#BaiknyaBarengBareng: Asa 80 Tahun Merdeka, Perempuan Setara di Tempat Kerja
Pekerja perusahaan elektronik dari Banten, “Lesmana”, 32, baru tahu salah satu pimpinan departemennya cukup diskriminatif pada perempuan. “Pekerja perempuan katanya dianggap kurang tahan banting. Perempuan kurang satset fisiknya,” kata Lesmana menirukan ucapan atasan.
Ungkapan itu kerap muncul di kantor, meskipun perusahaan sendiri sebenarnya menilai individu berdasarkan kompetensi, alih-alih gender. Banyak posisi manajerial diisi perempuan, tetapi sikap pimpinan Lesmana menjadi contoh kecil bagaimana bias gender masih hidup di tempat kerja.
Fenomena ini ternyata dikonfirmasi lewat pelbagai data dan riset. Berdasarkan data 2017-2022 dari United Nations Development Programme (UNDP) berjudul Gender Social Norms Index: Breaking Down Gender Biases misalnya, 99,65 persen masyarakat Indonesia masih bias gender. Dalam hal ini, sektor ekonomi jadi lokasi bias tertinggi. Laki-laki mendominasi bias dalam tiga dimensi, yakni politik, pendidikan, dan ekonomi.
Bias gender juga terlihat dari pengalaman “Sandi”, 26, General Affair di perusahaan kopi. Ia menyaksikan diskriminasi terhadap rekan kerja gender non-biner:
“Jadi dia kerja hampir dua tahun di sini, para karyawan risih karena liat dia laki-laki berpenampilan kayak perempuan, diaduin lah ke manajemen. Dia juga menggunakan toilet perempuan. Imbasnya, dia jadi sorotan manajemen dan atasan langsung,” katanya kepada Magdalene.
Baca Juga: Bukan Pujian Tapi Perangkap: Saat Perempuan Dipuji untuk Tetap di Dapur
Menurut Sandi, diskriminasi terhadap perempuan lebih parah. Ia melihat perempuan sering lamban mendapatkan peningkatan karier, karena dianggap tidak mampu bertahan di kondisi sulit.
Kesulitan mencari kerja pun dialami Zakiyah, 25 yang baru lulus kuliah. Meski meningkatkan skill melalui kursus, bimbel, dan platform lain telah dilakoni, ia tetap gagal mendapatkan pekerjaan.
“Sangat susah mencari kerja, bener-bener sesusah itu, kualifikasinya makin tinggi. (Saya) udah melewati beberapa kali interview dengan perusahaan, tapi tetap yang dapat akhirnya orang dalam, terus utamanya laki-laki ternyata,” ujarnya.
Zakiyah juga menemukan persyaratan diskriminatif seperti batas umur, status pernikahan, dan penampilan menarik. Padahal Kementerian Ketenagakerjaan telah menghapus syarat-syarat tersebut. Hampir tiga tahun berlalu, ia belum mendapatkan pekerjaan. Ia kian terpuruk begitu banyak perusahaan di kotanya bangkrut.
Enggak heran jika “Job Fair Bekasi Pasti Kerja Expo” yang didominasi Gen Z sempat ricuh. Gelombang pengangguran tinggi yang tak sejalan dengan ketersediaan posisi, bikin peserta Job Fair dorong-dorongan, adu jotos, bahkan beberapa pencari kerja disinyalir pingsan di lokasi. Pemerintah, lewat Kementerian Ketenagakerjaan, tampak kewalahan menangani kejadian ini.
Populasi anak muda di Indonesia mencapai 66 juta jiwa menurut Badan Pusat Statistik (BPS), dengan persentase angkatan kerja usia 20-29 rata-rata 75 persen. Sulitnya kesempatan kerja bagi perempuan bukan tanpa alasan. Selain tuntutan tampil menarik, diskriminasi rekrutmen dan lambannya promosi kerja menjadi tantangan ganda.
Diskriminasi terhadap perempuan dan gender tertentu masih sering terjadi di Indonesia, dan sering kali disebabkan oleh bias yang tertanam di masyarakat. Dwi Yuliawati, Head of Programmes UN Women Indonesia, menyoroti kondisi ini dengan tegas:
“Apakah Indonesia maju secara kesetaraan gender, kalau datanya saja menunjukan angka lebih dari 99 persen orang Indonesia bias terhadap gender, tentu ini bisa dinilai apakah kita mundur atau maju secara keadilan gender,” tuturnya.
Hambatan bagi perempuan datang dari berbagai arah, baik internal maupun eksternal. Kebijakan perusahaan, sikap individu, hingga keputusan atasan menjadi tantangan besar bagi perempuan dan non-biner untuk mencapai lingkungan kerja yang adil dan setara. Menurut data Sustainable Development Goals (SDGs), hanya 32 persen perempuan menduduki posisi manajerial di Indonesia.
United Nation (UN) Women mendefinisikan kesetaraan gender sebagai hak, tanggung jawab, dan kesempatan yang sama bagi semua gender. Namun kenyataannya, partisipasi perempuan dalam angkatan kerja Indonesia baru mencapai 55 persen, sementara laki-laki 85 persen.
“Apa yang membuat 55 persen ini masalahnya, apa sebabnya? Sebabnya ada bias yang bekerja di sini. Seperti hambatan dari keluarga juga larangan bekerja yang berat, jadi perempuan di semua entry punya hambatan,” jelas Dwi lagi.
Data UN Women Indonesia juga menunjukkan, pasar tenaga kerja didominasi laki-laki sebesar 82 persen, sedangkan perempuan hanya 53 persen, menimbulkan kesenjangan sebesar 69 persen. Posisi Indonesia pun berada di peringkat 100 dari 146 negara.
