Asa Mama Asu
Perempuan memang sudah semestinya dilenyapkan identitasnya setelah menikah, termasuk si Mama Asu.
Asa adalah ibu rumah tangga yang sehari-hari bekerja mengupas bawang putih. Menempuh jarak 30 menit, ia berangkat mengambil beberapa karung bawang dari pengepul. Tetangga sebelah rumahnya membantu membagikan dan membuat pencatatan harian ke rumah masing-masing. Bawang putih itu dibagikan dalam bentuk karung-karung berwarna merah muda.
Asa mengantre sembari menunggu namanya dipanggil. Ada lima orang lain yang mengantre di depannya. Mulai dari Mama Pain, Mama Asya, Mama Putri, Ibu Joko, Mama Lena. Seperti tradisi nama perempuan lain, semua perempuan yang sudah menikah dipanggil dengan nama anaknya, seperti Mama Apin dan Mama Asya, atau dengan nama suaminya, seperti Ibu Joko dan Ibu Basuki.
Bagi Asa, hal itu konyol dan meneguhkan bahwa ia telah kehilangan identitasnya sebagai perempuan. Fatalnya, tidak ada yang ingat lagi nama-nama mereka sebenarnya. Dalam kontak telepon, pertemuan arisan, kerja bakti, pun basa-basi, semua nama mereka lebur. Asa menolak semua itu, dan memilih untuk menggunakan nama pemberian ibunya. “Panggil Asa saja, ya,” ujarnya setiap kali memperkenalkan diri.
Baca juga: Tujuh Bayangan Cermin Perempuan
Asa mengumpulkan kekuatannya dan mengangkat sekarung besar bawang yang belum dikupas. Peluh mengucur dari wajahnya. Dulu, Asa masih bisa berjualan baju dan bantal sofa yang dia jahit sendiri. Asa sempat juga mencoba berjualan masker di awal pandemi. Segala cara sudah dia lakukan, mulai dari berkeliling menawarkan satu per satu dagangan, menitipkan baju-baju yang dijual dalam berbagai arisan rukun tetangga, bahkan jualan online. Ia membiarkan ibu-ibu itu berutang berbulan-bulan dengan harapan dagangan yang menumpuk di kontrakan mulai berkurang.
Suaminya, Rahmat, bekerja menjadi kurir paket sebuah layanan pengantaran daring. Lelaki itu berangkat kerja pagi-pagi sekali, dan pulang menjelang malam dengan menguntai senyum di wajahnya yang kelelahan. Dulu, suaminya bekerja di sebuah pabrik ban, sampai akhirnya ada perampingan karena pandemi. Asa sendiri sudah menikah dengan Rahmat dari delapan tahun yang lalu. Sayangnya mereka belum juga dikaruniai anak. Bisik-bisik tetangga pun lama kelamaan menjadi lawakan setiap sore, dan makin menjadi-jadi sampai cacian di depan muka. Asa yang malang hanya bisa menggigit jari.
Asa dan suaminya adalah pasangan yang amat menyayangi binatang. Ia sering kali terlihat menuang makanan anjing dan kucing di depan rumah kontrakannya. Ada seekor anjing liar berwarna belang yang ditelantarkan oleh majikannya ketika ia pindah. Anjing itu setiap sore mampir ke kontrakannya untuk makan, satu-satunya yang tersisa dari sekawanan anjing yang mati diracun di dekat masjid komplek. Ia menamai anjing tersebut dengan nama Fatih, tapi tetangganya meledeknya dan menertawakan nama tersebut.
“Terlalu bagus untuk seekor anjing!” ujar salah satu ibu yang membuka toko kelontong di dekat rumah Asa.
“Namanya Asu, ya panggil saja Asu!” celotehnya lagi.
“Cocok, ya, Mama Asu,” timpal orang yang lain lagi.
Suara tawa yang pecah dibubarkan oleh hujan yang tiba-tiba deras sebelum Asa sempat membuka mulutnya. Masing-masing berpamitan pulang. Sejak hari itu ibu-ibu komplek memberinya nama baru, Asa, Mama Asu.
Baca juga: Mai di Bulan Juli
***
Pagi itu bukanlah pagi yang berbeda dengan pagi lainnya. Asa bangun menjelang Subuh, melipat mukena, menanak nasi, dan membuatkan kopi panas untuk suami. Suaminya bangun dan membereskan tempat tidur sementara Asa mempersiapkan seragam suami. Setelahnya, Asa langsung merebus telur dan mengulek sambal untuk sarapan. Pasca-sarapan, biasanya sang suami mencuci piring dan menyapu rumah sebelum berpamitan pergi. Asa mulai mengerjakan pekerjaan rumah lainnya, mulai dari mengepel rumah dan merendam pakaian kotor, kemudian bersiap pergi ke pasar untuk berbelanja bahan masakan dan juga menanyakan penjualan baju-baju yang ia titipkan di Toko Irma.
Sepulangnya dari pasar, Asa mulai bebersih diri dan mandi, bersiap berjalan ke Bale, yang sebenarnya hanya sebuah tempat duduk panjang yang atapnya disangga bambu bekas tiang bendera 17 Agustusan. Asa mengantre jatah bawang putih untuk dikupas, satu karung besar seberat 24 kilogram. Bawang-bawang itu dihargai Rp25 ribu per karung, kabarnya bawang-bawang itu akan digunakan sebagai bumbu racik halus yang kemudian dijual lagi di pasar. Pun, kalau kurang beberapa ons, Asa pun harus mengganti dengan uang dari koceknya sendiri, atau mencari-cari sisa bawang putih di dapur yang juga ia beli sendiri di pasar. Hal ini ia lakukan setiap hari, kecuali hari Minggu, hari pembayaran upah bawang, hari libur mengupas bawang.
Asa menarik napas dalam-dalam. Upah mengupas bawang dibayarkan hanya setiap akhir pekan. Ini baru hari Kamis, sementara keuangannya sudah tiris. Asa menahan keluh terlontar dari bibirnya. Ia mulai mengumpulkan daun singkong dari kebun kecil di samping rumahnya, memanaskan potongan ikan sisa kemarin, lalu mencuci dan menjemur pakaian diantara terik yang jarang ditemukan di musim hujan belakangan ini.
“Mama Asu!” panggil Mama Apin yang sedang bercengkrama di Bale sambil menyantap gorengan.
Asa mengelus dada sebentar dan berusaha menyimpul senyum.
“Nanti kalau ke pasar, mau titip bawang merah, cabe, dan kalau ada jengkol mau ya sekilo. Bayarin dulu, ya!” lanjut Mama Apin.
Baca juga: Parasit di Inang Muda
Ibu-ibu sebelahnya menyenggol Mama Apin yang memanggil Asa dengan Mama Asu, tapi Mama Apin hanya tertawa-tawa kecil. Anjingnya Fatih, yang sedang berbaring di depan kontrakannya, bangkit dan berdiri dalam keadaan siaga melihat raut wajah Asa yang berubah dan berlari ke arah Bale. Ibu-ibu di Bale sontak mengangkat kakinya dan mundur. Hewan-hewan tersebut sebenarnya sudah dianggapnya sebagai anak, karunia pembawa rezeki yang tidak putus. Bagi Asa, karena merekalah Asa selalu menemukan jalan dan rezeki, sekecil apa pun.
Maka Asa memanggil lembut anjing tersebut. “Fatih, sini. Jangan gitu ya, aku enggak apa kok. Nanti kalau orang lain takut sama kamu, kamu bisa diracun. Kalau kamu tidak ada, aku pasti akan kesepian,” bisiknya sambil berjongkok dan mengelus kepala Fatih.
Anjing tersebut menatap Asa dengan wajah layu, ekornya dilipat masuk, kaki depannya diangkat dan berusaha menyentuh wajah Asa. Asa tersenyum melihat tingkahnya, mengangguk perlahan dan berjalan kembali ke rumah. Dalam rumah kontrakannya, Asa meratap menangisi dirinya di hadapan tumpukan bawang yang masih harus ia kupas. Ingin sekali ia menumpahkan seember penuh bawang itu dan mengguyur semua orang yang tawanya memecah telinga.
Asa dan suaminya memang sudah lama menantikan kehadiran anak. Asa sudah berusaha, namun juga sudah empat kali Asa mengalami keguguran. Asa selalu mendengar bisik-bisik “Pasti karena anjing,” “Mungkin anjingnya,” “Anjing kan najis!”
Asa yang lembut hatinya merasakan emosi yang mendidih meluap-meluap. Beberapa terang-terangan meminta Asa membuang anjingnya, dengan alasan agar Asa tidak lagi keguguran dan bisa memiliki anak. Berkali-kali ia menjelaskan, tapi suaranya redup dengan gunjingan dan kelakar yang bising.
Asa sudah sangat muak kali ini. Malam itu, Asa memohon dalam doanya, air matanya tumpah pada sujud terakhir yang paling dalam. Malam ini, doa Asa berbeda. Asa tidak lagi memohon untuk keturunan, namun memohon untuk diberikan kekuatan. Kekuatan untuk menemukan kembali suaranya yang redup di antara kerumuman. Kekuatan untuk merebut kembali jati dirinya.
Sehabis menunaikan salat malam, Asa membasuh wajahnya, dan merasakan angin semilir masuk lewat jendelanya.
“Doa yang baik di malam rintik,” gumamnya.
Asa membasuh kembali kedua kakinya, dan tertidur pulas dengan mendekap dada.
Keesokan harinya, ada tetangga yang baru penghuni baru yang menempati kontrakan tepat di sebelah Bale. Ibu-ibu yang berkerumun di Bale memerhatikan penghuni baru komplek itu dengan penasaran. Asa yang juga penasaran dengan penghuni baru tersebut menawarkan diri untuk membantu mengangkat dan memindahkan beberapa barang. Penghuni baru itu tersenyum, kemudian membawakan dua kotak kue lapis legit ke Bale sebagai tanda perkenalan dan terima kasih. Sontak ibu-ibu Bale kegirangan dan mulai sibuk memperkenalkan diri.
Tiba di giliran Asa, Mama Apin sudah siap membuka mulutnya untuk memperkenalkan Asa, tapi sudah terlanjur dibungkam oleh cubitan Mama Asya yang mendarat di pinggang Mama Apin. Asa tertawa kecil. Ia menemukan dirinya kembali. Ia menemukan keberaniannya. Ia ingin semua orang mendengarnya kali ini.
Asa menyodorkan tangannya dan berkata dengan lantang.
“Saya Asa, Mama Asu.”