Dear Badan Bahasa, Mohon Empatinya Ditingkatkan
Pejabat Badan Bahasa Kemendikbud merespons protes soal definisi kata yang seksis dengan jawaban yang merendahkan.
“Bukan begitu, wahai perempuan pintar?”
Kalimat tersebut mengakhiri unggahan dari Muh. Abdul Khak, Kepala Pusat Pembinaan Bahasa dan Sastra di Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Badan Bahasa Kemendikbud). Dalam akun Instagram pribadinya, ia baru-baru ini menanggapi kritik terhadap penerapan kata “perempuan” di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
Padanan kata perempuan pada KBBI memiliki contoh-contoh yang berkonotasi negatif seperti perempuan jalang, perempuan geladak, dan perempuan lacur. Sejak tahun 2018, para aktivis perempuan sudah mengkritik entri pada kamus tersebut. Sayangnya, hingga saat ini, belum ada perubahan yang signifikan pada padanan kata perempuan di dalam KBBI.
Kalimat penutup Muh. Abdul Khak itu membuat saya tercengang. Mengapa pemangku jabatan tingkat nasional serta pakar bahasa sampai menyapa perempuan yang menginginkan kesetaraan seperti itu? Keheranan ini ternyata tidak saya alami sendiri. Akun Instagram Badan Bahasa Kemendikbud nampaknya ikut menangkap emosi si pengunggah sehingga mengoreksi “wahai perempuan pintar” menjadi “#SahabatBahasa” pada unggahan ulang mereka.
Pertahanan Sejarah yang Janggal
Dari unggahan media sosial dan situs resmi Badan Bahasa dalam menanggapi padanan kata perempuan, sikap membela diri dari para perwakilan institusi tersebut menarik perhatian saya. Pada artikel “Tanggapan atas Kritik terhadap Entri Perempuan di KBBI,” Tim Penyusun KBBI bersikeras mempertahankan sejarah yang membentuk padanan kata “perempuan” sejak tahun 1988.
Jika dokumentasi semacam film Pengkhianatan G30S/PKI bisa dilarang pada era reformasi karena sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman, maka seharusnya KBBI yang tidak sekontroversial itu juga mampu mengikuti era yang bergerak maju di sekitarnya.
Menanggapi hal ini, Ketua Afiliasi Pengajar dan Pegiat Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing (APPBIPA) Jakarta, Totok Suhardijanto, menginformasikan saya akan adanya lima syarat dari sebuah kata untuk dapat diterima di dalam KBBI yaitu unik, eufonik, sesuai kaidah bahasa Indonesia, tidak berkonotasi negatif, dan kerap dipakai.
Baca juga: Kita Butuh Indonesia Tanpa KBBI yang Seksis
Jika konotasi negatif dari padanan kata perempuan dipertahankan, maka dapat disimpulkan bahwa Tim Penyusun KBBI sudah melanggar prinsip yang mereka jadikan pedoman selama ini. Apalagi kelima pedoman dalam menyusun kamus tersebut sudah dipublikasikan oleh Bidang Pengembangan, Pusat Pengembangan dan Pelindungan di situs resmi Badan Bahasa. Sehingga, alasan mempertahankan sejarah yang tidak sejalan dengan pedoman kerja mereka sendiri menjadi kejanggalan dari pembelaan yang dilakukan oleh Tim Penyusun KBBI.
Tim Penyusun KBBI juga menyatakan bahwa pola pikir masyarakatlah yang harus diubah, tanpa menyadari bahwa hal tersebut dapat diwujudkan oleh mereka dengan merevisi KBBI sebagai salah satu sumber pengetahuan warga Indonesia. Apabila mereka bersikeras tidak mau melakukan perubahan, maka solusi apa yang diberikan?
Saya sepakat dengan ide dari Holy Adib pada tulisannya “Perihal Entri Perempuan dalam KBBI, Kamus Bukan Pendidik Moral” bahwa sebaiknya KBBI “memberikan tanda arkais” yang menunjukkan bahwa padanan kata terbentuk di masa lampau dan sudah tidak digunakan lagi, sehingga konotasi negatif yang menjadi padanan kata perempuan dapat dipahami sebagai konsep yang sudah usang. Sayangnya, jalan tengah untuk mendukung perempuan untuk mendapatkan keadilan seperti ini tidak terpikirkan oleh pihak Badan Bahasa sendiri.