Ketika perusahaan tidak mendukung kesetaraan, bias dan kesenjangan gender semakin diperparah. Dwi menekankan perusahaan akan mendapat keuntungan jangka panjang jika perempuan dan laki-laki menempati posisi setara.
“Karena misalnya tempat kerja yang berat itu hanya laki-laki saja, urusan fisik dicondongkan ke laki-laki. Projek besar yang keluar kota dikasih ke laki-laki, padahal perempuan juga bisa, jadi kita harus pandang equality ini secara jangka panjang.”
Baca Juga: ‘Kalau Gitu, Pakai Rok Aja!’ dan Suami yang Tak Lagi Diam-diam Bantu di Dapur
Komitmen Perusahaan
UN Women Indonesia memberikan rekomendasi konsep bagi perusahaan untuk mencapai kesetaraan. Dwi menegaskan perlunya kolaborasi antara perusahaan dan pemerintah.
“Perusahaan baiknya kita bareng-bareng itu bisa tercapai, seperti di perusahaan level BUMN yang memberikan cuti untuk anak, harapannya ini bisa meng-influence perusahaan yang lainnya juga. Kita juga mesti pikirkan bagaimana menuju ke arah sana bila ada kebijakan yang membuka itu, seperti paternity leave yang layak bagi ayah, bukan cuma dua hari.”
Sementara itu, Betti Alisjahbana, Komisaris Independen OCBC dan mantan Presiden Direktur IBM punya cerita menarik tentang komitmen perusahaan. Ia sendiri adalah contoh nyata perempuan yang mampu menembus posisi puncak di perusahaan teknologi di Asia Pasifik. Semua didukung sistem meritokrasi di kantor tempatnya bekerja.
“Jadi saat saya diumumkan, saya dapat ucapan dukungan perempuan di berbagai negara yang menyampaikan sungguh saya bersyukur akhirnya ada perempuan di situ (IBM). Saya harus membuktikan biar saya bukan yang pertama dan terakhir. Jadi akhirnya mereka percaya sama kita bahwa perempuan bisa di semua bidang,” ujarnya.
Namun, Betti mengakui pencapaian ini tidak mudah dan menuntut kerja lebih keras karena bias gender yang masih ada. Ia juga menekankan pentingnya dukungan pasangan agar perempuan dapat meniti karir tanpa mengorbankan tanggung jawab rumah tangga:
“Ditambah kan kalau perempuan sendiri kalau sudah berumah tangga, dia boleh bekerja tapi tanggung jawab rumah tangga perempuan, makanya bebannya banyak sekali. Ditambah jika sudah memiliki anak energinya akan terkuras sekali,” kata Betti.
Di OCBC, upaya kesetaraan diwujudkan melalui dukungan kesehatan mental bagi semua karyawan dan mendorong kontribusi perempuan di tim, yang biasanya didominasi laki-laki. Dari total 6.330 karyawan, 40 persen adalah perempuan di bidang operasional dan teknologi.
“Sistemnya laki-laki dan perempuan yang terbaik, ditarik, dan dikembangkan lalu dipromosikan nanti diberikan fasilitas biar mereka punya tahapan. Untuk jabatan pimpinan misalnya sudah dipersiapkan jauh dari itu, jika gak ada perempuan, saya akan tanya kok ga ada perempuanya?” tuturnya.
Kisah dan data ini memperlihatkan, membuka kesempatan setara bagi semua gender bukan hanya persoalan keadilan, tapi juga investasi perusahaan dan masyarakat untuk kemajuan bersama.
Baca Juga: #BaiknyaBarengBareng Menjadi Ayah yang Hadir: Peran Biasa yang Dianggap Istimewa
Laki-laki Ikut Terlibat Dorong Kesetaraan
Sementara itu, Wawan Suandi, Koordinator Nasional Laki-laki Baru, menekankan keterlibatan aktif laki-laki untuk menciptakan kesetaraan di tempat kerja. Caranya lelaki perlu menyadari dulu, bias gender juga berdampak pada mereka.
“Jadi istri itu bukan ibu rumah tangga, tapi kita berumah tangga bareng-bareng, berbagai peran dibagi dan dikomunikasikan. Kalau ini berhasil istri tidak perlu lagi memikirkan peran norma gender tradisional selama ini. Makanya laki-laki harus menghargai argumen perempuanya,” katanya.
Pengalaman Lesmana, Sandi, dan Zakiyah menunjukkan budaya patriarki masih menimbulkan diskriminasi dan stigma: perempuan dianggap nurut atau arogan jika menentang norma tradisional.
Baik Dwi, Betti, maupun Jundi menyarankan semua pihak, laki-laki maupun perempuan, untuk aktif mendorong kesetaraan di tempat kerja dengan kebijakan dan aturan yang adil. Karena semuanya #BaiknyaBareng-bareng.
Kesetaraan gender bukan hanya untuk perempuan, tetapi menyangkut semua gender secara penuh, demi adil dan setara di tempat kerja.
Tentang Program #BaiknyaBarengBareng
#BaiknyaBarengBareng adalah inisiatif dari OCBC yang bertujuan untuk menumbuhkan kepercayaan bahwa kesetaraan membuka peluang bagi semua individu, terlepas dari gender, usia, dan latar belakang. Melalui kampanye ini, OCBC ingin menunjukkan bahwa meritokrasi bukan hanya baik bagi individu, tetapi juga berdampak positif bagi keluarga, bisnis, dan masyarakat secara luas.
















