#WaveForEquality Issues

Perempuan Kelas Menengah Kota: Dianggap Kaya Negara, tapi Buat Bertahan Hidup Saja Sulit 

Dengan pengeluaran Rp21.250 per hari, katanya kamu sudah tidak dianggap miskin lagi. Namun, bukankah angka itu tak realistis zaman sekarang?

Avatar
  • February 8, 2025
  • 8 min read
  • 2456 Views
Perempuan Kelas Menengah Kota: Dianggap Kaya Negara, tapi Buat Bertahan Hidup Saja Sulit 

Pernah enggak mencoba menghitung pengeluaranmu sejak menit pertama kamu keluar dari rumah? Percaya atau tidak, pengeluaran itu bakal cukup besar apalagi kalau kamu termasuk pekerja dari daerah penyangga Jakarta yang mengandalkan transportasi publik untuk mobilisasi.  Ica, 29, adalah salah satu yang mengalaminya. 

Ia berdomisili di Ciracas, Depok. Untuk pergi ke kantornya di daerah Sudirman, Jakarta Pusat, ia merogoh kocek setidaknya Rp52.000 sekali jalan. Ini biaya untuk dua kali naik ojek online dan LRT yang tarifnya Rp20.000 saat jam sibuk. Biaya ini otomatis akan membengkak kalau hujan tiba karena tarif ojek online otomatis naik.  

 

Dengan biaya transportasi yang relatif gemuk, Ica berusaha menekan pengeluaran hariannya dengan membawa bekal yang sudah disiapkan dari rumah. Namun terkadang ada waktu di mana ia tidak sempat menyiapkan bekal. Di waktu-waktu inilah, Ica terpaksa membeli makanan di warung makan dekat kantor. Jika harus jajan di luar, ia biasanya mengeluarkan ongkos Rp15.000 – 18.000 sekali makan.  

Beruntungnya dia bukan orang yang suka ngopi atau jajan apa pun selepas makan siang. Sehingga, pengeluarannya akan berhenti pada ongkos pulang. Walau begitu, sebagai perempuan ia punya pengeluaran penting tambahan jika sedang menstruasi. Ia perlu membeli pembalut yang harus ia ganti dua hingga tiga kali dalam sehari. Harga pembalutnya itu berkisar di Rp21.000 isi 6 buah. Jika dihitung semuanya, total pengeluaran Ica sehari ada dalam kisaran Rp143.000.  

Baca Juga: ​​Konglomerat di Balik Pagar Laut: Bukti Ketimpangan Si Kaya dan Miskin Kian Curam 

Mereka yang Tidak Dianggap Miskin 

Buat Badan Pusat Statistika (BPS), Ica jauh dari definisi miskin. Per September 2024, BPS menetapkan garis kemiskinan di angka Rp595.242 per kapita per bulan. Garis kemiskinan ini hanya naik tipis 2,11 persen dibandingkan Maret 2024, yang jika dihitung jumlahnya setara dengan Rp148.750 per minggu. Dengan perhitungan baru ini, siapa pun yang pengeluarannya di atas Rp21.250 per hari tidak dianggap miskin. 

Ica sebaliknya, adalah potret yang didefinisikan oleh Bank Dunia sebagai “Kelas Menengah”. Kelas menengah adalah kelompok masyarakat dengan pengeluaran (sebagai proksi pendapatan) yang berada dalam kisaran 3,5-17 kali di atas garis kemiskinan. Mereka punya pengeluaran sekitar Rp2.083.347 hingga Rp10.119.114 per bulan. 

Walaupun masuk dalam kelas menengah, Ica nyatanya masih sulit memenuhi kebutuhan harian. Pengeluaran hariannya sudah cukup fantastis untuk seorang kelas pekerja yang gaji bulanannya Rp6,5 juta. Walau belum menikah dan punya anak, Ica mengaku pengeluarannya ini tambah bikin pusing dengan kebutuhan-kebutuhan lain yang harus ia penuhi seperti listrik, gas, internet, kebutuhan bahan makanan mingguan, dan lain-lain. 

Namun yang paling sering, Eni jadi mengesampingkan kebutuhan sendiri bahkan jika itu berkaitan dengan makan sehari-hari, kesehatan, atau kebutuhan fungsi reproduksi. Kalau memasak, ia selalu mendahulukan suami dan anak-anaknya. Kalau ia sakit, sebisa mungkin ia tahan. Kalau ia menstruasi sebisa mungkin ia beli pembalut rentengan murah seharga Rp5 ribu untuk satu hari di warung walau kadang berakhir gatal-gatal.  

