December 5, 2025
Issues

Katanya Produksi Beras Surplus tetapi Langka dan Mahal, Apa Artinya?

Sejak awal Agustus, langkanya ketersediaan beras disusul naiknya harga di pasaran kian menyulitkan banyak orang. Realitas ini ironis di tengah produksi beras yang disebut surplus.

  • September 23, 2025
  • 4 min read
  • 1236 Views
Katanya Produksi Beras Surplus tetapi Langka dan Mahal, Apa Artinya?

Sejak awal Agustus, beras mulai langka di sejumlah retail modern. Kondisi ini nyata dirasakan banyak orang, salah satunya Sekar (26), perantau di Jakarta. Selain mencari ke beberapa tempat ia juga harus menambah alokasi anggaran.

“Sempat keliling ke minimarket, kosong semua. Supermarket besar cuma ada beras premium Rp150.000 per 5 kg. Akhirnya ketemu di warung khusus beras, itu pun kualitasnya paling rendah dengan harga lebih tinggi dari biasanya,” ceritanya pada Magdalene (19/9).

Dalam keterangan resminya, Kepala Bapanas Arief Prasetyo Adi membenarkan, beberapa pasokan ke retail memang berkurang karena penggilingan padi harus menyesuaikan informasi label. Di sisi lain, Perum Bulog mengeklaim hingga 24 Agustus 2025, cadangan beras pemerintah (CBP) yang mereka kuasai mencapai 3,91 juta ton—angka tertinggi dalam 23 tahun terakhir.

Pertanyaannya, kalau produksi beras kita surplus, kenapa di pasaran justru langka dan mahal?

Baca juga: Mampukah Menkeu Purbaya Ciptakan Ekonomi Inklusif Gender?

Isu Beras Oplosan hingga Kenaikan HET

Permasalahan ternyata tidak sesederhana stok ada atau tidak. Laporan Tempo menjelaskan faktornya pada sisi hulu dan hilir. Dari sisi hilir, pabrikan beras mengurangi—bahkan menarik—supply ke supermarket karena terdapat isu beras oplosan. 

Sementara di sisi hulu, terdapat persaingan antara bulog, penggilingan, dan pabrikan dalam mencari gabah. Mereka berlomba mencari langsung dari petani yang menyebabkan harga gabah meningkat.

Mengatasi hal ini, pemerintah menaikkan Harga Eceran Tertinggi (HET), yang semula beras medium menjadi Rp 13.500 per kg untuk zona 1, Rp14.000 per kg untuk zona 2, dan Rp15.500 per kg untuk zona 3. Penyesuaian harga ini tertuang dalam Keputusan Kepala Bapanas No. 299/2025 tanggal 22 Agustus 2025 tentang Penetapan Harga Eceran tertinggi Beras.

“Untuk menjaga stabilisasi pasokan dan harga beras, perlu dilakukan evaluasi terhadap harga eceran tertinggi beras,” jelas Arief Prasetyo, Kepala Bapanas pada Tempo (3/9).

Namun, kenyataan di lapangan berbeda jauh. Harga beras masih melampaui HET dan ketersediaannya di retail modern masih langka.

Sebagai makanan pokok mayoritas masyarakat, kenaikan harga beras otomatis langsung menekan ekonomi keluarga.

“Kalau harga beras naik, daya beli masyarakat langsung tersedot. Kebutuhan makanan jadi lebih besar sehingga mengurangi alokasi belanja esensial lain, seperti pendidikan. Kalau uang enggak cukup, banyak yang akhirnya terpaksa berutang lewat pinjol atau menggadaikan barang,” jelas Bhima Yudhistira, Direktur Celios (19/9).

Bhima menambahkan, generasi muda pun tak luput dari dampak ini. Harga naik, pendapatan stagnan—beban sandwich generation kian berat. Imbasnya, konsumsi di sektor lain pun ikut menurun.

Fenomena serupa juga terjadi di berbagai daerah. “Rohmah” (49) ibu rumah tangga di Jember, mengaku harga beras di wilayahnya sudah mencapai Rp16.000/kg. Ia khawatir jika harga beras terus naik, kebutuhan bahan pokok lainnya juga ikut tinggi.

Baca juga: ‘Stunting’ dan Hilangnya Ruang Hidup: Kisah Suku Anak Dalam di Pelakar Jaya

Hal yang sama disampaikan Radiyanti (27) pemilik toko kelontong di Mojokerto. Kenaikan beras ini sudah terjadi sejak dua bulan terakhir, disusul naiknya kebutuhan pokok lain seperti telur dan gula.

“Awalnya beras per kg Rp13.000 sekarang Rp15.000. Pembeli pada ngeluh tapi gak punya pilihan, bahan pokok lain juga ikut naik. Telur yang awalnya per kg Rp25.000 sekarang jadi Rp28.500,” ceritanya pada Magdalene (19/9).

Tak berhenti di rumah tangga, pedagang makanan juga jadi yang paling terdampak. “Sri” (60), salah satu penjual di Kantin Kompas Gramedia Palbar merasakan langsung imbasnya.

“Untung jadi mepet. Sekarang juga lagi sepi, beberapa penjual pada pindah dari sini karena gak kuat bayar sewa,” ceritanya pada Magdalene (22/9).

Cerita Sri bukan kasus tunggal, ada banyak pedagang kecil di berbagai daerah yang mengalami dilema serupa: bertahan dengan untung tipis atau terpaksa gulung tikar.

Baca juga: Pengeluaran 3 Juta Dicap Super Kaya: Logika Keblinger Negara yang Korbankan Warga

Swasembada Pangan Jangan Jadi Omon-omon

Masalah ini jelas tidak berhenti di level rumah tangga atau pedagang kecil, Ombudsman RI pun menyoroti persoalan tata kelola pangan yang lebih besar. Ombudsman menemukan bahwa stok beras sebenarnya ada, tetapi tata kelola distribusi, kualitas, dan pengelolaannya yang bermasalah. Alhasil, masyarakat tetap menghadapi harga mahal, kualitas rendah, dan ketersediaan terbatas.

Melihat kondisi ini, Ombudsman dalam pernyataan resminya (3/9) mendesak pemerintah memperbaiki tata kelola, menjamin kualitas beras operasi pasar, dan melakukan evaluasi menyeluruh agar akuntabel.

Tantangan lebih besar pun menanti, Rokhmin Dahuri, peneliti sekaligus akademisi, dalam Jakarta PostFood cartels threaten Prabowo’s self-sufficiency goal” menyebut ambisi swasembada pangan Presiden Prabowo masih rapuh disebabkan struktur petani kecil lemah, impor pangan terus meningkat, dan kartel makin dominan.

Situasi ini diperburuk lemahnya tata kelola distribusi, data pangan yang tidak transparan, serta penyalahgunaan subsidi dan sulitnya penegakan hukum karena adanya perlindungan politik. Jika kondisi ini dibiarkan, menurutnya visi swasembada pangan berisiko gagal. Artinya, perjuangan swasembada bukan hanya soal produksi, tapi juga soal politik, hukum, dan keberanian memberantas kartel serta korupsi yang menggerogoti sektor pangan.

About Author

Sonia Kharisma Putri

Sonia suka hal-hal yang cantik dan punya mimpi hidup berkecukupan tanpa harus merantau lagi. Sekarang lebih suka minum americano daripada kopi susu keluarga.