aparat dengan menyebutnya bagian dari pelaksanaan kewenangan penegak hukum. 

“Tugas saya sebagai Menko adalah memastikan semua proses penegakan hukum berjalan di atas koridor hukum yang benar, HAM ditegakkan dan dihormati. Kita harus mendewasakan diri dalam menegakkan negara hukum yang kita perjuangkan bersama,” tulis Yusril, menanggapi kasus penangkapan pelajar SMA. Ia bahkan meminta keluarga pelajar itu mencari bantuan advokat. 

Namun, Rizal menilai pernyataan Yusril terlalu normatif dan tidak menyentuh akar persoalan. Ia mengakui adanya segelintir perusakan, tapi menegaskan negara tak seharusnya menjadikan hukum pidana sebagai senjata untuk menghukum warga yang menyuarakan pendapat. 

“Ini bertentangan dengan asas ultimum remedium—pidana seharusnya menjadi upaya terakhir,” ujarnya. 

Baca Juga: Kami Peduli, Kami Ada: Suara Joy dan Generasi yang Menolak Diam

Bebaskan Tanpa Syarat para Tersangka 

Tuntutan pembebasan para aktivis terus bergema. Kepala Polri Listyo Sigit didesak membebaskan semua tahanan politik, salah satunya oleh organisasi masyarakat Gerakan Nurani Bangsa (GNB). Ketua GNB sekaligus istri Presiden ke-4 RI, Shinta Nuriyah Wahid, menyerukan pembebasan pelajar SMP-SMA serta para aktivis yang ditahan, termasuk Delpedro, Syahdan, Paul, dan Khoriq. 

“Karena mereka adalah anak bangsa kita yang berjuang untuk kemanusiaan dan untuk negara Indonesia,” ujarnya seusai menjenguk para tahanan di Mapolda Metro Jaya, dikutip dari Detik

Ketimbang memburu aktivis, publik menilai polisi seharusnya fokus menindak pelaku penabrakan Affan Kurniawan dan korban lainnya. Sebelumnya, GNB telah bertemu Presiden Prabowo (11/9) untuk meminta pembentukan tim pencari fakta guna menyelidiki kerusuhan Agustus. 

Menurut Lukman Hakim, perwakilan GNB, pembentukan tim pencari fakta penting untuk mengusut kasus-kasus kematian dan kekerasan aparat, termasuk tewasnya Affan Kurniawan yang dilindas mobil polisi di Tanah Abang, Jakarta Pusat. Hingga kini, tujuh anggota polisi yang diduga terlibat belum tersentuh proses hukum. 

Lebih dari itu, dua orang masih hilang sejak demonstrasi Agustus. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mencatat, Muhammad Farhan dan Reno Syahputra terakhir terlihat di Markas Brimob Kwitang, Jakarta Pusat. Satu bulan berlalu, keduanya belum ditemukan. 

Kondisi ini mempertegas urgensi pembentukan tim pencari fakta independen. Namun Presiden Prabowo menolak membentuknya. Sebagai respons, enam lembaga independen akhirnya berinisiatif membuat tim sendiri: Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Komisi Nasional Disabilitas (KND), Ombudsman RI, Komnas Perempuan, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). 

Tim ini bertujuan memperjelas fakta-fakta di lapangan serta memastikan pemulihan korban dan pencegahan agar kekerasan serupa tidak berulang. 

“Tim ini dibentuk untuk mendorong kebenaran penegakan hukum, pemulihan korban, serta pencegahan agar pelanggaran serupa tidak berulang,” ujar Wakil Komnas HAM, Abdul Haris.  

About Author

Ahmad Khudori

Ahmad Khudori adalah seorang anak muda penyuka kelucuan orang lain, biar terpapar lucu.