“Ini beneran ngepas banget. Kadang berasa suka kurang aja sampai susah nabung (karena) gue juga sandwich generation kan ya. Masih ada bokap nyokab yang gue tanggung,” curhatnya pada Magdalene.  

Nasib lebih berat dialami Eni, perempuan Pekerja Rumah Tangga (PRT) di Depok yang menurut BPS tidak masuk dalam kategori miskin. Namun ia hidup serba pas-pasan bahkan cenderung kekurangan. Gaji bulanannya Rp1,3 juta.  

Gaji bulanan ini biasanya digabung dengan gaji suami yang merupakan supir ojek online. Namun dengan rata-rata penghasilan suaminya sebesar Rp2 juta sekali pun, gaji keduanya (dengan ¾ gaji suami yang sudah dialokasikan buat keluarga) bahkan masih jauh di bawah rata-rata Upah Minimum Kabupaten (UMK) Depok yang senilai Rp5.195.720,78.  

Pengeluaran hariannya ada di kisaran Rp60.000 mengingat ia punya dua anak remaja yang harus dinafkahi dan diberi makan tiap harinya. Tidak jarang karena kebutuhan dasar pokok yang terus meningkat, Eni terpaksa ambil kerja domestik lain yang ditawarkan tetangganya.  

“Kalau ada yang butuh buat nyuci, ya ambil. Butuh bantuin kayak masak-masak hajatan ya diambil juga. Apa aja wes diambil buat bisa makan,” katanya. 

Baca Juga: 5 Kebijakan yang Mempersulit Kelas Menengah di 2025 

Aspek Gender yang Luput Dilihat 

Dibandingkan naik kelas, Ica apalagi Eni jadi lebih rentan jatuh miskin. Sekali saja Ica dan Eni diputus kerjanya oleh pemberi kerja masing-masing, keduanya tak mampu menghidupi diri sendiri dan keluarga. 

Realitas inilah yang dikomentari Siska Baringbing, Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas FITRA). Menurutnya garis kemiskinan BPS jadi tidak masuk akal.  

Untuk mengetahui relevan atau tidaknya angka ini, Siska mempertanyakan ulang definisi kemiskinan. Menurut Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TPN2K), kemiskinan didefinisikan sebagai ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, dan tempat tinggal. Kalau kemiskinan dikategorikan sebagai ketidakmampuan mengakses kebutuhan dasar, maka dengan indikator BPS jelas tidak bisa karena sangat rendah, katanya.  

“Kita bisa menghitungnya sendiri lewat harga-harga kebutuhan pangan harian yang terus naik. Belum lagi sandang, papan. Akses layaknya pun di sini belum dibicarakan. Bukan definisinya salah, indikatornya dibuat tidak berdasar,” jelasnya. 

Indikator ini, tambah Siska, semakin tidak adil karena tidak memperhitungkan aspek gender. Perempuan punya kebutuhan dasar lain yang tidak dimiliki laki-laki, yakni kebutuhan terkait fungsi reproduksi seperti menstruasi atau nifas. Dengan kebutuhan tersebut, perempuan punya variabel kebutuhan tambahan, akses air bersih, obat, dan pembalut.  

Dengan indikator yang sudah ada pula, beban peran gender perempuan yang telah berkeluarga juga tidak diperhitungkan. Siska bilang, perempuan yang berkeluarga kerap kali harus mengesampingkan kebutuhan-kebutuhannya sendiri. Ini karena dalam tatanan budaya patriarki, perempuan memainkan peran kunci perawatan dalam keluarga. Sehingga, mereka secara sosial didorong untuk berkorban demi keluarga. Hal ini terjadi pada Eni. 

Walau sudah cari pendapatan tambahan sana sini, pendapatannya dengan suami juga tidak bisa memenuhi kebutuhan dadakan lain. Kalau sudah begini, Eni harus putar otak. Kadang ia berakhir minta upahnya dibayar duluan atau kasbon dari pemberi kerjanya. Kadang ia juga harus berutang dengan saudara.  

Namun yang paling sering, ia jadi mengesampingkan kebutuhan sendiri bahkan jika itu berkaitan dengan makan sehari-hari, kesehatan, atau kebutuhan fungsi reproduksi. Kalau memasak, ia selalu mendahulukan suami dan anak-anaknya. Kalau ia sakit, sebisa mungkin ia tahan. Kalau ia menstruasi sebisa mungkin ia beli pembalut rentengan murah seharga Rp5 ribu untuk satu hari di warung walau kadang berakhir gatal-gatal.  