Baca juga: 9 Kata untuk Perempuan, 1 Kata untuk Laki-Laki
Badan Bahasa Kemendikbud: Pejabat Publik dan Kemahiran Berkomunikasi
Kembali ke Muh. Abdul Khak, pada unggahan di akun Instagramnya tertanggal 3 Februari lalu. Abdul mengajak para pengguna KBBI untuk “lebih proaktif memberikan usulan kepada penyusun KBBI”. Seolah-olah dia lupa bahwa akses dan kekuatan untuk mengubah entri kata perempuan dengan lebih cepat berada lebih dekat dengan dirinya sebagai kepala Pusat Pembinaan Bahasa dan Sastra. Hal ini menunjukkan bahwa kesadaran, empati, dan pemahaman akan pentingnya melakukan perubahan dengan segera sering kali tidak dimiliki oleh laki-laki yang terlahir di generasi yang sudah lalu dan tidak pernah merasakan lelahnya menjadi perempuan di Indonesia.
Sri Handayani Yasa, Manajer Program Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing (BIPA) Lembaga Bahasa Internasional FIB UI, mengatakan bahwa ada kegagapan pada para pejabat publik dalam menggunakan media sosial. Terbiasa berkomunikasi dengan cara konvensional seperti surat resmi dan memo, pemahaman mereka akan masifnya pergerakan pesan di media sosial sangat sedikit. Karenanya, mereka tidak selalu berhati-hati dalam menyusun dan mengunggah pesan di akun media sosial.
Totok menambahkan bahwa kegamangan tersebut bisa jadi disebabkan oleh kurangnya pedoman bagi para pejabat publik untuk berkomunikasi dengan masyarakat apalagi melalui media virtual seperti Instagram.
Didominasi oleh para pemilik hak istimewa dan laki-laki, tentu institusi negara seperti Badan Bahasa tidak merasa perlu melakukan perubahan serta perbaikan yang cepat. Karena mereka tidak pernah merasakan sulitnya menjadi perempuan di tengah masyarakat yang merasa berhak mengatur peran, keputusan, penampilan, hingga jalan hidupnya. Ada hal yang sebenarnya bisa mereka lakukan; diam sejenak dan berusaha memahami sebelum berucap. Sayangnya tidak semua orang diberkati dengan rasa empati.
Salah satu jalan keluar untuk mampu berempati dengan kaum minoritas, dalam hal ini perempuan, adalah diterapkannya sensitivity training atau pelatihan kepekaan. Sehingga, pemahaman akan tertindasnya perempuan Indonesia selama ini dapat dipahami dan diubah melalui berbagai pengambilan keputusan tingkat nasional yang lebih ramah perempuan.
Baca juga: Seksisme dalam Bahasa Indonesia dan Cara Mengatasinya
Sri Handayani mengatakan, apabila Badan Bahasa mau bertindak secara lebih adil, seharusnya diadakan mediasi yang mampu menampung sudut pandang pakar bahasa dan masyarakat yang beragam. Salah satunya adalah dengan menyelenggarakan diskusi terbuka atau seminar yang berkaitan dengan padanan kata. Apabila Badan Bahasa bersedia untuk melakukan hal tersebut, maka publik dapat melihat berapa banyak data yang mutakhir serta bukti sejarah yang sahih untuk mempertahankan pembentukan kata perempuan yang berkonotasi negatif.
Selain itu, pemahaman akan penggunaan media sosial yang baik bagi pejabat publik perlu ditekankan. Mereka yang menjadi perwakilan institusi milik negara perlu menyadari bahwa ranah pribadi dan profesi sering kali bersinggungan pada media sosial yang digunakan. Sehingga, mereka tidak akan membahayakan citra institusi ketika mengutarakan opini pribadi. Terutama mengenai isu yang tidak ramah kelompok minoritas seperti perempuan.
Kerendahan hati untuk mau memahami permasalahan perempuan adalah hal yang perlu disadari oleh negara dan institusi-institusinya. Dengan bersikap lebih peka, menyelesaikan masalah dengan adil dan terbuka untuk publik, dan menggunakan media sosial dengan bijak dapat menjadi tiga solusi bagi institusi negara dalam mewujudkan keadilan gender di Indonesia. Jika ketiga solusi tersebut diterapkan dengan baik maka kebiasaan membela diri dari kesalahan dan menyalahkan perempuan sebagai korban yang telah mengakar dapat tercabut hingga menghilang dengan sempurna.