Bagaimana ‘Perempuan Tak Laku’ di Cina Lawan Stigma?
Penggambaran perempuan lajang sebagai individu kesepian, putus asa, serta susah didekati sering terjadi di media dan portal berita Cina.
Jika kamu jadi perempuan di Cina, punya pendidikan yang bagus tapi belum menikah di usia 27 tahun, maka kamu mengalami “kiamat” kecil. Orang-orang setempat terkadang menggunakan istilah “sheng-nu” untuk menggambarkan status sosialmu yang jomblo. Dalam Bahasa Indonesia, ini dapat diterjemahkan sebagai, “perempuan yang tidak laku.”
Label tersebut sengaja diciptakan untuk meredam peningkatan jumlah perempuan lajang di tengah masyarakat tradisional yang kadang memandang pilihan tidak menikah sebagai pelanggaran moral. Beberapa pihak bahkan menganggapnya sebagai ancaman terhadap keamanan nasional.
Penggambaran perempuan lajang sebagai individu kesepian, putus asa, memiliki kualifikasi kerja dan pendidikan yang terlalu tinggi, serta susah didekati sering terjadi di media dan portal berita Cina.
Penelitian telah menunjukkan bahwa stigma “sheng-nu” ini pada akhirnya telah menekan banyak perempuan untuk menikah.
Baca juga: Kenapa Banyak Lajang Gagal Cari Kebahagiaan di Dunia Maya
Akan tetapi, mulai banyak perempuan memilih untuk melawan stigma ini.
Menyusul berbagai perubahan di Cina, salah satunya perluasan pendidikan massal reformasi ekonomi tahun 1980-an, perempuan di Cina tampak semakin percaya diri akan peran mereka dalam masyarakat modern.
Sebanyak 7 juta perempuan lajang berusia 25-34 tahun di perkotaan Cina merupakan salah satu kontributor terbesar pertumbuhan negara. Perempuan saat ini berkontribusi sekitar 41 persen terhadap PDB Cina. Ini adalah proporsi terbesar dari negara manapun di dunia.
Penelitian kami mengungkapkan, pekerja perempuan yang lajang di Cina mengubah cara orang lain melihat mereka bukan melalui protes atau aktivisme – tetapi melalui kekuatan ekonomi mereka. Mereka menggunakan konsumerisme untuk melawan stigma lama atas status lajang mereka.
Seorang perempuan berusia 33 tahun memberi tahu kami:
Saat kumpul keluarga, tante saya suka menggoda orang tua saya bahwa saya masih lajang. Mungkin dalam pikirannya, saya menjalani kehidupan yang menyedihkan. Saya perlu membela orang tua saya, [sehingga] saya senantiasa meningkatkan citra diri saya sendiri dengan banyak membeli pakaian mahal.
Baca juga: Alasan Sebenarnya Orang Gemar Lecehkan Lajang
Dia melanjutkan, “Saya menginginkan yang terbaik dalam hidup. Kacamata hitam saya dari Burberry, tas tangan saya dari Louis Vuitton, laptop saya buatan Apple.”
“Saya menunjukkan bahwa saya tidak sengsara dan saya menjalani kehidupan yang menyenangkan. [Kerabat saya] kemudian bisa berhenti mengganggu orang tua saya.”
Laki-laki lain yang berusia 30 tahun menjelaskan, “Semakin banyak orang yang ingin menertawakanmu, semakin kamu perlu terlihat lebih glamor di depan mereka. Ketika kamu terlihat mewah, orang-orang menjadi lebih toleran terhadapmu [dan keluargamu].”
Seorang pengembang teknologi yang berusia 35 tahun mengenang, “Ketika saya membelikan ibu saya sebuah cincin emas, dia sangat bahagia. Ayah saya sangat miskin ketika mereka menikah, jadi dia tidak pernah menerima cincin darinya. Saya ingin menunjukkan kepada mereka berdua, saya mampu membeli banyak hal.”
Pasar juga memanfaatkan bangkitnya orang-orang lajang dan kekuatan ekonomi mereka.
“Hari Lajang” di Cina, digagas pada tahun 2009 oleh raksasa perdagangan online Alibaba sebagai semacam perayaan anti-Valentine untuk para lajang, telah menyalip Black Friday di Amerika Serikat (AS) dan kini menjadi festival belanja tahunan terbesar di dunia.
Baca juga: Kamu Perempuan Lajang di Antara Teman-teman yang Sudah Menikah? Silakan Baca Ini
Pengeluaran pada Hari Lajang
Hari Lajang sendiri diadakan pada 11 November setiap tahunnya (tanggal ini dipilih karena angka cantik 11.11). Pada 2021, pengeluaran belanja saat hari tersebut mencapai rekor yang tertinggi.
Perusahaan kecantikan Jepang SK-II juga mengalami pertumbuhan penjualan setelah meluncurkan serangkaian video populer yang menampilkan perempuan profesional sukses yang memilih untuk tidak menikah.
Tentu, tidak semua perempuan lajang di Cina mampu memamerkan daya beli semacam ini. Tapi penelitian kami menunjukkan bahwa bagi mereka yang bisa, rasa atas kebebasan ekonomi ini membantu untuk menanamkan peran mereka di tengah masyarakat Cina.
Kesempatan untuk membelanjakan uang untuk diri mereka sendiri – dan sering kali sebagai hadiah untuk orang tua mereka – membantu untuk mendefinisikan kembali status lajang mereka secara positif sebagai sesuatu yang patut dibanggakan.
Melalui konsumsi yang gencar, mereka mempromosikan diri mereka sebagai warga negara yang sukses, bermoral baik, dan mandiri secara ekonomi. Para perempuan dalam riset kami mengerahkan kekuatan pasar untuk melawan stigma “sheng-nu” di masyarakat.
Seperti komentar seorang perempuan lain, “Perempuan lajang sebaiknya lebih banyak main keluar, terutama ketika mereka tidak terikat oleh kehidupan keluarga. Pergi keluar dan lihat pemandangan baru, alami hidup baru. Kamu mungkin menyadari ada pilihan-pilihan lain dalam hidup ini.”
Terlepas dari kebangkitannya di Cina dan Hong Kong era modern, tindakan protes dapat menyebabkan hukuman penjara dan konsekuensi yang buruk. Untuk perempuan “sheng-nu” yang mengalami stigma negatif, konfrontasi langsung dalam bentuk aktivisme sosial dapat menyebabkan kerugian profesional atau ancaman hukum yang serius.
Sebagai gantinya, konsumsi dan kekuatan ekonomi menjadi jalan bagi para perempuan ini untuk membangun legitimasi gaya hidup alternatif.
Dalam pergumulannya, mereka mengadu kekuatan pasar yang modern dan memiliki jangkauan global dengan otoritas kebudayaan tradisional serta kekuatan media milik partai penguasa Cina. Kabar mengejutkannya, kali ini, nampaknya para perempuan lajanglah yang akan menang.
Opini yang dinyatakan di artikel tidak mewakili pandangan Magdalene.co dan adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.