Awas, Obral Maaf pada Pacar Bisa Rusak Hubungan
Sebaiknya kamu berhati-hati ketika meminta maaf tanpa sebab, karena ‘over-apologizing’ justru bisa merusak relasi dengan pasangan.
Dalam relasi romantis, acap kali kata “maaf” diucapkan tanpa arti atau tidak diperlukan. Misalnya saat kamu membutuhkan waktu sendiri, ingin mengeksplorasi hobi baru, menyuarakan pendapat, mengajukan pertanyaan berulang kali, dan memiliki ciri khas dalam diri yang unik. Pun, ketika melakukan kesalahan sepele, seperti lupa mematikan lampu kamar mandi setelah digunakan.
Tak jarang, pembuat kesalahan meminta maaf tanpa memerhatikan perasaan seseorang yang disakiti, tapi hanya mau membuat dirinya merasa lebih baik. Dalam beberapa kasus, permintaan maaf dilakukan untuk menghindari konflik, terutama jika seseorang tumbuh di keluarga yang penuh konflik, bahkan mengarah pada kekerasan.
Sementara itu, sebagian orang akan bersikap dingin ketika pasangannya melakukan kesalahan, sehingga membuat pihak yang bersalah merasa ditinggalkan. Alhasil, mereka meminta maaf berulang kali untuk menghindarinya.
Selain itu, cara ini juga bentuk upaya melindungi diri dan menjaga hubungan dalam relasi abusif. Seperti dilakukan karakter Ryle Kincaid dalam novel It Ends With Us (2016) besutan Colleen Hoover.
Setiap kali menyakiti pasangannya, Lily Bloom, Kincaid kerap menyesal dan memohon agar tidak dicampakkan. Ia mengaku tidak menyadari perbuatannya ketika menyakiti Bloom, dan terus berjanji tidak akan kembali melakukannya.
Baca Juga: Jangan Sulit Minta Maaf, Efeknya Dahsyat!
Faktor pendorong perilakunya adalah trauma masa kecil, di mana membuat laki-laki yang berprofesi sebagai dokter bedah itu menilai dirinya sumber masalah, dalam hubungan romantisnya.
Menurut Kelly Hendricks, terapis pasangan dan keluarga asal San Diego, Amerika Serikat (AS), perilaku demikian disebabkan seseorang merasa dirinya membebankan orang lain. Maka itu, over-apologizing mewujudkan penyesalannya. Kepada Psych Central ia menambahkan, menganggap dirinya tidak berharga juga dapat memicu sikap tersebut.
Walaupun sering dilihat sebagai langkah aman memperbaiki hubungan, terlalu banyak meminta maaf dan tidak tahu cara melakukannya dengan tulus, justru berpotensi memperburuk keadaan dan membahayakan hubungan. Lalu, bagaimana tindakan yang tampaknya sederhana ini sebaiknya dilakukan?
Kapan Minta Maaf Seharusnya Dilakukan?
Sebelum menuturkan maaf, hal pertama yang perlu disadari adalah kesalahan yang diperbuat. Pasalnya, sering kali seseorang meminta maaf hanya karena perubahan sikap pasangannya, tanpa mengetahui penyebabnya.
Padahal, belum tentu mereka marah terhadapmu, tapi tetap diucapkan agar tidak bertengkar. Atau tidak tahu harus mengatakan apa, sehingga dilakukan tanpa sadar maupun dianggap lebih mudah, daripada terlibat dalam percakapan yang rumit. Mengutip Brides, jika dilakukan dalam relasi sehat justru menghambat pertumbuhan hubungan, dan tidak dapat memahami realitas yang terjadi.
Sederhananya, permintaan maaf perlu dilakukan berdasarkan kesadaran atas tindakan atau perkataan yang berdampak dan menyakiti orang lain. Penyesalan itu juga perlu ditunjukkan dengan upaya agar tidak kembali terjadi.
Baca Juga: Mengapa Pria Begitu Sulit Minta Maaf?
Selain menyelesaikan permasalahan, meminta maaf memiliki beberapa manfaat, seperti dipaparkan oleh VeryWell Mind. Yakni menyadari kesalahan, mengungkapkan penyesalan, belajar dari kesalahan dan menemukan cara untuk mengatasi situasi sulit, mendiskusikan hal-hal yang dapat dan tidak dilakukan dalam hubungan, serta membuka jalur komunikasi dengan orang lain.
Namun, perlu diketahui ini bukan berarti dapat menghilangkan perasaan sakit hati, ataupun mengembalikan situasi seperti semula. Tapi jika dilakukan dengan tepat, permintaan maaf yang tulus mampu memvalidasi, menyembuhkan, dan memberikan ketenangan.
Kenali Tipe Apology Language Pasangan
Layaknya love language yang bermanfaat untuk meningkatkan kualitas hubungan, setiap orang juga memiliki tipe apology language yang perlu diketahui dan dikomunikasikan.
Apology language ini mulai menjadi perhatian ketika penulis Gary Chapman dan Jennifer Thomas menjelaskannya dalam The Five Languages of Apology (2006). Mereka menekankan, kita memiliki preferensi untuk memberi dan menerima permintaan maaf.
Pertama, expressing regret. Kamu dapat mengungkapkan penyesalan dengan menggunakan kata “aku”—atau sudut pandang orang pertama, untuk memfokuskan kesalahan. Ini juga berguna dalam menjelaskan perkataan maupun perbuatan yang berdampak pada pasangan. Misalnya berupa kalimat, “I feel bad that I’ve hurt you.”
Baca Juga: Bagaimana Cara Meminta Maaf Pada Teman Dengan Baik
Kedua, accepting responsibility. Cara ini digunakan untuk mengekspresikan tanggung jawab atas kesalahan perilaku, dan menunjukkan kesungguhan dalam menanggungnya. Contohnya, “I was wrong by not picking you up from work when I said I would.”
Ketiga, making restitution. Kesalahan bukan berarti termaafkan karena telah mengakui dan mengucapkannya, namun perlu menebusnya lewat perilaku. Ini bisa dilakukan dengan berinisiatif melakukan tindakan yang diingkari. Apabila merujuk pada contoh sebelumnya, kamu bisa mengusulkan untuk menjemput pasangan dalam seminggu di pekan berikutnya.
Keempat, genuinely repent, yaitu menempatkan diri dalam situasi orang lain dan benar-benar menyesal atas apa yang terjadi. Misalnya dengan mengucapkan, “Aku nggak bisa membayangkan kamu harus mengalaminya. Aku minta maaf ya, next time I’ll do things differently.”
Kelima, requesting forgiveness. Ini dilakukan untuk meminta pengampunan dari pasangan, selain menyesali perilaku. Sederhananya, kamu bisa mengucapkan, “Kamu mau maafin aku nggak karena udah bikin kecewa?”
Apabila meminta maaf dan menunjukkan penyesalan sesuai apology language pasangan, artinya kamu benar-benar memahami pasangan dan mengetahui upaya terbaik untuk menebusnya, sehingga membuatnya merasa berharga.
Pun dapat mencegah kesalahpahaman, sebagaimana dijelaskan ahli hubungan Amy Olson, dalam wawancara bersama Cosmopolitan.
“Setiap orang memiliki apology language yang berbeda dan penting dipahami. Bukan hanya semakin memahami pasangan, melainkan juga diri sendiri,” ujarnya.