Situasi Eni, kata Siska, membuat perempuan jadi lebih rentan jatuh dalam kemiskinan. Ini mengapa dalam data BPS, per Maret 2024, 9,20 persen dari perempuan Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan. Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan persentase laki-laki 8, 86 persen.  

Baca Juga: Di Balik Milenial ‘Childfree’: Ada Masalah Struktural Ekonomi yang Jarang Dibahas

Perlunya Evaluasi 

Terhitung sudah 26 tahun sejak 1998, pemerintah tidak pernah memperbarui metodologi pengukuran standar garis kemiskinan. Sudah tidak relevannya metodologi yang dipakai ini bisa bisa berdampak pada hajat hidup orang banyak. 

“Ini bisa berisiko karena sebagai lembaga pemerintah, data BTS bisa dipakai sebagai dasar kebijakan publik. Ketika data ini dipakai maka implikasinya bisa berpengaruh pada UMK kita yang tidak naik-naik. Kan sudah dipatok dengan rata-rata Rp20.000 tidak masuk kategori miskin,” ungkap Siska. 

Buat perempuan, tentu ini bisa jadi petaka. Masalahnya hingga kini saja perempuan masih mengalami gender pay gap atau kesenjangan upah. Di 2024, Indonesia mencatatkan kesenjangan upah rata-rata per jam tertinggi antar-gender dengan perbedaan sebesar 17 persen, tertinggi sejak 2015.  

Itulah mengapa metodologi beserta segala indikator garis kemiskinan harus segera dievaluasi. Buat Diahhadi Setyonaluri atau Ruri, peneliti dan pengajar di Departemen Ilmu Ekonomi Universitas Indonesia, mengidentifikasi kemiskinan seharusnya pakai metode yang komprehensif.  

“Kita tidak bisa menggunakan single indicator. Kita harus lihat yang menempel dalam garis kemiskinan kan ada (mereka yang) rentan miskin. Itu perlu dianalisis dan diperhatikan. Caranya adalah dilengkapi dengan indikator lain. Yang banyak diadvokasi adalah ukuran kemiskinan multidimensi,” jelas Ruri. 

Dalam kemiskinan multidimensi, tutur Ruri, indikator yang dipakai lebih beragam. Ini mulai dari kesehatan  yang mencakup angka kematian anak dan gizi. Lalu pendidikan seperti lama sekolah, partisipasi sekolah, bahkan standar hidup yang meliputi air, sanitasi, dan penggunaan energi kotor.  

Salah satu pengembangan ukuran kemiskinan struktural dilakukan oleh Bank Dunia. Dikutip dari laman resmi Bank Dunia, melalui Ukuran Kemiskinan Multidimensi (MPM), Bank Dunia berusaha memahami kemiskinan di luar deprivasi moneter (yang tetap menjadi titik fokus pemantauan Bank Dunia terhadap kemiskinan global) dengan menyertakan akses terhadap pendidikan dan infrastruktur dasar bersama dengan rasio jumlah penduduk moneter pada garis kemiskinan internasional sebesar US$2,15. 

MPM mengambil inspirasi dan panduan dari ukuran multidimensi global terkemuka lainnya, khususnya Indeks Kemiskinan Multidimensi (Multidimensional Poverty Index/MPI) yang dikembangkan oleh Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) dan Universitas Oxford. Namun ukuran ini juga menyertakan kemiskinan moneter yang kurang dari US$2,15 per hari, yaitu garis kemiskinan internasional pada 2017 PPP (Purchasing Power Parity), sebagai salah satu dimensinya. Dengan definisi kemiskinan yang lebih luas, konsekuensinya lebih banyak orang yang dianggap miskin. 

Kemungkinan meningkatnya orang yang dianggap miskin, justru bakal mendorong upaya pengentasan kemiskinan bisa menyasar lebih banyak masyarakat rentan. Ica dan Eni ini adalah di antaranya. Mereka bakal sangat terbantu karena kelompok rentan ini mudah jadi orang miskin baru jika ada sedikit saja guncangan ekonomi. Berbeda dengan masyarakat miskin, jenis bantuan yang diberikan pada mereka bisa berupa jaminan sosial universal. 

“Yang penting harus based on ability. Jadi nantinya kalau sudah naik ke middle upper, mereka jadi bisa fully contribute (ke pendapatan negara),” tutup Ruri. 

Artikel ini diproduksi oleh Magdalene.co sebagai bagian dari kampanye #WaveForEquality, yang didukung oleh Investing in Women, inisiatif program Pemerintah Australia.  

Series artikel lain bisa dibaca di sini.

Ilustrasi oleh Karina Tungari



#waveforequality
Avatar
About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *